Oleh: Widodo Basuki
A. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri jika derasnya kemajuan informasi di jaman sekarang telah membuat gelombang perubahan yang begitu cepat tanpa bisa kita tolak. Perubahan yang begitu cepat ini tentunya banyak pengaruh yang positif, tetapi banyak juga konsekuensi lain yang membuat terkesima. Perubahan juga terjadi pada tata perilaku atau gaya hidup. Saat ini bukanlah sesuatu yang aneh ketika kita melihat seorang tukang becak atau tukang ojek dengan pendapatan pas-pasan, tetapi bergaya seperti selebritis dengan telepon genggam yang harganya mahal. Atau seorang remaja yang mengecat rambutnya menjadi warna warni. Melalui dunia maya, informasi begitu mudah diakses. Generasi kita bisa membuka data apa saja yang dia maui.
Tentang teknologi dan dampak kebudayaannya seperti yang kita rasakan saat ini, Mukhtar Lubis (dalam Mangunwijaya, 1985:7) pernah menulis bahwa salah satu dampak teknologi seperti ini:
Manusia seakan terhoyong-hoyong melangkah di sepanjang jalan yang dibuka oleh teknologi yang dikembangkan sendiri, tetapi jalan yang belum dikenalnya dengan baik segala liku-liku dan bahayanya. Manusia seakan tak memiliki perlengkapan kebudayaan yang diperlukan untuk menghindarkan teknologi yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif, dan juga seakan tak berdaya menghindarkan akibat-akibat sampingan teknologi yang tidak disadari sebelumnya. Kemajuan sains dan teknologi berlangsung begitu cepat. Perubahan sosial yang ditimbulkannya juga amat besar, dan karena temponya yang begitu tinggi, orang tidak diberi waktu yang cukup untuk penyesuaian yang diperlukan seperti mengubah sikap-sikap mental dan hidup, hubungan manusiawi dan masyarakat, struktur politik, ekonomi, dan sosial, dan juga hubungan antarbangsa.
Selain dampak positif sekaligus kita menerima dampak negatif. Konflik persaingan kepentingan, hubungan antar manusia, dan lain-lain bisa dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu fihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus menjadi kurban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumber daya fisik, waktu dan lain-lain). Konflik ini juga bisa bersumber pada masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dan lain-lain (Suranto, 2000: 21).
Keprihatinan datang dari sana sini. Dalam sebuah acara temu pelajar di Bali, tema “Pemahaman Tentang Wawasan Kebangsaan dalam Rangka Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, Menbudpar Jero Wacik, juga mempertanyakan:
Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa bangsa ini menjadi bangsa yang pemarah, pembenci, pendendam dan pendengki. Dimanakah perasaan santun dalam bertutur kata, dan dimanakah rasa sopan dalam bergaul? Apakah semua ini telah meninggalkan bangsa sehingga tidak ada lagi rasa aman dan nyaman di bumi pertiwi ini atau mungkin bangsa kita tak lagi berfikir positif? (Antara, 17/11 2008)
Apa yang dilontarkan Menbudpar ini seperti menegaskan terhadap persoalan besar yang dihadapi bangsa ini sebuah sebab akibat. Yang menjadi penyebab salah satunya adalah “ hilangnya perasaan santun dalam bertutur kata dan tiada lagi rasa sopan dalam bergaul”, dan itu akibatnya menjadi “ bangsa yang pemarah, pembenci, pendendam dan pendengki”.
Dengan menggaris bawahi apa yang ditegaskan Menbudpar di atas, berarti kita patut mempertanyakan kembali, penyebab hilangnya perasaan santun dalam bertutur kata itu salah satu faktor karena ketidakmampuan generasi kita menyerap nilai-nilai tata krama sebagai pedoman tingkah laku. Atau barangkali faktor lainnya, yang menjadikan kurang diserapnya nilai-nilai tatakrama itu bisa jadi karena kesalahan orang tua yang tidak mampu mentransfer dan menanamkan nilai-nilai itu kepada generasi kita, sehingga tak ada lagi filter untuk menangkis pengaruh-pengaruh negatif dari luar.
Sementara, jika mau kita berkaca pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat, kita patut berbangga karena mempunyai bangsa yang sangat kaya dengan budaya adiluhung. Dan falsafah atau ajaran moral masyarakat lokal dan etnis yang banyak tersebar dipelosok wilayah Nusantara dapat diambil dan diadopsi sebagai ajaran budi pekerti luhur yang bisa dipakai sebagai pedoman tingkah laku para generasai muda dalam bermasyarakat.
B. Faktor Lunturnya Bahasa Daerah
Membahas tata krama menyangkut aspek yang sangat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997 ) tata krama bermakna: adat sopan santun. Demikian juga dalam Kamus Pepak Basa Jawa (2001 ) tata krama berarti “unggah-ungguh gunem tuwin tindak tanduk” , ini sangat erat kaitannya dengan bahasa dan sikap berbahasa, salah satunya adalah penggunaan bahasa daerah. Terkikisnya nilai-nilai tata krama itu di tengah-tengah kita salah satunya ditandai dengan semakin berkurangnya pengguna bahasa daerah. Karena kemampuan berbahasa daerah bagi generasi muda sekarang sangat rendah, berarti semakin tidak akrab dengan bahasa daerahnya. Dan dengan tidak akrabnya dengan bahasa daerah tersebut, maka pemahaman mereka terhadap nilai-nilai kultural juga rendah. Sebagai salah satu contoh, karena tidak paham akan nilai-nilai tersebut, maka sangat sulit menghayati nilai-nilai semacam bagaimana seharusnya dalam tingkah laku, tidak tahu apa itu empan papan, tepa selira, andhap asor, atau mungkin wewaler yang seharusnya tidak di langgar.
Lunturnya tata krama dari berbahasa bisa dilihat dari semakin surutnya pemilihan kosa kata yang tak mencerminkan nilai rasa. Contohnya, yaitu: seorang anak tak mampu membedakan nilai rasa dari bahasa yang diucapkan. Banyak di antara anak kita yang tak mampu membedakan pemakaian kata “sirah” dan “endhas” yang keduanya sama-sama dalam bahasa Indonesia bermakna “kepala”. Bagi yang mengerti tata krama akan berbeda pemakaiannya, kalau kata “endhas” tentu dipakai untuk tingkatan yang sangat rendah, “endhas pitik” (kepala ayam). Kata itu tak mungkin digunakan untuk mengatakan “sirah” atau “mustaka” (sebutan kepala dalam krama inggil) untuk sebutan kepala orang. Demikian juga kata “adus” dan “siram’ yang berarti “mandi”. Contoh lain, seseorang tidak akan mengatakan dirinya pada orang lain sedang “dhahar” (makan, bhs. Ind.) bila dia tahu tata krama. Pasti dia akan mengatakan “kula nembe maem”, karena dia tahu dalam tata karma seharusnya dirinya tidak merasa di tingkat lebih tinggi (terhormat) dibanding lawan yang diajak bicara.
Ketidakmampuan menggunakan bahasa daerah dengan baik ini menjadi salah satu faktor penyebab nilai- nilai tata krama seperti ini sudah banyak yang ditinggalkan. Kalau benar-benar setiap individu pengguna bahasa yang bertata krama konskuen antara diucapkan dan dilakukan, tentunya akan berimplikasi pada tingkah laku dalam bermasyarakat. Ada rasa saling menghormati, mendahulukan kepentingan yang lain, dan tentunya akan lebih harmonis, karena tak ada lagi benturan kepentingan karena lebih menonjokan diri sendiri dibandingkan orang lain.
Banyak generasi kita sekarang yang merasa “kuno” berbahasa ibu dalam komunitasnya. Tetapi penyebab ketidakmampuan menggunakan bahasa daerah bagi generasi muda sebenarnya kalau ditelusuri memang bukan kesalahan anak muda jaman sekarang. Tetapi para orang tua yang semakin enggan menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga. Di samping karena semakin lemahnya posisi bahasa daerah menghadapi kondisi globalisasi. Keluarga muda Jawa yang pindah ke kota, dalam komunitas yang heterogen menjadi jarang sekali menggunakan bahasa ibunya. Sehingga penanaman nilai-nilai moral dari orang tua sangat jauh berkurang. Anak-anak kita lebih suka nonton TV atau bermain game, dibanding mendengarkan ceritera sebelum tidur yang seperti para orang tua terdahulu dengan menyelipkan, “liding dongeng mangkene…..” ). Selain dikarenakan para orang tua semakin tak punya waktu, juga karena sudah tak mampu lagi dan membiarkan anaknya mencari kesenangan sendiri. Bisa disimak kondisi itu seperti dalam guritan (puisi Jawa) karya Yunani, seperti dibawah ini:
WIS ORA ANA MANEH KANGGO KOWE
wis ora ana maneh kanggo kowe anakku
dongeng kancil apa uthak-uthak ugel nyengkelit kudhi bujel
bu guru repot penataran, sibu asring tindakan
wacanen dhewe ing kamar
komik bionic lan flash gordon
ing kono ha na ca ra ka asawang layon
wis ora ana maneh kanggo kowe anakku
nglangute pangkur palaran
ngrangine tembang dolanan
yen rembulan ndadari padhang njingglang
setelen video lan kaset obralan
marga wis ora keprungu jarate lan jamuran ing plataran
nini thowok kari bathok sumendhe tembok
neng kamar simbah muwun sesenggrukan
nangisi dina wuri kang ilang
o, putuku wis kabuncang angine jaman
C. Penanaman Tata Krama Melalui Penguatan Pelajaran Bahasa Daerah
Di samping karena semakin berkurangnya penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga maupun pada lingkungan pergaulan, pelajaran terkait dengan tata krama, unggah-ungguh dan budi pekerti selain dimasukkan ke pelajaran Agama dan PPKn (dulu Pendidikan Moral Pancasila) sebenarnya sangat erat sekali dengan pelajaran Bahasa Daerah. Yang masih menjadi masalah sekarang, apakah pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah itu sudah cukup memadai? Untuk Propinsi Jawa Timur, dengan SK Gubernur No.188/188/KPTS/013/2005 menetapkan mata pelajaran Bahasa Daerah sebagai mata pelajaran wajib untuk jenjang Pendidikan Dasar (SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB) negeri maupun swasta. SK Gubernur tersebut dilampiri dengan Kurikulum Bahasa Jawa untuk tingkat SD dan SMP. Namun pada tahun 2008 di beberapa wilayah sudah mengajarkan Bahasa Daerah sampai pada tingkat SMA, misalnya beberapa SMA di daerah Jombang dan Magetan. Di wilayah Surabaya pembelajaran Bahasa Daerah setingkat SMA dilakukan di SMA Trisila dan SMA Takmiriyah. Akan tetapi yang mengajar bukan seluruhnya lulusan jurusan Bahasa Daerah. Di beberapa daerah masih banyak guru-guru bahasa daerah yang bukan lulusan jurusan Bahasa Daerah, melainkan guru-guru ’cakupan” dari bidang studi lain yang dianggap kompeten. Di daerah Pacitan misalnya, dari jumlah 40 guru SMP Negeri, yang lulusan sarjana bahasa Jawa hanya 11 orang, sisanya merupakan guru biologi, guru olah raga, guru tari dan guru lain yang dianggap pintar sebagai MC Jawa (pranatacara).
Masalah tenaga pengajar ini juga dialami di tingkat Sekolah Dasar, pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal (mulok) hanya mendapat porsi 2 jam pelajaran per minggu, gurunya juga banyak yang “cakupan” tidak sesuai dengan bidangnya.
Upaya-upaya untuk meningkatkan pembelajaran bahasa daerah sebenarnya telah banyak dilakukan. Salah satunya dengan cara mengadakan seminar-seminar pembelajaran bahasa Jawa, juga mengadakan lomba-lomba terkait dengan budaya Jawa. Di samping itu pemerintah daerah juga banyak yang mulai peduli akan nasib bahasa daerahnya. Dalam waktu dekat Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan akan meluncurkan Program “Gerakan Sedinten Basa Jawi”. Program ini sama seperti yang digulirkan Pemerintah Kotamadya Surabaya berupa program Java Day (sehari berbahasa Jawa) yang dituangkan dalam Surat Dinas No.421.2/0123/436.5.6/2008. Dengan program ini sebenarnya cukup banyak yang berharap benar-benar bisa diwujudkan. Ini mengingat Surabaya merupakan kota besar dengan penduduk yang heterogen. Cuma masalahnya, apa hanya sekedar program saja, bagaimana program tersebut berjalan tanpa ada upaya-upaya lain yang mendukung? Karena kenyataannya, dari program itu yang paling lemah di dalam program ini adalah pada praktek pelaksanaan di lapangan. Program ini akan sekedar ’slogan program’ jika tidak ada ’sanksi’ yang diberikan atas pelanggaran kesepakatan tersebut.
D. Fungsi Kearifan Lokal Masih Penting
Mengajarkan nilai-nilai tata krama bukanlah sesuatu yang serta merta bisa merubah tatanan atau merubah moral seseorang menjadi baik. Karena agar nilai-nilai itu bisa diserap, di samping butuh waktu yang terus menerus, yang paling utama adalah butuh keteladanan. Seorang guru-guru sepuh (lulusan SPG/SGB) rata-rata gemblengan ilmu keguruannya cukup mumpuni. Di dalam membentuk siswa-siswanya berperilaku baik, mereka selalu menyelipkan ajaran-ajaran budi pekerti di setiap saat. Bukan hanya melalui pelajaran Bahasa Daerah saja, tetapi dalam jam-jam kosong sering menyelipkan ajaran-ajaran moral, budi pekerti, serta nilai-nilai kearifan lokal melalui tembang-tembang, misalnya seperti tembang Mijil :
Poma kaki padha dipun eling
Ing pitutur ingong
Sira uga satriya arane
Kudu anteng jadmika ing budi
Ruruh sarta wasis
Samubarangipun
Dedalane guna lawan sekti
Kudu andhap asor
Wani ngalah luhur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur
Tetapi untuk menanamkan nilai unggah-ungguh seperti yang dijelaskan di atas, dijaman sekarang memang harus diakui tidaklah mudah. Karena kondisi jaman sudah berbeda, anak muda di jaman sekarang lebih mengandalkan berfikir logis. Mendongeng di jaman sekarang pada anak-anak kita, harus rajin dan pandai menterjemahkan simbol-simbol yang perlu dimengerti sebagai pelengkap pemahaman mereka. Anak saya yang masih sekolah si kelas III SD begitu kritis ketika diceriterakan kisah Kleting Kuning dan saudara-saudaranya yang akan melamar Andhe-Andhe Lumut. Pada saat sampai ceritera Kleting Abang, Biru, Ungu, diseberangkan “Yuyu Kangkang” dia menyanggah: Bagaimana mungkin seekor kepiting bisa menyeberangkan manusia? Sejenak saya tercenung, lalu saya jawab: “Ndhuk, yang namanya Yuyu Kangkang itu hanya sebuah gambaran seorang “penggoda “ pada orang yang “gampangan” dan tidak punya keyakinan. Biasanya, orang yang kena goda itu merupakan orang yang berperilaku tidak sopan, yaitu yang duduknya suka “mekangkang”. Mendengar jawaban itu dia terdiam.
Persoalan-pesoalan kecil semacam ini menunjukkan bahwa banyak nilai-nilai kearifan lokal sebenarnya masih sangat penting, tetapi masih karena terbungkus oleh simbol-simbol yang sulit dicerna, sehingga menjadi semakin dijauhi oleh generasi muda. Jadi agar bisa dicerna dan dipahami perlu orang tua yang rela menjelaskan dan mengupas makna yang ada di dalamnya. Di dalam menjelaskanpun juga bukan seperti layaknya guru dan murid. Tidaklah mudah di jaman sekarang menjelaskan makna “Tembang Ilir-Ilir”, tetapi melalui seni pertunjukan yang bisa dikemas dengan bagus, tentunya masih bisa menjadi sajian menarik bagi generasi muda untuk meresapi maknanya.
Dalam cerita wayang, kita tahu banyak tokoh-tokoh yang dianggap tidak mampu berbahasa dengan baik. Werkudara atau Bima, dijelaskan Ki Dalang sebagai tokoh yang tak mampu bisa berbicara krama inggil sepanjang hidupnya, kecuali pada Dewa Ruci. Ada juga Wisanggeni, bocah setengah dewa anak Arjuna dengan bidadari Dresanala (anak Batara Brahma). ini merupakan tokoh anak muda yang terlihat “kurang mempunyai sopan santun” pada orang tua, tetapi kita tahu bahwa dia merupakan tokoh sakti, tiada tanding. Menurut hemat saya, tokoh-tokoh pewayangan di atas bisa jadi merupakan perumpamaan generasi sekarang. Untuk memasukkan nilai-nilai tata krama pada mereka perlu reposisi nilai-nilai itu bisa diterima sesuai pemikiran generasi muda sekarang.
E. Memasukkan Pembelajaran Tata Krama melalui Seni Budaya
Di jaman yang serba global ini televisi mempunyai peran penting menyublim pemirsa untuk berfikir “instan”, memberi iming-iming untuk bisa merubah nasib secara mendadak, terutama menjadi artis merupakan salah satu yang paling menjanjikan. Acara semacam Akademi Fantasi Indosiar (AFI), KDI, Indonesian Idol, ”Super Mak” AFI Yunior, Idola Cilik, dan lain-lain yang kadang melupakan proses bagaimana bisa menjadi seperti yang bisa dilihat di layar kaca itu. Hampir selama empat tahun ini saya dilibatkan sebagai pengamat/juri dalam Pentas Seni yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang selalu diselenggarakan di Taman Remaja. Yang saya catat, di antara berbagai penampilan seni yang paling banyak diikuti dari siswa tingkat TK sampai SMU (biasanya mulai jam 13.00 – jam 24.00) yang begitu favorit dan paling banyak peminatnya adalah “laga busana” atau “fashion show”, bagi anak-anak sekolah Taman Kanak-Kanak. Bukan persoalan bagus tidaknya penampilan siswa-siswa yang masih duduk di sekolah paling rendah ini, tetapi antusiasme para pendukung yang rata-rata ibu-ibu. Saking “hebohnya” mendukung anak-anaknya yang tampil, sampai-sampai mereka merangseg ke depan tanpa peduli membelakangi dewan juri, kadang juga sambil berteriak memberi arahan dari jauh atau berjoget memberi contoh gerakan anak-anaknya yang sedang di atas panggung.
Pemandangan peminat “Laga busana” dengan dukungan luar biasa dari ibu-ibu ini sangat berbeda dengan penampilan “Tembang Dolanan” di tingkat siswa SD yang rata-rata sepi peminat. Paling banter dalam seleksi tingkat kecamatan hanya tiga peserta. Padahal jika diamati, banyak pesan-pesan moral yang disampaikan melalui tembang dolanan, baik melalui bahasa daerah yang dipergunakan maupun pesan-pesan moral yang diselipkan dalam pertunjukan tembang dolanan. Toh walaupun sedikit peminat, anak-anak terlihat sangat serius dan senang menyampaikan pesan-pesan dalam bahasa daerah pada para penonton. Pertanyaan saya setiap menjadi pengamat pentas “tembang dolanan” ini, kenapa kesenian sejenis ini tidak diperkuat untuk membentuk karakter anak dengan memasukkan nilai-nilai budi pekerti?
Perbandingan di atas hanya ingin memberi sebuah gambaran, bahwa muatan pengajaran nilai-nilai tata krama diera sekarang sebenarnya masih relevan. Selain dimasukkan dalam pembelajaran Bahasa Daerah juga bisa dimasukkan dengan penguatan kesadaran lokalitas melalui pelajaran kesenian. Saya sangat setuju bila di tiap-tiap sekolah dilengkapi seperangkat gamelan agar anak-anak bisa berolah seni. Olah seni di sini lebih mengarah ke dalam pengalaman “mengasah rasa” bukan tujuan untuk mencetak siswa semata-mata menjadi seorang seniman. Melalui seni, tembang-tembang dolanan yang mengandung nilai-nilai tata krama, unggah-ungguh, atau ajaran moral yang lain bisa dikemas kembali sesuai keadaan masa kini agar bisa diserap generasi muda tanpa paksaan.
Tetapi bisa tidaknya membangun moralitas melalui kesenian ini tentunya tergantung kebijakan pemerintah dan berpulang pada kita semua, apakah kita punya komitmen eksistensi lokalitas? Karena pada dasarnya penguatan nasionalitas seharusnya sekaligus penguatan lokalitas, bukan sebaliknya menjadi mengeliminir lokalitas.
Rasanya tidak ada ruginya menghargai kembali kekayaan seni tradisi lokal yang banyak berserakan. Saya masih ingat ketika pidato di pembukaan Festival Kesenian Mahasiswa Indonesia (FKMI) III di Kampus STKW (2004), Malik Fajar (Mendiknas waktu itu) secara ujur mengatakan: ”Terlalu lama bangsa ini hanya mengejar ekonomi sehingga dalam menghargai orang dilihat dari jabatannya, mobilnya, dan semua dari segi materi. Negeri iki seperti “suwung” , bukan hanya “kosong” tapi “hampa’ tiada rasa”. Apa jadinya jika bangsa tumbuh dan berkembang tanpa rasa. Akhirnya tidak menghargai martabat seseorang.
***
Daftar Pustaka
Agustinus Ngadiman, 2006, Sikap Generasi Muda Terhadap Bahasa Jawa dan Implikasinya Bagi Penguatan Bhineka Tunggal Ika, makalah Kongres Bahasa Jawa IV Semarang.
……..,Antara, 17 Nopember 2008, “Menbudpar Jerowacik Sosialisasikan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa.”
Hanif Suranto (Ed), 2000, Konflik Multikultur, Panduan Meliput Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan – The Asia Foundation, Jakarta.
Soenarjo, 2006, Mencari Jalan Untuk Bertahan (Tentang Wayang, Dalang dan Globalisasi), Kompyawisda, Jatim.
Y.B. Mangunwijaya (Ed), 1985,Teknologi dan Dampak Kebudayaan, Yayasan Obor- Jakarta.
Widodo Basuki, “Plus Minus Java Day”, artikel di Metropolis, Jawa Pos, 2008.
-------------------, “Menuju Surabaya Peduli Budaya”, artikel di Metropolis, Jawa Pos, 2007.
WIDODO BASUKI
Lahir di Trenggalek 18 Juli 1967 yang merupakan alumni Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Kesenian “Wilwatikta” Surabaya (STKWS) dan IKIP PGRI Adhibuana Surabaya (UNIPA) ini, lebih dikenal sebagai penyair sastra Jawa (penggurit) dan wartawan/redaktur majalah Jaya Baya.
Sebagai penggurit pernah membacakan guritan di TIM Jakarta atas undangan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1999. Bukunya “Layang Saka Paran” mendapat penghargaan Sastra Rancage tahun 2000. Mendapat Juara I Naskah Guritan, Depdikbud Jawa Timur, 1996, juga Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional yang diadakan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) 2002.
Pernah menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Periode 1998-2003. Di tahun 2004 dia mendapat Penghargaan Seniman Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur, kemudian dipercaya masuk Tim Penghargaan Seniman Jawa Timur (2005 – 2008).
Di bidang jurnalistik pernah mendapatkan Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi Jawa Timur tahun 1993, juga Juara I Jurnalistik Pariwisata Departemen Pariwisata Propinsi Jawa Timur tahun 2008. Disamping sebagai penulis lepas bidang budaya juga sering dipercaya sebagai pengamat diberbagai lomba.
(makalah ini pernah disampaikan dalam "Dialog Budaya Daerah Jawa Timur" yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata - Balai pelestarian Sejaran dan Nilai Tradisional Yogyakarta di Penginapan Remaja Surabaya 11-12 Mei 2009)
Selasa, 19 Mei 2009
Rabu, 25 Februari 2009
MENCARI KRITIKUS SASTRA JAWA “ SING WIS NJAWA”
MENCARI KRITIKUS SASTRA JAWA “ SING WIS NJAWA”
Dalam sebuah kesempatan, sebagai wartawan sekaligus penulis sastra Jawa, saya mewawancarai beberapa teman penulis/sastrawan Jawa (maaf, tidak saya sebutkan namanya) terkait dengan pendapat mereka pada Kongres Sastra Jawa (KSJ ) II di Semarang yang diadakan hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV juga di Semarang (30 Juni – 2 Juli 2006). Dari wawancara itu saya jadikan sebagai bahan untuk iku meramaikan Kongres yang terkait dengan bahasa dan sastra Jawa tersebut dengan menulis artikel.
Tulisan saya asli berjudul “Nada Sumbang Menyongsong KSJ II Semarang 2006”. Tulisan itu saya kirimkan ke Surabaya Post yang kemudian dimuat tanggal 9 April 2006. Sayangnya, judulnya dirubah. Entah, mungkin bagi redaktur Surabaya Post judul saya pada waktu itu dianggap “kurang menggigit” atau bagaimana, saya tidak tahu. Ternyata judul yang menurut saya sebelumnya lebih “halus” itu diganti dengan judul yang lumayan tafsirannya, yaitu: “Ndompleng Momen Besar KBJ”
Nduilahhhh!!! Ternyata sambutan dari tulisan yang saya di Surabaya Post (dengan judul baru ) itu sangat luar biasa. Karena orang yang selama itu menganggap dirinya sebagai “ sang pemikir/ konseptor” atas Kongres Sastra Jawa menjadi seolah-olah “bukan lagi kebakaran jenggot” lagi membaca tulisan saya, tapi sudah “kebakaran hutan” he..he..he…….
Lalu, saking nggak kuat menahan “kebrongotnya perasaan di dada” kemudian beliaunya menjawab dengan nada yang sangat keras. Tulisan tanggapannya bukan pada substansi tulisan yang saya harapkan “sebagai autokritik” terhadap sastrawan Jawa, tetapi justru lebih mengarah untuk “menusuk” diri saya sebagai pribadi, Widodo Basuki, sampai disebut-sebut posisi saya sebagai wartawan di media berbahasa Jawa, segala….heh..heh…heh…Judulnya, mbok..mbok, jian…sangat keras: ”Menyurigai Sastrawan Yang Tak Sakit Hati”…………..
Jauh saya merenung tentang peristiwa itu. Tiga tahun sudah saya menyimpan tulisan saya maupun kiriman e-mail tentang jawaban tulisan itu dalam komputer saya. Dengan nada yang “ngelus dada”, saya berkesimpulan: tidak mudah mencari kritikus sastra Jawa yang sudah “nJawa”. Padahal kalau sampeyan tahu, sebagai sastrawan sastra Jawa, saya pernah dibuat sebagai bahan ”lelucon” dalam “Pengadilan Sastra Jawa” (2001) oleh “sang konseptor/pemikir” itu. Pada waktu itu saya bersama Pak Harmono Kasiyun (mewakili para pemenang hadiah Rancage) di “blangkoni” terus diadili di depan “pengadilan Sastra Jawa” yang intinya membuat guyonan yang tidak lucu, dan menyangsikan “karya” penerima Rancage.
Jika sampeyan “Pemerhati sastra Jawa” dan kebetulan mendapati tulisan di blog saya ini, berikut ini saya lampirkan secara lengkap tulisan itu berikut jawabannya dari “sang konseptor/pemikir” sastra Jawa itu, dalam keadaan masih asli (belum diedit redaktur surat kabar).
Semoga bisa menjadi bahan untuk mengamati “gelegar Sastra Jawa”..
Selamat menikmati!
1. Tulisan saya yang asli:
NADA SUMBANG MENYONGSONG KSJ II SEMARANG 2006
Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang rencana akan di gelar di Semarang 30 Juni – 2 Juli 2006 yang hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di Semarang tanggal 5-10 Juli 2006 mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Catatan dari beberapa pendapat teman sastra Jawa ketika disodori sebuah pertanyaan: “Apa yang bisa diharapkan dari KSJ?” Ternyata jawabannya sangat beragam. Ada yang dengan nada sedikit kelakar menjawab, “Durung ana. Paling ngobyongi barisan sakit hati merga ora diundang KBJ” (Belum ada. Paling cuma mendukung barisan sakit hati karena tak diundang KBJ). Ada yang dengan nada keras, ”Bathi kanggone panitia ha..ha” (Untung bagi panitia ha ha..). Nada lain ada yang ingin menitipkan harapan besar bagi terbentuknya tim handal pemasar buku-buku sastra Jawa. Juga ada yang pengin reuni saja, juga masih ada yang masih menunggu, karena mereka berpendapat jangan-jangan kongres itu hanya untuk kepentingan beberapa orang yang mengatasnamakan sastra Jawa.
Barangkali itulah salah satu fenomena di sastra Jawa. Tetapi melihat kelahiran KSJ yang pertama di Solo tahun 2001, memang tidak bisa dipungkiri kalau pencetusan KSJ tersebut karena ketidakpuasan beberapa sastrawan yang tidak diundang di Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta pada waktu itu. Di satu sisi KSJ ini memang menarik untuk disimak sebagai ajang “kebangkitan” sastra Jawa, tetapi bila hanya masalah yang timbul itu karena ketidakpuasan selama ini atas penyelenggaraan Kongres Bahasa Jawa dianggap tidak memberikan porsi signifikan pada sastra/sastrawan Jawa, itu menjadi tidak menarik. Dalam arena Kongres Bahasa Jawa, yang dianggap menjadi pilar hidup matinya bahasa Jawa, bukan satu-satunya dari sastrawan Jawa. Tetapi para penutur, paguyuban, panata adicara, para dalang, para praktisi media, para pendidik, dan lain-lain.
Tetapi karena pada waktu itu terlanjur acara KSJ itu dianggap sebagai “tandingan”, menyebabkan panitia Kongres Bahasa Jawa III kelabakan dan akhirnya ikut merespon berat penyelenggaraan KSJ. Serta merta teman-teman sastra Jawa yang berkongres sastra itu kemudian diundang di acara KBJ. Sayangnya, kontribusi dan suara Daniel Tito, Keliek SW dan Bonari Nabonenar yang dianggap sebagai pemrakarsa KSJ Solo justru lenyap di KBJ.
Yang lebih menarik yaitu saat sastrawan Esmiet (Alm.) dari Banyuwangi yang pada waktu itu diminta sebagai pembicara bersanding dengan sinden Sunyahni. Esmiet bertutur bahwa “sastra Jawa” harus “di-ruwat” karena sejak jaman nenek moyang dulu terlanjur kena kutukan dari Empu Sedah.
.
Menghilangkan Dendang “Megatruh”
Melihat fenomena seperti di atas, banyak hal yang harus dicatat untuk kemajuan sastra Jawa. Jika penyelenggaraan KSJ II di Semarang memang benar diselenggarakan, agenda yang sangat perlu ditonjolkan, yaitu: koreksi diri. Karena meminjam istilah sastrawan Jawa asal Paron-Ngawi, Poerwadhie Admodihardjo (Alm.), menganggap: Bahasa dan sastra Jawa acapkali dijadikan bahan pokok sarasehan-sarasehan yang diselenggarakan di beberapa kota, baik di daerah Jawa Tengah, DIY, maupun di Jawa Timur, akan tetapi lagu-lagu yang senantiasa didendangkan dalam setiap sarasehan nyatanya juga hanya yang itu-itu saja, sebangsa Megatruh, Maskumambang, Dhandhanggula-Tlutur, Sinom-Logondhang dan Renyep, lagu-lagu sedih yang mengundang air mata supaya bercucuran tanpa membuat kedua belah pipi menjadi basah kuyup karenanya. Sebab-musabab ketimpangan jalan bahasa dan satra Jawa di setiap sarasehan dicari sampai “njlimet” dan dapat pula “diketemukan”, kesimpulan-kesimpulannya dibuat selengkap mungkin dan akhirnya keputusan-keputusannya diambil dan disusun rapi, rencana dan pedoman serta Juklaknya dalam rangka usaha “memperbaiki nasib bahasa dan sastra Jawa”. Akan tetapi sayang, sejarah membuktikan segala itu pada hakekatnya hanya merupakan “swara gumontang sing tanpa kumandhang” (suara bergemuruh yang tiada bergema) saja. Dan pendapat, bahkan ejekan yang mengatakan bahasa dan sastra Jawa lesu tetap saja terdengar di sana-sini.
Jika tema utama dari Kongres Bahasa Jawa IV lebih mengarah ke arah topik-topik pemberdayaan pembinaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis mengingat semakin tipisnya penggunaan bahasa bagi anak-anak muda. Lalu bagaimana dengan tema yang diangkat di Kongres Sastra Jawa II? Apakah hanya mengandalkan bola muntah dengan cara menempatkan waktu penyelenggaraan yang hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa IV? Jika ya, alangkah mundurnya sastra Jawa. Selama ini sastra Jawa masih dianggap sebagai “sastra magersaren” yang hidupnya nunut di majalah umum bahasa Jawa seperti Jayabaya, Panjebar Semangat ataupun Djoko Lodang. Kalau toh sekarang soal penyelenggaraan Kongres Sastra Jawa saja masih punya semangat “ndompleng moment yang besar” berarti tak ada bedanya dengan “semangat magersaren” selama ini.
Saya kira sastra Jawa akan lebih berwibawa bila waktu penyelenggaraan tidak sekedar mendopleng arus besar, sehingga bisa melepaskan kesan kalau event ini diselenggarakan oleh “barisan sakit hati”. Kalau boleh gagah-gagahan, lebih baik penyelenggaraannya dalam waktu dan tanggal yang bersamaan sekalian. Bukan “ngucireng” dengan mengambil untung dari segi “entertain”.
Sisi yang patut dicermati, rasanya sulit merumuskan sejauh mana KSJ ini memang benar-benar didukung oleh eksponen sastrawan Jawa, atau benar-benar didukung kepentingan murni yang punya harapan besar bagi pembelajaran dan kemajuan sastra Jawa. Kecenderungan problem di sastra Jawa sebenarnya harus “autokritik” pada sastrawannya sendiri, tentu salah satunya adalah menghilangkan semangat “nunut mukti” itu. Tak masalah sastra Jawa dibaca oleh sedikit orang.
Pangalaman yang telah berlangsung, saat acara “Pengadilan Sastra Jawa” di Surabaya yang bermodal semangat “ndompleng” pada acara penerimaan “Hadiah Rancage” tahun 2002 dengan menempatkan para “penerima Rancage” sebagai “terdakwa” tak banyak “kemaslahatannya”. Hasilnya yang tertinggal hanya rumusan betapa banyak borok-borok di sastra Jawa.
Jika benar ada, harapan besar dari KSJ mungkin kembali pada pribadi sastrawan Jawa sendiri, sejauh mana mereka mampu menghasilkan karya-karya dan buku-buku yang bermutu. Tentu harus didukung dengan semangat saling menghargai dan membudayakan dengan “kritik membangun” pada karya-karya teman sastrawan Jawa yang lain. Dan tentu saja ada atau tidak KSJ tetap akan terus berkarya dalam sastra Jawa.
Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemenang Rancage tahun 2000, tinggal di Sidoarjo.
2. Jawaban dari yang menyebut dirinya “sang pemikir/konseptor”.
Menyurigai Sastrawan Jawa yang Tak Sakit Hati
Tulisan Widodo Basuki berjudul Ndompleng Momen Besar KBJ (Surabaya Post, Minggu, 9 April 2006) diawali dengan pernyataan bernada ragu, bahwa Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang waktunya hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Kata ’mungkin’ menunjukkan keraguan penggurit yang pernah mendapat hadiah Rancage untuk buku kumpulan guritan-nya, Layang saka Paran itu. Keraguan itu diikuti pula oleh frase yang juga mengambang, ’’tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa.’’
Jika yang diinginkan hanya sekadar gaung, berita-berita mengenai KSJ II telah muncul di Suara Merdeka, Wawasan (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta), Surabaya Post, Kompas halaman Jatim, dan tampaknya satu-satunya media berbahasa Jawa yang merasa perlu memberitakannya, yakni Panjebar Semangat (Surabaya). Bagaimana halnya dengan Jaya Baya, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya dan salah seorang redakturnya adalah Widodo Basuki?
Pertemuan-pertemuan panitia, termasuk pertemuan para pendukung kongres modal nekad ini juga sudah lumayan sering diadakan: di Surabaya, Jogjakarta, Tulungagung, dan Semarang. Bahkan, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya telah mengagendakan acara seminar, pra-KSJ II melalui Forum Transit, bekerja sama dengan Taman Budaya dan Dewan Kesenian Jatim, 9 Mei 2006. Publikasi melalui world web wide juga sudah dilakukan, antara lain dapat diakses melalui: http//www.nabonenar.blogspot.com atau http://kongressastrajawa.blogspot.com.
Widodo tidak cukup bernyali untuk mengatakan: ’’Prekethek dengan KSJ II,’’ atau ’’KSJ II, nggak usahlah yauw!’’ Maka, yang dilakukannya hanyalah menghibur diri dengan gaya pinisepuh: nuturi atau memberi petunjuk bahwa sebaiknya KSJ II menjadi ajang introspeksi, termasuk berupaya agar para sastrawan Jawa berkarya dan menghasilkan buku bermutu. Berupaya menghasilkan karya bermutu adalah tugas para seniman, termasuk sastrawan, dan lebih khusus lagi: sastrawan Jawa. Tetapi Widodo masih merasa perlu menambahnya dengan: buku bermutu! Pemenang hadiah Rancage tahun 2000 itu tampaknya perlu diingatkan, sekali lagi, bahwa tugas seniman adalah mencipta. Urusan membuat buku, menjual atau memasarkan, itu adalah kewajiban pihak lain yang secara sukarela mengambilnya --misalnya dengan mendirikan penerbitan dan/atau membuat toko buku-- yang bukannya tidak boleh dirangkap oleh sastrawan atau pengarang. Sejarah Sastra Jawa, misalnya, mencatat nama Any Asmara yang memiliki penerbitan, termasuk untuk menyetak karya-karya beliau sendiri. Di Surabaya juga ada pengarang yang –walau tidak punya penerbitan— menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa-nya dengan biaya sendiri: Suparto Brata dan Trinil Setyowati, dan jangan lupa: Widodo Basuki. Lebih tepatnya, menerbitkan buku dan menjualnya itu adalah juga hak setiap orang termasuk pengarang, tetapi bukan kewajiban mereka.
Sebelum berintrospeksi, dalam kaitannya dengan perbukuan dalam Sastra Jawa Modern ini, ada sebuah pertanyaan menarik: Siapakah yang lebih bermutu, orang-orang yang dengan gigih berusaha agar tercipta iklim yang kondusif bagi munculnya karya-karya bermutu dan pada gilirannya terbangun tradisi penerbitan buku yang baik pula, ataukah orang yang secara individual memaksakan diri menerbitkan bukunya sendiri setiap tahun, walau buku-buku yang terbit itu tak lebih dari semacam album dangdut dimana buku terbaru adalah kumpulan sejumlah karya lama yang dibiarkan apa adanya atau di-pupuri sedemikian rupa dan ditambah beberapa karya saja yang benar-benar baru?
Saya lebih suka menilai bahwa menyelenggarakan seminar, sarasehan, atau bahkan Kongres Sastra Jawa --walau terpaksa harus ngalem diri sendiri— adalah berkarya juga. Kalau menuruti anjuran Widodo, tidak akan ada kritik dalam Sastra Jawa Modern. Sebab, kritik itu, pasti, menurut widodo: ’’hanya omong doang!’’ Widodo lupa bahwa ada manusia tipe pekerja dan tipe pemikir (konseptor). Masing-masing tipe itu tidak lebih mulia atau lebih hina daripada yang lain. Jika ada yang lebih buruk, ialah jika seseorang dari tipe tertentu secara terang-terangan mencerca pihak dari tipe lain semaunya sendiri. Tak lebih dan tak kurang, itulah yangt telah dilakukan seorang Widodo Basuki.
Berkaitan dengan tema KBJ IV, Widodo menulis, ’’Jika tema utama dari KBJ IV lebih mengarah ke pemberdayaan pem binaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis...’’ Saya menginginkan, misalnya, Panitia KBJ IV punya cukup keberanian untuk mengusung tema: ’’Memperkokoh Kedudukan Bahasa Jawa sebagai Warga Bahasa Dunia.’’ Ketika cakupan tema itu seolah hanya berat pada titik pendidikan, kita tahu bahwa di Jawa Tengah, misalnya, sudah keluar Surat Keputusan Gubernur yang memberi peluang yang sangat luas bagi mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah: dari TK hingga tingkat SMU. Artinya, khusus di wilayah pendidikan, dalam hal legalitas, kita sudah keluar dari salah satu persoalan besar: tersisihnya mata pelajaran bahasa Jawa. Pekerjaan besar yang ada di depan mata, berkaitan dengan wilayah pendidikan itu, kini, antara lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas para guru, meninjau ulang kurikulumnya, dan menyediakan sebanyak-banyaknya buku bacaan berbahasa Jawa yang tanpa rekomendasi KBJ pun bisa dilakukan asalkan ada kemauan.
Menanggapi komentar saya, Dr Ayu Sutarto mengatakan bahwa persoalan etnis kini memang cukup sensitif. Jika tema itu secara terang-terangan menyebut istilah memperkokoh bahasa Jawa atau sejenisnya, dikhawatirkan oleh Panitia KBJ akan mengundang penafsiran keliru pihak luar (Jawa) sebagai serta-merta akan memperlemah bahasa Indonesia. Alasan berikutnya, masih menurut Dr Ayu Sutarto, ialah bahwa ketika rumusan tema itu ditetapkan, anggota panitia dari unsur disiplin ilmu kependidikan memang lebih dominan dalam jumlah, dan dengan demikian menang suara. Alasan itu lebih bisa diterima daripada alasan Widodo.
Lagi, menurut Widodo, KSJ I maupun KSJ II adalah pekerjaan orang-orang sakit hati. Pertanyaan saya: jika memang ada yang merasa sakit hati, apa salahnya? Saya justru menyurigai sastrawan Jawa semacam Widodo yang tidak sedikit pun merasa sakit hati ketika dana milyaran rupiah digunakan untuk pesta andrawina, untuk menerbitkan kamus tebal, buku tatabahasa, direktori, dan tak serupiah pun digunakan untuk menerbitkan karya sastra Jawa! Pada tahun 2001 di arena KBJ III memang beredar buku kumpulan crita cekak,Pasewakan Jawi. Buku itu berisi sekian banyak crita cekak hasil menyomot begitu saja karya beberapa orang pengarang tanpa pemberitahuan, apalagi memberi royalti. Kenyataan itu cukup menyakitkan.
Kalau pun KSJ harus ndompleng apa yang disebut Widodo sebagai momen besar KBJ, apa salahnya pula, jika itu dipandang lebih menguntungkan bagi Sastra Jawa Modern, setidaknya menurut keyakinan mereka yang meyakininya?
Jika ada yang merasa dirugikan, termasuk membuat pihak-pihak tertentu gusar, boleh-boleh saja lho, mengadukannya kepada pihak berwajib, misalnya mencoba menjerat para penggagas dan pekerja KSJ dengan delik ’’perbuatan tidak menyenangkan’’! Lha, anehnya, kok yang tidak senang justru hanya seorang Widodo Basuki?
Menurut saya pula, KBJ bukan satu-satunya media untuk bersuara. Jika Widodo melihat saya dan kawan-kawan pekerja KSJ I bungkam di arena KBJ III, artikel saya yang dimuat Bernas pada hari terakhir KBJ III dan tulisan Suwardi Endraswara beberapa hari sebelumnya, misalnya, pastilah juga luput dibacanya.
Pada akhirnya, saya minta maaf kepada Surabaya Post, karena saya terpaksa menjelaskan hal remeh-temeh ini. Padahal, kavling yang tersedia ini tentu akan lebih bagus jika bisa dimanfaatkan untuk mengekspos wacana-wacana yang lebih ’’cerdas’’. Habis, gimana lagi, lha wong tudingan-tudingan Widodo juga tak kalah tak bermutunya sih!
(Bonari Nabonenar, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya).
Dalam sebuah kesempatan, sebagai wartawan sekaligus penulis sastra Jawa, saya mewawancarai beberapa teman penulis/sastrawan Jawa (maaf, tidak saya sebutkan namanya) terkait dengan pendapat mereka pada Kongres Sastra Jawa (KSJ ) II di Semarang yang diadakan hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV juga di Semarang (30 Juni – 2 Juli 2006). Dari wawancara itu saya jadikan sebagai bahan untuk iku meramaikan Kongres yang terkait dengan bahasa dan sastra Jawa tersebut dengan menulis artikel.
Tulisan saya asli berjudul “Nada Sumbang Menyongsong KSJ II Semarang 2006”. Tulisan itu saya kirimkan ke Surabaya Post yang kemudian dimuat tanggal 9 April 2006. Sayangnya, judulnya dirubah. Entah, mungkin bagi redaktur Surabaya Post judul saya pada waktu itu dianggap “kurang menggigit” atau bagaimana, saya tidak tahu. Ternyata judul yang menurut saya sebelumnya lebih “halus” itu diganti dengan judul yang lumayan tafsirannya, yaitu: “Ndompleng Momen Besar KBJ”
Nduilahhhh!!! Ternyata sambutan dari tulisan yang saya di Surabaya Post (dengan judul baru ) itu sangat luar biasa. Karena orang yang selama itu menganggap dirinya sebagai “ sang pemikir/ konseptor” atas Kongres Sastra Jawa menjadi seolah-olah “bukan lagi kebakaran jenggot” lagi membaca tulisan saya, tapi sudah “kebakaran hutan” he..he..he…….
Lalu, saking nggak kuat menahan “kebrongotnya perasaan di dada” kemudian beliaunya menjawab dengan nada yang sangat keras. Tulisan tanggapannya bukan pada substansi tulisan yang saya harapkan “sebagai autokritik” terhadap sastrawan Jawa, tetapi justru lebih mengarah untuk “menusuk” diri saya sebagai pribadi, Widodo Basuki, sampai disebut-sebut posisi saya sebagai wartawan di media berbahasa Jawa, segala….heh..heh…heh…Judulnya, mbok..mbok, jian…sangat keras: ”Menyurigai Sastrawan Yang Tak Sakit Hati”…………..
Jauh saya merenung tentang peristiwa itu. Tiga tahun sudah saya menyimpan tulisan saya maupun kiriman e-mail tentang jawaban tulisan itu dalam komputer saya. Dengan nada yang “ngelus dada”, saya berkesimpulan: tidak mudah mencari kritikus sastra Jawa yang sudah “nJawa”. Padahal kalau sampeyan tahu, sebagai sastrawan sastra Jawa, saya pernah dibuat sebagai bahan ”lelucon” dalam “Pengadilan Sastra Jawa” (2001) oleh “sang konseptor/pemikir” itu. Pada waktu itu saya bersama Pak Harmono Kasiyun (mewakili para pemenang hadiah Rancage) di “blangkoni” terus diadili di depan “pengadilan Sastra Jawa” yang intinya membuat guyonan yang tidak lucu, dan menyangsikan “karya” penerima Rancage.
Jika sampeyan “Pemerhati sastra Jawa” dan kebetulan mendapati tulisan di blog saya ini, berikut ini saya lampirkan secara lengkap tulisan itu berikut jawabannya dari “sang konseptor/pemikir” sastra Jawa itu, dalam keadaan masih asli (belum diedit redaktur surat kabar).
Semoga bisa menjadi bahan untuk mengamati “gelegar Sastra Jawa”..
Selamat menikmati!
1. Tulisan saya yang asli:
NADA SUMBANG MENYONGSONG KSJ II SEMARANG 2006
Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang rencana akan di gelar di Semarang 30 Juni – 2 Juli 2006 yang hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di Semarang tanggal 5-10 Juli 2006 mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Catatan dari beberapa pendapat teman sastra Jawa ketika disodori sebuah pertanyaan: “Apa yang bisa diharapkan dari KSJ?” Ternyata jawabannya sangat beragam. Ada yang dengan nada sedikit kelakar menjawab, “Durung ana. Paling ngobyongi barisan sakit hati merga ora diundang KBJ” (Belum ada. Paling cuma mendukung barisan sakit hati karena tak diundang KBJ). Ada yang dengan nada keras, ”Bathi kanggone panitia ha..ha” (Untung bagi panitia ha ha..). Nada lain ada yang ingin menitipkan harapan besar bagi terbentuknya tim handal pemasar buku-buku sastra Jawa. Juga ada yang pengin reuni saja, juga masih ada yang masih menunggu, karena mereka berpendapat jangan-jangan kongres itu hanya untuk kepentingan beberapa orang yang mengatasnamakan sastra Jawa.
Barangkali itulah salah satu fenomena di sastra Jawa. Tetapi melihat kelahiran KSJ yang pertama di Solo tahun 2001, memang tidak bisa dipungkiri kalau pencetusan KSJ tersebut karena ketidakpuasan beberapa sastrawan yang tidak diundang di Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta pada waktu itu. Di satu sisi KSJ ini memang menarik untuk disimak sebagai ajang “kebangkitan” sastra Jawa, tetapi bila hanya masalah yang timbul itu karena ketidakpuasan selama ini atas penyelenggaraan Kongres Bahasa Jawa dianggap tidak memberikan porsi signifikan pada sastra/sastrawan Jawa, itu menjadi tidak menarik. Dalam arena Kongres Bahasa Jawa, yang dianggap menjadi pilar hidup matinya bahasa Jawa, bukan satu-satunya dari sastrawan Jawa. Tetapi para penutur, paguyuban, panata adicara, para dalang, para praktisi media, para pendidik, dan lain-lain.
Tetapi karena pada waktu itu terlanjur acara KSJ itu dianggap sebagai “tandingan”, menyebabkan panitia Kongres Bahasa Jawa III kelabakan dan akhirnya ikut merespon berat penyelenggaraan KSJ. Serta merta teman-teman sastra Jawa yang berkongres sastra itu kemudian diundang di acara KBJ. Sayangnya, kontribusi dan suara Daniel Tito, Keliek SW dan Bonari Nabonenar yang dianggap sebagai pemrakarsa KSJ Solo justru lenyap di KBJ.
Yang lebih menarik yaitu saat sastrawan Esmiet (Alm.) dari Banyuwangi yang pada waktu itu diminta sebagai pembicara bersanding dengan sinden Sunyahni. Esmiet bertutur bahwa “sastra Jawa” harus “di-ruwat” karena sejak jaman nenek moyang dulu terlanjur kena kutukan dari Empu Sedah.
.
Menghilangkan Dendang “Megatruh”
Melihat fenomena seperti di atas, banyak hal yang harus dicatat untuk kemajuan sastra Jawa. Jika penyelenggaraan KSJ II di Semarang memang benar diselenggarakan, agenda yang sangat perlu ditonjolkan, yaitu: koreksi diri. Karena meminjam istilah sastrawan Jawa asal Paron-Ngawi, Poerwadhie Admodihardjo (Alm.), menganggap: Bahasa dan sastra Jawa acapkali dijadikan bahan pokok sarasehan-sarasehan yang diselenggarakan di beberapa kota, baik di daerah Jawa Tengah, DIY, maupun di Jawa Timur, akan tetapi lagu-lagu yang senantiasa didendangkan dalam setiap sarasehan nyatanya juga hanya yang itu-itu saja, sebangsa Megatruh, Maskumambang, Dhandhanggula-Tlutur, Sinom-Logondhang dan Renyep, lagu-lagu sedih yang mengundang air mata supaya bercucuran tanpa membuat kedua belah pipi menjadi basah kuyup karenanya. Sebab-musabab ketimpangan jalan bahasa dan satra Jawa di setiap sarasehan dicari sampai “njlimet” dan dapat pula “diketemukan”, kesimpulan-kesimpulannya dibuat selengkap mungkin dan akhirnya keputusan-keputusannya diambil dan disusun rapi, rencana dan pedoman serta Juklaknya dalam rangka usaha “memperbaiki nasib bahasa dan sastra Jawa”. Akan tetapi sayang, sejarah membuktikan segala itu pada hakekatnya hanya merupakan “swara gumontang sing tanpa kumandhang” (suara bergemuruh yang tiada bergema) saja. Dan pendapat, bahkan ejekan yang mengatakan bahasa dan sastra Jawa lesu tetap saja terdengar di sana-sini.
Jika tema utama dari Kongres Bahasa Jawa IV lebih mengarah ke arah topik-topik pemberdayaan pembinaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis mengingat semakin tipisnya penggunaan bahasa bagi anak-anak muda. Lalu bagaimana dengan tema yang diangkat di Kongres Sastra Jawa II? Apakah hanya mengandalkan bola muntah dengan cara menempatkan waktu penyelenggaraan yang hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa IV? Jika ya, alangkah mundurnya sastra Jawa. Selama ini sastra Jawa masih dianggap sebagai “sastra magersaren” yang hidupnya nunut di majalah umum bahasa Jawa seperti Jayabaya, Panjebar Semangat ataupun Djoko Lodang. Kalau toh sekarang soal penyelenggaraan Kongres Sastra Jawa saja masih punya semangat “ndompleng moment yang besar” berarti tak ada bedanya dengan “semangat magersaren” selama ini.
Saya kira sastra Jawa akan lebih berwibawa bila waktu penyelenggaraan tidak sekedar mendopleng arus besar, sehingga bisa melepaskan kesan kalau event ini diselenggarakan oleh “barisan sakit hati”. Kalau boleh gagah-gagahan, lebih baik penyelenggaraannya dalam waktu dan tanggal yang bersamaan sekalian. Bukan “ngucireng” dengan mengambil untung dari segi “entertain”.
Sisi yang patut dicermati, rasanya sulit merumuskan sejauh mana KSJ ini memang benar-benar didukung oleh eksponen sastrawan Jawa, atau benar-benar didukung kepentingan murni yang punya harapan besar bagi pembelajaran dan kemajuan sastra Jawa. Kecenderungan problem di sastra Jawa sebenarnya harus “autokritik” pada sastrawannya sendiri, tentu salah satunya adalah menghilangkan semangat “nunut mukti” itu. Tak masalah sastra Jawa dibaca oleh sedikit orang.
Pangalaman yang telah berlangsung, saat acara “Pengadilan Sastra Jawa” di Surabaya yang bermodal semangat “ndompleng” pada acara penerimaan “Hadiah Rancage” tahun 2002 dengan menempatkan para “penerima Rancage” sebagai “terdakwa” tak banyak “kemaslahatannya”. Hasilnya yang tertinggal hanya rumusan betapa banyak borok-borok di sastra Jawa.
Jika benar ada, harapan besar dari KSJ mungkin kembali pada pribadi sastrawan Jawa sendiri, sejauh mana mereka mampu menghasilkan karya-karya dan buku-buku yang bermutu. Tentu harus didukung dengan semangat saling menghargai dan membudayakan dengan “kritik membangun” pada karya-karya teman sastrawan Jawa yang lain. Dan tentu saja ada atau tidak KSJ tetap akan terus berkarya dalam sastra Jawa.
Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemenang Rancage tahun 2000, tinggal di Sidoarjo.
2. Jawaban dari yang menyebut dirinya “sang pemikir/konseptor”.
Menyurigai Sastrawan Jawa yang Tak Sakit Hati
Tulisan Widodo Basuki berjudul Ndompleng Momen Besar KBJ (Surabaya Post, Minggu, 9 April 2006) diawali dengan pernyataan bernada ragu, bahwa Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang waktunya hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Kata ’mungkin’ menunjukkan keraguan penggurit yang pernah mendapat hadiah Rancage untuk buku kumpulan guritan-nya, Layang saka Paran itu. Keraguan itu diikuti pula oleh frase yang juga mengambang, ’’tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa.’’
Jika yang diinginkan hanya sekadar gaung, berita-berita mengenai KSJ II telah muncul di Suara Merdeka, Wawasan (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta), Surabaya Post, Kompas halaman Jatim, dan tampaknya satu-satunya media berbahasa Jawa yang merasa perlu memberitakannya, yakni Panjebar Semangat (Surabaya). Bagaimana halnya dengan Jaya Baya, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya dan salah seorang redakturnya adalah Widodo Basuki?
Pertemuan-pertemuan panitia, termasuk pertemuan para pendukung kongres modal nekad ini juga sudah lumayan sering diadakan: di Surabaya, Jogjakarta, Tulungagung, dan Semarang. Bahkan, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya telah mengagendakan acara seminar, pra-KSJ II melalui Forum Transit, bekerja sama dengan Taman Budaya dan Dewan Kesenian Jatim, 9 Mei 2006. Publikasi melalui world web wide juga sudah dilakukan, antara lain dapat diakses melalui: http//www.nabonenar.blogspot.com atau http://kongressastrajawa.blogspot.com.
Widodo tidak cukup bernyali untuk mengatakan: ’’Prekethek dengan KSJ II,’’ atau ’’KSJ II, nggak usahlah yauw!’’ Maka, yang dilakukannya hanyalah menghibur diri dengan gaya pinisepuh: nuturi atau memberi petunjuk bahwa sebaiknya KSJ II menjadi ajang introspeksi, termasuk berupaya agar para sastrawan Jawa berkarya dan menghasilkan buku bermutu. Berupaya menghasilkan karya bermutu adalah tugas para seniman, termasuk sastrawan, dan lebih khusus lagi: sastrawan Jawa. Tetapi Widodo masih merasa perlu menambahnya dengan: buku bermutu! Pemenang hadiah Rancage tahun 2000 itu tampaknya perlu diingatkan, sekali lagi, bahwa tugas seniman adalah mencipta. Urusan membuat buku, menjual atau memasarkan, itu adalah kewajiban pihak lain yang secara sukarela mengambilnya --misalnya dengan mendirikan penerbitan dan/atau membuat toko buku-- yang bukannya tidak boleh dirangkap oleh sastrawan atau pengarang. Sejarah Sastra Jawa, misalnya, mencatat nama Any Asmara yang memiliki penerbitan, termasuk untuk menyetak karya-karya beliau sendiri. Di Surabaya juga ada pengarang yang –walau tidak punya penerbitan— menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa-nya dengan biaya sendiri: Suparto Brata dan Trinil Setyowati, dan jangan lupa: Widodo Basuki. Lebih tepatnya, menerbitkan buku dan menjualnya itu adalah juga hak setiap orang termasuk pengarang, tetapi bukan kewajiban mereka.
Sebelum berintrospeksi, dalam kaitannya dengan perbukuan dalam Sastra Jawa Modern ini, ada sebuah pertanyaan menarik: Siapakah yang lebih bermutu, orang-orang yang dengan gigih berusaha agar tercipta iklim yang kondusif bagi munculnya karya-karya bermutu dan pada gilirannya terbangun tradisi penerbitan buku yang baik pula, ataukah orang yang secara individual memaksakan diri menerbitkan bukunya sendiri setiap tahun, walau buku-buku yang terbit itu tak lebih dari semacam album dangdut dimana buku terbaru adalah kumpulan sejumlah karya lama yang dibiarkan apa adanya atau di-pupuri sedemikian rupa dan ditambah beberapa karya saja yang benar-benar baru?
Saya lebih suka menilai bahwa menyelenggarakan seminar, sarasehan, atau bahkan Kongres Sastra Jawa --walau terpaksa harus ngalem diri sendiri— adalah berkarya juga. Kalau menuruti anjuran Widodo, tidak akan ada kritik dalam Sastra Jawa Modern. Sebab, kritik itu, pasti, menurut widodo: ’’hanya omong doang!’’ Widodo lupa bahwa ada manusia tipe pekerja dan tipe pemikir (konseptor). Masing-masing tipe itu tidak lebih mulia atau lebih hina daripada yang lain. Jika ada yang lebih buruk, ialah jika seseorang dari tipe tertentu secara terang-terangan mencerca pihak dari tipe lain semaunya sendiri. Tak lebih dan tak kurang, itulah yangt telah dilakukan seorang Widodo Basuki.
Berkaitan dengan tema KBJ IV, Widodo menulis, ’’Jika tema utama dari KBJ IV lebih mengarah ke pemberdayaan pem binaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis...’’ Saya menginginkan, misalnya, Panitia KBJ IV punya cukup keberanian untuk mengusung tema: ’’Memperkokoh Kedudukan Bahasa Jawa sebagai Warga Bahasa Dunia.’’ Ketika cakupan tema itu seolah hanya berat pada titik pendidikan, kita tahu bahwa di Jawa Tengah, misalnya, sudah keluar Surat Keputusan Gubernur yang memberi peluang yang sangat luas bagi mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah: dari TK hingga tingkat SMU. Artinya, khusus di wilayah pendidikan, dalam hal legalitas, kita sudah keluar dari salah satu persoalan besar: tersisihnya mata pelajaran bahasa Jawa. Pekerjaan besar yang ada di depan mata, berkaitan dengan wilayah pendidikan itu, kini, antara lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas para guru, meninjau ulang kurikulumnya, dan menyediakan sebanyak-banyaknya buku bacaan berbahasa Jawa yang tanpa rekomendasi KBJ pun bisa dilakukan asalkan ada kemauan.
Menanggapi komentar saya, Dr Ayu Sutarto mengatakan bahwa persoalan etnis kini memang cukup sensitif. Jika tema itu secara terang-terangan menyebut istilah memperkokoh bahasa Jawa atau sejenisnya, dikhawatirkan oleh Panitia KBJ akan mengundang penafsiran keliru pihak luar (Jawa) sebagai serta-merta akan memperlemah bahasa Indonesia. Alasan berikutnya, masih menurut Dr Ayu Sutarto, ialah bahwa ketika rumusan tema itu ditetapkan, anggota panitia dari unsur disiplin ilmu kependidikan memang lebih dominan dalam jumlah, dan dengan demikian menang suara. Alasan itu lebih bisa diterima daripada alasan Widodo.
Lagi, menurut Widodo, KSJ I maupun KSJ II adalah pekerjaan orang-orang sakit hati. Pertanyaan saya: jika memang ada yang merasa sakit hati, apa salahnya? Saya justru menyurigai sastrawan Jawa semacam Widodo yang tidak sedikit pun merasa sakit hati ketika dana milyaran rupiah digunakan untuk pesta andrawina, untuk menerbitkan kamus tebal, buku tatabahasa, direktori, dan tak serupiah pun digunakan untuk menerbitkan karya sastra Jawa! Pada tahun 2001 di arena KBJ III memang beredar buku kumpulan crita cekak,Pasewakan Jawi. Buku itu berisi sekian banyak crita cekak hasil menyomot begitu saja karya beberapa orang pengarang tanpa pemberitahuan, apalagi memberi royalti. Kenyataan itu cukup menyakitkan.
Kalau pun KSJ harus ndompleng apa yang disebut Widodo sebagai momen besar KBJ, apa salahnya pula, jika itu dipandang lebih menguntungkan bagi Sastra Jawa Modern, setidaknya menurut keyakinan mereka yang meyakininya?
Jika ada yang merasa dirugikan, termasuk membuat pihak-pihak tertentu gusar, boleh-boleh saja lho, mengadukannya kepada pihak berwajib, misalnya mencoba menjerat para penggagas dan pekerja KSJ dengan delik ’’perbuatan tidak menyenangkan’’! Lha, anehnya, kok yang tidak senang justru hanya seorang Widodo Basuki?
Menurut saya pula, KBJ bukan satu-satunya media untuk bersuara. Jika Widodo melihat saya dan kawan-kawan pekerja KSJ I bungkam di arena KBJ III, artikel saya yang dimuat Bernas pada hari terakhir KBJ III dan tulisan Suwardi Endraswara beberapa hari sebelumnya, misalnya, pastilah juga luput dibacanya.
Pada akhirnya, saya minta maaf kepada Surabaya Post, karena saya terpaksa menjelaskan hal remeh-temeh ini. Padahal, kavling yang tersedia ini tentu akan lebih bagus jika bisa dimanfaatkan untuk mengekspos wacana-wacana yang lebih ’’cerdas’’. Habis, gimana lagi, lha wong tudingan-tudingan Widodo juga tak kalah tak bermutunya sih!
(Bonari Nabonenar, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya).
Jagad “Jawa-Tionghoa” Dalam Sketsa Jansen Jasien
Pameran “Soerabaia di Oejoeng Doepa”:
Jagad “Jawa-Tionghoa” Dalam Sketsa Jansen Jasien
Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Wartawan Majalah Jaya Baya
Di dalam seni sastra, karya lukisan sketsa ibaratnya sebuah “geguritan” atau “puisi”, tidak hanya menggunakan bahasa yang berbuncah-buncah dan menggunakan pralambang yang mudah difahami, tetapi cukup menggunakan beberapa baris kata-kata yang “telanjang” untuk mewakili ekspresi penulisnya. Melalui garis dan spontanitas yang tinggi, pelukis sketsa telah menjelmakan daya tarik tersendiri. Inilah yang menyebabkan salah satu diantara alasan sketsa bisa ditempatkan pada bobot yang sama dengan lukisan yang menggunakan cat beraneka warna.
Pelukis kelahiran Gresik, Jansen Jasien, dari tanggal 17 Januari sampai dengan 26 Februari 2009 ini memamerkan karyanya di galeri seni House of Sampoerna, Surabaya. Pameran ini diberi judul “Soerabaia Dioejoeng Doepa” ( dibaca: Surabaya Diujung Dupa). Tema pameran sketsa ini bisa dimaknai selaras dengan keadaan kota Surabaya yang semakin bernafsu menjadi kota megapolisi dari kacamata yang kasat mata, tetapi sebenarnya semakin “sunyi” di dalam jiwa. Karena ketamakan terhadap kemajuan jaman menjadikan ketidakmampuan untuk memelihara bangunan-bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah yang bisa dilacak dan disimak oleh generasi penerus.
Melihat 40-an karya sketsa Jasien yang dipajang seperti hanyut dalam pusaran kerumitan yang jauh ke pusaran tiada henti dan tiada batas. Pelukisnya seolah mengajak mengeja kembali melalui kerumitan dan sesaknya kota, untuk menerawang jauh ke masa lalu melihat peta-peta kejayaan masa lalu yang telah lusuh dan compang-camping. Memang, tidaklah mudah untuk menikmati karya-karya sketsa, karena garis-garis spontan itu kadangkala hanya berupa tanda (kode), kadang juga hanya merupakan beberapa bagian yang tidak utuh, seperti menyiratkan sisa-sisa sebuah kejayaan yang tidak diperhatikan
Kehadiran garis-garis yang berupa huruf Jawa cukup mewakili kengerian pelukis walaupun tanpa harus mengerti makna tulisan Jawa tersebut. Barangkali ini menjadi salah satu daya tarik dan menggelitik penikmat sketsa Jasien. Karena dengan tulisan itu dia mengajak untuk tidak serta merta hanya melihat obyek yang di gambar, tetapi tulisan itu terasa mengusung keadaan dibalik itu yang harus direnungkan, yaitu “rasa kemanusiaan” di kota besar seperti Surabaya yang semakin diabaikan.
Bagi penikmat baik yang mengerti maupun tidak mampu membaca huruf Jawa akan tergelitik dan mencoba untuk mengeja, tetapi tidak akan mendapatkan makna apa-apa kecuali sebuah kesan “kekuatan” goresan huruf-huruf Jawa. Kenyataannya, huruf Jawa yang menurut pelukisnya itu merupakan sesanti-sesanti, puwakanti-purwakanti yang diambil dari khasanah kebudayaan Jawa itu sebenarnya memang tak perlu untuk usah diterjemakan. Tetapi harus diakui bahwa hadirnya garis yang dibuat dari hurf Jawa ini cukup memberi sentuhan tersendiri pada sketsa Jasien yang banyak didominasi obyek-obyek nuansa Tionghoa.
Contoh yang terasa sederhana tetapi terasa dalam seperti yang dijelaskan di atas, misalnya dalam sketsa berjudul “Sembahyang” (tinta di atas kertas 69 x 43,5 Cm), juga dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm). Dalam khasanah Jawa, kata “jer basuki mawa bea” berarti : segala sesuatu untuk kebaikan itu memerlukan biaya. Obyek yang diusung dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” cukup ramai, separo obyek dibagian bawah seperti menggambarkan keadaan bencana alam (lumpur Lapindo?), sementara obyek lainnya seperti mengesankan orang-orang berbondong-bondong dengan susah payah untuk mencari “perlindungan batin” dan ketenteraman menuju suasana religius karena ganasnya alam telah meporak-porandakan kengerian batinnya. Dalam sketsa ini seolah-olah menyiratkan pesan: kenapa manusia baru “ingat” setelah terjadi bencana alam? Mungkin juga mengusung pertanyaan: sebenarnya dimanakah “ketenteraman sejati” itu ada di jaman sekarang? Atau barangkali ini hanya “sesanti” sederhana, bahwa “bencana” yang menimpa merupakan sarana untuk menjadikan orang sadar akan kebesaran Tuhan.
Sketsa dengan judul “Soerabaia di Oedjoeng Doepa” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm) dengan obyek – obyek telapak tangan menggapai-gapai (meminta pertolongan?) dan tapak-tapak kaki yang pasrah dipusaran keadaan. Di tengahnya ada huruf-huruf Jawa yang membentuk garis memusat di tengah kanvas. Simbul-simbul garis memutar memusat iki juga bisa dilihat dalam sketsa dengan judul “Dewi Kwan Im Pousat” (tinta di atas, 54,5 x 80 Cm).
Melihat judulnya memang terasa berbau Tionghoa, Dewi Kwan Im, merupakan seorang dewi yang dipercaya sebagai dewi penebar “welas asih” atau kasih sayang sesama dalam kepercayaan di Tionghoa.. Hanya saja penggambaran Jansen Jasien justru di dukung oleh garis-garis huruf Jawa memusat mengelilingi wajah dewi penebar kasih sayang tersebut.
Jagad “Jawa- Tionghoa” Menjadi Satu
Entah disengaja karena tuntutan “tema pameran” yang dihubungkan dengan hari raya “Imlek” atau entah karena apa, kenyataan dari sketsa Jansen Jasien yang dipajang dalam pameran ini memang terasa lebih banyak yang bertema obyek-obyek yang berbau Tionghoa, contohnya berupa obyek kelenteng (tempat persebahyangan Tionghoa), lambang-lambang shio, pohon angpao, barongsai, Dewi Kwan Im, Imlek, dan simbul-simbul lainnya. Hanya saja dengan terampil pelukisnya menggabungkan dengan garis-garis yang sengaja dibuat dari huruf-huruf Jawa dan sebagian ada obyek-obyek wayang. Barangkali inilah menjadi salah satu ciri khas sketsa Jansen Jasien yang mesti dimaknai bahwa dalam karya seni tidak ada sekat-sekat yang berbeda antara kebudayaan etnis satu dengan yang lainnya. Sehingga ketika melihat sketsa ini kita diajak untuk menerawang jauh ratusan tahun yang lalu, berbagai suku, bangsa, telah hidup rukun membangun Surabaya. Ini bisa dilihat ana Kampung Pecinan, Kampung Arab, Belanda, Madura, Jawa dan lain-lain masih bisa terjalin harmonis ampai sekarang.
Di sisi lain, kelihatannya Jasien menyadari betapa perlunya untuk memperhatikan hal-hal yang bisa disebut “non fisik”, yang menjadi salah satu dasar membangun keharmonisan masa lalu itu disamping yang berupa peninggalan yang bersifat fisik. Jika tidak, ibaratnya seperti “nyala dupa” yang akan habis dalam sekejab. Dalam lukisan yang berjudul “Gerakan Moral”, ( tinta di atas kanvas 174 x 142 Cm) dengan sengaja Jasien Jansen memberi garis tegas di tengah kanvas dengan meletakkan kebudayaan tradisi yang hidup dimasyarakat dengan simbul wayang dan gunungan serta tulisan-tulisan Jawa yang rumit, tepat berada di atas bangunan-bangunan kota yang terasa menyesakkan dada.
Banyak suasana yang digambarkan dengan cara yang “kontradiktif” seperti ini. Pelukis seperti dengan sengaja menunjukkan bahwa membangun kota bukan hanya melulu yang fisik belaka, jika pada akhirnya hanya akan mengabaikan peninggalan-peninggalan masa lalu yang mempunyai nilai sejarah. Tetapi seharusnya membangun kota juga harus membangun nilai-nilai moral, kerukunan, kebanggaan milik bangsa sendiri, juga mengembangkan berbagai kebudayaan tradisi yang masih hidup di masyarakat.
*) Tulisan ini bisa diunduh melalui: widodobasuki.blogspot.com
Dalam edisi bahasa Jawa: bisa di baca di Majalah Jaya Baya edisi No. 25, Minggu IV, Februari 2009)
Jagad “Jawa-Tionghoa” Dalam Sketsa Jansen Jasien
Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Wartawan Majalah Jaya Baya
Di dalam seni sastra, karya lukisan sketsa ibaratnya sebuah “geguritan” atau “puisi”, tidak hanya menggunakan bahasa yang berbuncah-buncah dan menggunakan pralambang yang mudah difahami, tetapi cukup menggunakan beberapa baris kata-kata yang “telanjang” untuk mewakili ekspresi penulisnya. Melalui garis dan spontanitas yang tinggi, pelukis sketsa telah menjelmakan daya tarik tersendiri. Inilah yang menyebabkan salah satu diantara alasan sketsa bisa ditempatkan pada bobot yang sama dengan lukisan yang menggunakan cat beraneka warna.
Pelukis kelahiran Gresik, Jansen Jasien, dari tanggal 17 Januari sampai dengan 26 Februari 2009 ini memamerkan karyanya di galeri seni House of Sampoerna, Surabaya. Pameran ini diberi judul “Soerabaia Dioejoeng Doepa” ( dibaca: Surabaya Diujung Dupa). Tema pameran sketsa ini bisa dimaknai selaras dengan keadaan kota Surabaya yang semakin bernafsu menjadi kota megapolisi dari kacamata yang kasat mata, tetapi sebenarnya semakin “sunyi” di dalam jiwa. Karena ketamakan terhadap kemajuan jaman menjadikan ketidakmampuan untuk memelihara bangunan-bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah yang bisa dilacak dan disimak oleh generasi penerus.
Melihat 40-an karya sketsa Jasien yang dipajang seperti hanyut dalam pusaran kerumitan yang jauh ke pusaran tiada henti dan tiada batas. Pelukisnya seolah mengajak mengeja kembali melalui kerumitan dan sesaknya kota, untuk menerawang jauh ke masa lalu melihat peta-peta kejayaan masa lalu yang telah lusuh dan compang-camping. Memang, tidaklah mudah untuk menikmati karya-karya sketsa, karena garis-garis spontan itu kadangkala hanya berupa tanda (kode), kadang juga hanya merupakan beberapa bagian yang tidak utuh, seperti menyiratkan sisa-sisa sebuah kejayaan yang tidak diperhatikan
Kehadiran garis-garis yang berupa huruf Jawa cukup mewakili kengerian pelukis walaupun tanpa harus mengerti makna tulisan Jawa tersebut. Barangkali ini menjadi salah satu daya tarik dan menggelitik penikmat sketsa Jasien. Karena dengan tulisan itu dia mengajak untuk tidak serta merta hanya melihat obyek yang di gambar, tetapi tulisan itu terasa mengusung keadaan dibalik itu yang harus direnungkan, yaitu “rasa kemanusiaan” di kota besar seperti Surabaya yang semakin diabaikan.
Bagi penikmat baik yang mengerti maupun tidak mampu membaca huruf Jawa akan tergelitik dan mencoba untuk mengeja, tetapi tidak akan mendapatkan makna apa-apa kecuali sebuah kesan “kekuatan” goresan huruf-huruf Jawa. Kenyataannya, huruf Jawa yang menurut pelukisnya itu merupakan sesanti-sesanti, puwakanti-purwakanti yang diambil dari khasanah kebudayaan Jawa itu sebenarnya memang tak perlu untuk usah diterjemakan. Tetapi harus diakui bahwa hadirnya garis yang dibuat dari hurf Jawa ini cukup memberi sentuhan tersendiri pada sketsa Jasien yang banyak didominasi obyek-obyek nuansa Tionghoa.
Contoh yang terasa sederhana tetapi terasa dalam seperti yang dijelaskan di atas, misalnya dalam sketsa berjudul “Sembahyang” (tinta di atas kertas 69 x 43,5 Cm), juga dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm). Dalam khasanah Jawa, kata “jer basuki mawa bea” berarti : segala sesuatu untuk kebaikan itu memerlukan biaya. Obyek yang diusung dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” cukup ramai, separo obyek dibagian bawah seperti menggambarkan keadaan bencana alam (lumpur Lapindo?), sementara obyek lainnya seperti mengesankan orang-orang berbondong-bondong dengan susah payah untuk mencari “perlindungan batin” dan ketenteraman menuju suasana religius karena ganasnya alam telah meporak-porandakan kengerian batinnya. Dalam sketsa ini seolah-olah menyiratkan pesan: kenapa manusia baru “ingat” setelah terjadi bencana alam? Mungkin juga mengusung pertanyaan: sebenarnya dimanakah “ketenteraman sejati” itu ada di jaman sekarang? Atau barangkali ini hanya “sesanti” sederhana, bahwa “bencana” yang menimpa merupakan sarana untuk menjadikan orang sadar akan kebesaran Tuhan.
Sketsa dengan judul “Soerabaia di Oedjoeng Doepa” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm) dengan obyek – obyek telapak tangan menggapai-gapai (meminta pertolongan?) dan tapak-tapak kaki yang pasrah dipusaran keadaan. Di tengahnya ada huruf-huruf Jawa yang membentuk garis memusat di tengah kanvas. Simbul-simbul garis memutar memusat iki juga bisa dilihat dalam sketsa dengan judul “Dewi Kwan Im Pousat” (tinta di atas, 54,5 x 80 Cm).
Melihat judulnya memang terasa berbau Tionghoa, Dewi Kwan Im, merupakan seorang dewi yang dipercaya sebagai dewi penebar “welas asih” atau kasih sayang sesama dalam kepercayaan di Tionghoa.. Hanya saja penggambaran Jansen Jasien justru di dukung oleh garis-garis huruf Jawa memusat mengelilingi wajah dewi penebar kasih sayang tersebut.
Jagad “Jawa- Tionghoa” Menjadi Satu
Entah disengaja karena tuntutan “tema pameran” yang dihubungkan dengan hari raya “Imlek” atau entah karena apa, kenyataan dari sketsa Jansen Jasien yang dipajang dalam pameran ini memang terasa lebih banyak yang bertema obyek-obyek yang berbau Tionghoa, contohnya berupa obyek kelenteng (tempat persebahyangan Tionghoa), lambang-lambang shio, pohon angpao, barongsai, Dewi Kwan Im, Imlek, dan simbul-simbul lainnya. Hanya saja dengan terampil pelukisnya menggabungkan dengan garis-garis yang sengaja dibuat dari huruf-huruf Jawa dan sebagian ada obyek-obyek wayang. Barangkali inilah menjadi salah satu ciri khas sketsa Jansen Jasien yang mesti dimaknai bahwa dalam karya seni tidak ada sekat-sekat yang berbeda antara kebudayaan etnis satu dengan yang lainnya. Sehingga ketika melihat sketsa ini kita diajak untuk menerawang jauh ratusan tahun yang lalu, berbagai suku, bangsa, telah hidup rukun membangun Surabaya. Ini bisa dilihat ana Kampung Pecinan, Kampung Arab, Belanda, Madura, Jawa dan lain-lain masih bisa terjalin harmonis ampai sekarang.
Di sisi lain, kelihatannya Jasien menyadari betapa perlunya untuk memperhatikan hal-hal yang bisa disebut “non fisik”, yang menjadi salah satu dasar membangun keharmonisan masa lalu itu disamping yang berupa peninggalan yang bersifat fisik. Jika tidak, ibaratnya seperti “nyala dupa” yang akan habis dalam sekejab. Dalam lukisan yang berjudul “Gerakan Moral”, ( tinta di atas kanvas 174 x 142 Cm) dengan sengaja Jasien Jansen memberi garis tegas di tengah kanvas dengan meletakkan kebudayaan tradisi yang hidup dimasyarakat dengan simbul wayang dan gunungan serta tulisan-tulisan Jawa yang rumit, tepat berada di atas bangunan-bangunan kota yang terasa menyesakkan dada.
Banyak suasana yang digambarkan dengan cara yang “kontradiktif” seperti ini. Pelukis seperti dengan sengaja menunjukkan bahwa membangun kota bukan hanya melulu yang fisik belaka, jika pada akhirnya hanya akan mengabaikan peninggalan-peninggalan masa lalu yang mempunyai nilai sejarah. Tetapi seharusnya membangun kota juga harus membangun nilai-nilai moral, kerukunan, kebanggaan milik bangsa sendiri, juga mengembangkan berbagai kebudayaan tradisi yang masih hidup di masyarakat.
*) Tulisan ini bisa diunduh melalui: widodobasuki.blogspot.com
Dalam edisi bahasa Jawa: bisa di baca di Majalah Jaya Baya edisi No. 25, Minggu IV, Februari 2009)
Selasa, 27 Januari 2009
“SASTRA JAWA TAK AKAN MATI….”
Oleh: Widodo Basuki
“Senyampang orang Jawa masih ada, bahasa Jawa tak akan mati..”begitu kata Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo suatu ketika. Kata-kata itu selalu diucapkan menyangkut nasib bahasa dan sastra Jawa yang pernah diramalkan banyak orang akan mati. Tetapi apabila kata-kata itu dihadapkan pada Suripan, dia selalu optimis untuk menepis bahwa ramalan itu tidak benar, karena pengarang-pengarang muda satra Jawa akan terus bermunculan.
Tak ada yang menyangka kalau pertemuan saya dan beberapa teman sastrawan tanggal 4 Februari 2001 di rumah Prof Suripan, Jl. Bendulmerisi Gang Besar Selatan 51B Surabaya merupakan pertemuan terakhir. Ahli folklor yang juga disebut-sebut sebagai “paus” sastra Jawa itu telah pergi untuk selamanya menyusul Poer Adhi Prawoto, pengarang sastra Jawa yang juga kelahiran Blora, meninggal dan dimakamkan di Blora.
Saat pertemuan itu Suripan masih kelihatan ceria. Apalagi pertemuan yang sedianya untuk membentuk kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang baru itu ternyata sekaligus merupakan acara ulang tahunnya yang ke 61 (5 Februari 1939 –5 Februari 2001). Semua berdoa untuk kesehatan beliau dan senantiasa agar Tuhan memberinya umur panjang agar terus mengawal sastra Jawa. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Empu dan dokumentator sastra Jawa itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan Surabaya, tanggal 23 Februari 2001.
Suripan bukanlah tokoh yang pelit dengan ilmu-ilmunya. Dia selalu dekat dengan pengarang-pengarang muda. Apalagi jika dikunjungi dirumahnya, bukan main gembiranya. Katanya dia merasa muda kembali seperti masa tahun 70-an. Maka tak heran jika didatangi akan terjadi dialog yang gayeng (menarik) tak ada batasan umur dengan pengarang pemula sekalipun. Suripan selalu menjadi “suhu” sekaligus “empu” yang menempa penulis-penulis muda.
Walaupun secara formal saya tak pernah menjadi mahasiswanya, tetapi saya begitu akrab, dan saya anggap sebagai guru. Jauh sebelum ketemu, dialog, saya sejak kelas 2 SD pernah membaca tulisan Prof Suripan di Majalah Jayabaya, karena orang tua saya merupakan pelanggan fanatis terhadap majalah berbahasa Jawa ini. Dan karena itu pulalah barangkali, walaupun saya meneruskan kuliah di jurusan Seni Rupa (STKW Surabaya), saya dengan enjoy menulis karya-karya dalam bahasa Jawa di media berbahasa Jawa. Barangkali nasib yang akhirnya membawa saya sebagai wartawan/redaktur di majalah Jayabaya, dan menjadikan perkenalanku dengan Prof Suripan semakin dekat.
Yang sangat terngiang dalam pikiranku adalah beberapa patah kata, yang tidak saya ketahui ternyata itu sebagai pesan terakhir dari beliau saat-saat terakhir beliau dipercaya sebagai juri hadiah Rancage.
Perhatian Suripan sebenarnya bukan hanya pada sastra Jawa. Pendiri jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa) di IKIP Surabaya (sekarang Universitan Negeri Surabaya) itu juga menulis kritik, cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia. Penyair Zawawi Imron pernah dalam suatu artikelnya pernah memberi julukan “Penyair Beras Kencur” karena dalam puisi-puisinya banyak memakai simbol-simbol daun kapulaga, beras kencur dan jenis empon-empon yang rerkat sekali dengan khasanah pedesaan Jawa.
Di tahun 70-an Suripan mengasuh rubrik Balada di edisi Minggu Harian Umum Bhirawa (terbitan Surabaya). Suripan banyak mengulas karya pengarang-pengarang Jawa Timur bahkan karya-karya penyair Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi (almarhum) masih disimpan dirumahnya, termasuk karya dari dosen Fisip Unair, Aribowo, yang sekarang sudah menjadi pengamat politik.
Sebagai penggurit (penyair Jawa) yang kebetulan bekerja di media berbahasa Jawa, setiap ketemu saya Suripan selalu menanyakan pengarang-pengarang baru yang tulisannya dimuat di majalah tempat saya bekerja, sekaligus alamat dan jenis kelaminnya. Ini dapat dimaklumi, banyak pengarang-pengarang sastra Jawa yang menggunakan nama samaran, walaupun toh Suripan pun juga tahu karakter tulisan siapa.
Sejak tahun 1994 Suripan dipercaya oleh Yayasan “Rancage” pimpinan Ajib Rosidi sebagai juri dalam memilih karya sastra Jawa yang layak mendapatkan hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa. Walaupun karya kumpulan guritan saya “Layang Saka Paran” juga pernah mendapat hadiah sastra Rancage tahun 2000, tetapi sebagai wartawan saya pernah bertanya pada dia, “Apakah pemilihan (untuk jasa sastra Jawa) yang sementara lebih banyak pengarang-pengarang asal Jawa Timur itu tidak membuat “iri” pengarang Jawa lain di luar Jawa Timur?”
“Barangkali, karena saya juga seorang pendidik…” jawabnya. Jawaban itu menunjukkan betapa Suripan tahu seperti apa kondisi sastra Jawa di tengah penutur bahasa Jawa yang konon 60.000.000 orang lebih itu. Sangat miskin penerbitan buku. Media penerbitan berbahasa Jawa pun sekarang tinggal tiga yang masih hidup (Jayabaya dan Panjebar Semangat yang terbit Surabaya, dan Djaka Lodang terbit di Yogyakarta) dengan nafas mengkis-mengkis (terengah-engah).
Sebagai pertanggungjawaban beliau sebagai salah seorang yang pernah dipercaya oleh Ayip Rosidi sebagai juri untuk para pemenang hadiah Sastra “Rancage” untuk Sastra Jawa, suatu hari Prof. Suripan pernah berkata, ”Suatu saat tintingan (ulasan) karya-karya pemenang Rancage untuk sastra Jawa akan saya bukukan. Ini sebagai pertanggungjawaban saya, bahwa pemilihan saya itu bukan main-main. Bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang."
Sayang, belum sampai gagasan penerbitan tintingan karya sastra Jawa itu pemenang Rancage itu terlaksana, tahun ini Prof. Dr. “kentrung” itu sudah tidak lagi dipercaya sebagai juri hadiah Rancage sastra Jawa, disamping Tuhan memang memanggilnya.
Setia Pada Blora
Menurut penuturan Sardi, kakak kandung Suripan (dituturkan saat takziah di rumah keluarga Suripan Jl. Bendulmrisi) , adiknya paling bungsu dari lima bersaudara itu oleh orang tuanya sejak umur 36 hari diikutkan pada Marto Ngadiman, seorang mantri penjara Blora. Baru setelah menginjak usia sekolah dia tahu orang tua sebenarnya adalah Paridin dan Sarminah, seorang petani di Ngawen Blora. Hal ini menyadarkan nya bahwa untuk meraih cita-citanya memang harus dicapainya dengan kerja keras.
Setelah tamat SMA Blora dia melanjutkan di FKIP Universitas Airlangga, Malang jurusan Bahasa Indonesia tamat tahun 1968. Setelah itu dia menjadi pengajar di IKIP Surabaya kemudian mendirikan jurusan Bahasa Daerah (Jawa). Di tahun 1972 – 1980 dia mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu sastra (filologi dan folklor humanis) di Universitas Leiden, Belanda atas bea siswa pemerintah Belanda. Hasil penelitian di Leiden, Belanda itu selanjutnya digunakan untuk studi Program Doktor ing Universitas Indonesia, sampai tahun 1987 berhasil meraih gelar doktor ilmu sastra dengan disertasi “Cerita Kentrung Sarah Wulan Tuban”. Hal ini yang menjadikan Suripan disebut sebagai “Doktor Kentrung”.
Dalam kaitannya dengan pendokumentasian kentrung ini Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Suharmono Kasiyun pernah punya pengalaman menarik. Setelah semalam merekam kentrung, dia membuka bawaaan kaset di terminal. Orang-orang mengira Suripan dan Suharmono penjual kaset dengan berteriak, “Bakul kaset-bakul kaset…!,” karena saking banyaknya kaset yang dibawa.
Buku-buku yang pernah ditulis Suripan diantaranya: Telaah Kesussasteraan Jawa Modern, Mutiara Tak Terlupakan, Pengantar Sastra Lisan, Merambah Matahari (Sastra Dalam Perbandingan) dan banyak sekali tulisan tulisan tentang tanah kelahirannya Blora yang dibukukan dalam buku “Tradisi Blora” yang dibiayai anggota dan pengurus Warga Blora (Pawara).
Kecintaan terhadap tanah Blora memang sangat luar biasa. Kali Lusi, tugu dipusat kota Blora, ilalang, burung-burung pipit berarak-arak, masa kecil dengan teman-temannya penggembala, masih sering menghiasi tulisan-tulisannya. Sebagai pakar, nama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dipasang sebagai pembantu khusus di media berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Sampai-sampai suatu saat untuk menyiasati agar namanya be da di dua majalah tersebut, setiap tulisannya di Majalah Jaya Baya memakai nama samaran “Cah Blora”.
Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo merupakan tokoh yang bertipe pekerja keras tetapi tetap bersahaja sampai akhir hayatnya. Yang masih saya ingat ketika tahun 1986, dia memakai pakaian safari datang naik sepeda motornya Yamaha 75 berwarna merah, kemudian nongkrong di beranda Dewan Kesenian Surabaya Jl. Pemuda Surabaya. Kebersahajaan itu ternyata tak berubah sampai dia menjadi guru besar. Saya ingat, saat Diskusi Sastra Daerah yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 24 Juni 1999, dia ikut istirahat bersama saya dan pengarang Sastra Jawa Djajus Pete, dan Poer Adhi Prawoto (Alm). Di penginapan, dia merasa lapar. Kemudian meminta saya untuk membelikan ketela goreng. Padahal acara diksusi sastra yang menampilkan beliau sebagai pembica bersama Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono kurang lima menit lagi.
Kini “Empu” sastra Jawa itu telah pergi. Sesuai pesanya dia minta dimakamkan di Blora. Saat-saat jenasah diantarkan ke pemakaman Gunung Wurung Blora, saya seperti masih tengiang-ngiang aku pernah membaca baris-baris guritannya yang ditulis tahun 1971.
blora…
wis kari alang-alang lan rerungkutan
rajah-rajeh ana tapak tanganku
wis kari samar-samar nyangkut pikiran
tugu wektu kang nunjem kuku
kariya basuki, mitraku
aku wis adoh lumaku ngoyak katresnanku
*)Tulisan ini ditulis sebagai kenangan terhadap Prof. Suripan Sadi Hutomo,salah satu tokoh yang pernah berjasa dalam mengembangkan sastra Jawa, meninggal tahun 2001.
“Senyampang orang Jawa masih ada, bahasa Jawa tak akan mati..”begitu kata Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo suatu ketika. Kata-kata itu selalu diucapkan menyangkut nasib bahasa dan sastra Jawa yang pernah diramalkan banyak orang akan mati. Tetapi apabila kata-kata itu dihadapkan pada Suripan, dia selalu optimis untuk menepis bahwa ramalan itu tidak benar, karena pengarang-pengarang muda satra Jawa akan terus bermunculan.
Tak ada yang menyangka kalau pertemuan saya dan beberapa teman sastrawan tanggal 4 Februari 2001 di rumah Prof Suripan, Jl. Bendulmerisi Gang Besar Selatan 51B Surabaya merupakan pertemuan terakhir. Ahli folklor yang juga disebut-sebut sebagai “paus” sastra Jawa itu telah pergi untuk selamanya menyusul Poer Adhi Prawoto, pengarang sastra Jawa yang juga kelahiran Blora, meninggal dan dimakamkan di Blora.
Saat pertemuan itu Suripan masih kelihatan ceria. Apalagi pertemuan yang sedianya untuk membentuk kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang baru itu ternyata sekaligus merupakan acara ulang tahunnya yang ke 61 (5 Februari 1939 –5 Februari 2001). Semua berdoa untuk kesehatan beliau dan senantiasa agar Tuhan memberinya umur panjang agar terus mengawal sastra Jawa. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Empu dan dokumentator sastra Jawa itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan Surabaya, tanggal 23 Februari 2001.
Suripan bukanlah tokoh yang pelit dengan ilmu-ilmunya. Dia selalu dekat dengan pengarang-pengarang muda. Apalagi jika dikunjungi dirumahnya, bukan main gembiranya. Katanya dia merasa muda kembali seperti masa tahun 70-an. Maka tak heran jika didatangi akan terjadi dialog yang gayeng (menarik) tak ada batasan umur dengan pengarang pemula sekalipun. Suripan selalu menjadi “suhu” sekaligus “empu” yang menempa penulis-penulis muda.
Walaupun secara formal saya tak pernah menjadi mahasiswanya, tetapi saya begitu akrab, dan saya anggap sebagai guru. Jauh sebelum ketemu, dialog, saya sejak kelas 2 SD pernah membaca tulisan Prof Suripan di Majalah Jayabaya, karena orang tua saya merupakan pelanggan fanatis terhadap majalah berbahasa Jawa ini. Dan karena itu pulalah barangkali, walaupun saya meneruskan kuliah di jurusan Seni Rupa (STKW Surabaya), saya dengan enjoy menulis karya-karya dalam bahasa Jawa di media berbahasa Jawa. Barangkali nasib yang akhirnya membawa saya sebagai wartawan/redaktur di majalah Jayabaya, dan menjadikan perkenalanku dengan Prof Suripan semakin dekat.
Yang sangat terngiang dalam pikiranku adalah beberapa patah kata, yang tidak saya ketahui ternyata itu sebagai pesan terakhir dari beliau saat-saat terakhir beliau dipercaya sebagai juri hadiah Rancage.
Perhatian Suripan sebenarnya bukan hanya pada sastra Jawa. Pendiri jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa) di IKIP Surabaya (sekarang Universitan Negeri Surabaya) itu juga menulis kritik, cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia. Penyair Zawawi Imron pernah dalam suatu artikelnya pernah memberi julukan “Penyair Beras Kencur” karena dalam puisi-puisinya banyak memakai simbol-simbol daun kapulaga, beras kencur dan jenis empon-empon yang rerkat sekali dengan khasanah pedesaan Jawa.
Di tahun 70-an Suripan mengasuh rubrik Balada di edisi Minggu Harian Umum Bhirawa (terbitan Surabaya). Suripan banyak mengulas karya pengarang-pengarang Jawa Timur bahkan karya-karya penyair Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi (almarhum) masih disimpan dirumahnya, termasuk karya dari dosen Fisip Unair, Aribowo, yang sekarang sudah menjadi pengamat politik.
Sebagai penggurit (penyair Jawa) yang kebetulan bekerja di media berbahasa Jawa, setiap ketemu saya Suripan selalu menanyakan pengarang-pengarang baru yang tulisannya dimuat di majalah tempat saya bekerja, sekaligus alamat dan jenis kelaminnya. Ini dapat dimaklumi, banyak pengarang-pengarang sastra Jawa yang menggunakan nama samaran, walaupun toh Suripan pun juga tahu karakter tulisan siapa.
Sejak tahun 1994 Suripan dipercaya oleh Yayasan “Rancage” pimpinan Ajib Rosidi sebagai juri dalam memilih karya sastra Jawa yang layak mendapatkan hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa. Walaupun karya kumpulan guritan saya “Layang Saka Paran” juga pernah mendapat hadiah sastra Rancage tahun 2000, tetapi sebagai wartawan saya pernah bertanya pada dia, “Apakah pemilihan (untuk jasa sastra Jawa) yang sementara lebih banyak pengarang-pengarang asal Jawa Timur itu tidak membuat “iri” pengarang Jawa lain di luar Jawa Timur?”
“Barangkali, karena saya juga seorang pendidik…” jawabnya. Jawaban itu menunjukkan betapa Suripan tahu seperti apa kondisi sastra Jawa di tengah penutur bahasa Jawa yang konon 60.000.000 orang lebih itu. Sangat miskin penerbitan buku. Media penerbitan berbahasa Jawa pun sekarang tinggal tiga yang masih hidup (Jayabaya dan Panjebar Semangat yang terbit Surabaya, dan Djaka Lodang terbit di Yogyakarta) dengan nafas mengkis-mengkis (terengah-engah).
Sebagai pertanggungjawaban beliau sebagai salah seorang yang pernah dipercaya oleh Ayip Rosidi sebagai juri untuk para pemenang hadiah Sastra “Rancage” untuk Sastra Jawa, suatu hari Prof. Suripan pernah berkata, ”Suatu saat tintingan (ulasan) karya-karya pemenang Rancage untuk sastra Jawa akan saya bukukan. Ini sebagai pertanggungjawaban saya, bahwa pemilihan saya itu bukan main-main. Bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang."
Sayang, belum sampai gagasan penerbitan tintingan karya sastra Jawa itu pemenang Rancage itu terlaksana, tahun ini Prof. Dr. “kentrung” itu sudah tidak lagi dipercaya sebagai juri hadiah Rancage sastra Jawa, disamping Tuhan memang memanggilnya.
Setia Pada Blora
Menurut penuturan Sardi, kakak kandung Suripan (dituturkan saat takziah di rumah keluarga Suripan Jl. Bendulmrisi) , adiknya paling bungsu dari lima bersaudara itu oleh orang tuanya sejak umur 36 hari diikutkan pada Marto Ngadiman, seorang mantri penjara Blora. Baru setelah menginjak usia sekolah dia tahu orang tua sebenarnya adalah Paridin dan Sarminah, seorang petani di Ngawen Blora. Hal ini menyadarkan nya bahwa untuk meraih cita-citanya memang harus dicapainya dengan kerja keras.
Setelah tamat SMA Blora dia melanjutkan di FKIP Universitas Airlangga, Malang jurusan Bahasa Indonesia tamat tahun 1968. Setelah itu dia menjadi pengajar di IKIP Surabaya kemudian mendirikan jurusan Bahasa Daerah (Jawa). Di tahun 1972 – 1980 dia mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu sastra (filologi dan folklor humanis) di Universitas Leiden, Belanda atas bea siswa pemerintah Belanda. Hasil penelitian di Leiden, Belanda itu selanjutnya digunakan untuk studi Program Doktor ing Universitas Indonesia, sampai tahun 1987 berhasil meraih gelar doktor ilmu sastra dengan disertasi “Cerita Kentrung Sarah Wulan Tuban”. Hal ini yang menjadikan Suripan disebut sebagai “Doktor Kentrung”.
Dalam kaitannya dengan pendokumentasian kentrung ini Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Suharmono Kasiyun pernah punya pengalaman menarik. Setelah semalam merekam kentrung, dia membuka bawaaan kaset di terminal. Orang-orang mengira Suripan dan Suharmono penjual kaset dengan berteriak, “Bakul kaset-bakul kaset…!,” karena saking banyaknya kaset yang dibawa.
Buku-buku yang pernah ditulis Suripan diantaranya: Telaah Kesussasteraan Jawa Modern, Mutiara Tak Terlupakan, Pengantar Sastra Lisan, Merambah Matahari (Sastra Dalam Perbandingan) dan banyak sekali tulisan tulisan tentang tanah kelahirannya Blora yang dibukukan dalam buku “Tradisi Blora” yang dibiayai anggota dan pengurus Warga Blora (Pawara).
Kecintaan terhadap tanah Blora memang sangat luar biasa. Kali Lusi, tugu dipusat kota Blora, ilalang, burung-burung pipit berarak-arak, masa kecil dengan teman-temannya penggembala, masih sering menghiasi tulisan-tulisannya. Sebagai pakar, nama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dipasang sebagai pembantu khusus di media berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Sampai-sampai suatu saat untuk menyiasati agar namanya be da di dua majalah tersebut, setiap tulisannya di Majalah Jaya Baya memakai nama samaran “Cah Blora”.
Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo merupakan tokoh yang bertipe pekerja keras tetapi tetap bersahaja sampai akhir hayatnya. Yang masih saya ingat ketika tahun 1986, dia memakai pakaian safari datang naik sepeda motornya Yamaha 75 berwarna merah, kemudian nongkrong di beranda Dewan Kesenian Surabaya Jl. Pemuda Surabaya. Kebersahajaan itu ternyata tak berubah sampai dia menjadi guru besar. Saya ingat, saat Diskusi Sastra Daerah yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 24 Juni 1999, dia ikut istirahat bersama saya dan pengarang Sastra Jawa Djajus Pete, dan Poer Adhi Prawoto (Alm). Di penginapan, dia merasa lapar. Kemudian meminta saya untuk membelikan ketela goreng. Padahal acara diksusi sastra yang menampilkan beliau sebagai pembica bersama Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono kurang lima menit lagi.
Kini “Empu” sastra Jawa itu telah pergi. Sesuai pesanya dia minta dimakamkan di Blora. Saat-saat jenasah diantarkan ke pemakaman Gunung Wurung Blora, saya seperti masih tengiang-ngiang aku pernah membaca baris-baris guritannya yang ditulis tahun 1971.
blora…
wis kari alang-alang lan rerungkutan
rajah-rajeh ana tapak tanganku
wis kari samar-samar nyangkut pikiran
tugu wektu kang nunjem kuku
kariya basuki, mitraku
aku wis adoh lumaku ngoyak katresnanku
*)Tulisan ini ditulis sebagai kenangan terhadap Prof. Suripan Sadi Hutomo,salah satu tokoh yang pernah berjasa dalam mengembangkan sastra Jawa, meninggal tahun 2001.
JIKA PATUNG DAN MONUMEN DI SURABAYA BISA BICARA
Oleh: Widodo Basuki,
Perupa dan Penyair Sastra Jawa,
Nama kota Surabaya yang kita dengar selama ini selalu dikaitkan dengan simbul pertarungan binatang “Suro” dan “Boyo”, yang secara wantah dapat kita asosiasikan sebagai simbul kota yang dinamis, bahkan bisa saja diterjemahkan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan atau sebagai ajang pertempuran. Dalam beberapa catatan kita mendapatkan gambaran masa lalu yang cukup menarik, betapa banyak peristiwa heroik terjadi di Surabaya.
Di antara pertempuran heroik pertama bisa dimulai dari pertempuran Raden Wijaya (pendiri Majapahit) saat mengusir tentara Tartar di pelabuhan Ujung Galuh, dengan pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa seperti Sura, Nambi, dan Ranggalawe. Walaupun sampai saat ini belum ada kajian yang mampu menunjuk pasti di mana letak Ujung Galuh itu, tetapi lebih mengesankan peristiwa itu terkait dengan wilayah Surabaya. Dalam tulisan Soenarto Timoer, “Mitos CURA-BHAYA” (Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya), Balai Pustaka, 1983, menunjuk lokasi Hujunggaluh lebih mendekati di kampung Galuhan, sekarang di Surabaya kota tengah, dekat Jalan Pawiyatan belakang penjara Bubutan. Pada jaman Hujunggaluh, daerah Tembok merupakan batas daratan dan laut, dan Galuhan tepat berada di garis pantai ujung timur yang dibatasi muara Kali Mas.
Peristiwa pertempuran hebat kedua di Kota Surabaya pada saat Sultan Agung tahun 1625 yang menyerang Surabaya dengan membawa 70.000 tentara. Karena tak mampu menaklukan Surabaya akhirnya mengambil siasat licik dengan cara membendung aliran Kali Mas yang menuju kota dan mencemarinya dengan bermacam-macam bangkai dan sampah-sampah lainnya. Takluklah Surabaya, karena nadi kota telah tercemar dan menyebabkan banyak penduduk kota mati karenanya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, kali di Surabaya adalah nadi kota yang seharusnya selalu dipelihara, baik oleh pemerintah kota maupun masyarakatnya.
Peristiwa terkait dengan Kota Surabaya yang lain yaitu pada jaman Pemberontakan Trunojoyo yang harus kalah taktik melawan pasukan Belanda dipimpin Speelman yang menggunakan kecerdikannya berhasil menyusup ke kota lewat Kali Girikan dan menggunakan taktik menguasai wilayah makam suci Ampel. Maka mati kutu-lah Trunojoyo, karena merasa tak mungkin bertempur di wilayah makam suci pemimpin agama yang sangat dihormati.
Peristiwa yang tak kalah heroik, yaitu peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang meninggalkan sebutan “Kota Pahlawan” karena keberanian “Arek-Arek Suroboyo” melawan Sekutu, dan peristriwa tragis tewasnya Brigadir Jendral Mallaby saat pertempuran di Surabaya bersama ribuanpahlawan tak dadi kenal lainnya.
Pencitraan semangat perjuangan di Surabaya itu sampai saat ini masih bisa dilacak dari segi seni rupa dalam bentuk patung-patung dan monumen yang bisa kita terjemahkan sebagai teks-teks. Dari selintas mengkaji teks dalam bentuk patung dan monumen di Surabaya, mungkin bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya saat ini Surabaya sedang krisis monumen yang “monumental”, dalam arti monumen yang sebenarnya yang mampu menggetarkan sebagai citra semangat “Arek Suroboyo” atau citra semangat “Kota Pahlawan” itu.
Dalam kenyataaan sehari-hari memang bisa dilihat, Surabaya konon punya patung “Suro dan Boyo”, punya Monumen Tugu Pahlawan, Patung Gubernur Suryo, Monumen Bambu Runcing, Monumen Jalesveva Jayamahe dan lain-lain. Kehadiran patung selain sebagai penghias kota sekaligus terkait dengan sejarah Surabaya. Dan memasuki kota Surabaya saat ini mungkin terpantul cerminan semangat “Arek Suroboyo” yang dulu terkenal itu, telah jauh memudar. Jakarta, mungkin masih menyisakan patung dan monumen yang lebih punya kesan monumental, karena didukung ruang disekitarnya.. Sebut saja Tugu Selamat Datang yang menyapa insan yang masuk Kota Jakarta, dan Tugu Monas yang masih tergarap dengan mempertimbangkan ruang (space) lingkup di sekitarnya.
Jika patung dan monumen bisa bicara, mungkin banyak yang bisa diceriterakan tentang kota Surabaya. Selain sebagai unsur keindahan kehadiran patung dan monumen tentu punya maksud mengingatkan sebuah peristiwa masa lalu yang patut di kenang terkait dengan kejadian yang ada di situ. Tapi bisa juda kebalikannya, karena tak tepan penempatannya. Kehadirannya justru jadi sampah sampah karena kurang pas tak ubahnya seperti kehadiran baliho iklan-iklan yang menguasai jalur hijau. Unsur estetika atau keindahan sangat perlu dipertimbangkan, diantaranya pertimbangan ruang (space), jarak pandang, tinggi rendah, bentuk dan lain-lain yang memberi keleluasaan penikmat yang melihatnya sehingga kehadiran patung atau monumen tak kehilangan monumentalitasnya. Bisa menyentuh dan memberi rasa “greng” (istilah Jawa) yang melukiskan kewibawaan dalam sekejap, sekaligus mengantarkan ingatan ke peristiwa apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin dalam kapasitas ini, Monumen Tugu Pahlawan Surabaya walaupun telah direnovasi menghabiskan milyard-an rupiah, sebenarnya dalam wajah yang sekarang justru menjadi monumen yang tak monumental. Karena dengan menutupi bagian dasar monumen seperti sekarang, rasa “wibawa” itu sudah hilang sama sekali. Lebih tepatnya, sekarang disebut museum Tugu Pahlawan saja lengkap dengan atributnya dibanding dengan sebutan Monumen Tugu Pahlawan.
Jika patung-patung dan monumen di Surabaya bisa bicara, mungkin banyak cerita yang bisa disampaikan saat sekarang. Patung Gubernur Suryo (Depan Grahadi) yang berada di Jl. Pemuda mungkin sekarang lebih banyak berdialog dengan para pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasinya ke Gubernur di Gedung Grahadi. Atau mungkin Monumen Bambu Runcing (Jl Panglima Sudirman) lebih suka berdialog dengan “kupu-kupu malam” saat tengah malam tiba, dibanding menyiratkan keteguhan perjuangan “Arek Suroboyo’ melawan penjajah dengan modal senjata bambu runcing itu. Masih sama kesannya ketika patung empat pejuang (sebelah timur Terminal Joyoboyo) yang seolah lebih terkesan berbicara dan memberitahu kepada setiap orang lewat: betapa sibuknya Satuan Polisi Pamong Praja menggusur pedagang kaki lima (PKL) di selatan terminal Joyoboyo.
Surabaya sebagai kota Metropolis ke II dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa kini akan terus bergerak dinamis merespons peluang dan tuntutan globalisasi. Patung yang mungkin masih menarik dan mencitrakan semangat kota pelabuhan Surabaya, barangkali tinggal patung pria dengan semangat baja sedang mengangkat jangkar (patung di depan bekas Museum Mpu Tantular). Sedangkan yang sunyi senyap dan terus merenung, adalah sosok patung perwira di Monumen Jalesveva Jayamahe di barat Pelabuhan Ujung Surabaya-Madura, yang dengan tenang menatap samudera luas tak bertepi. Dalam kesunyiannya seolah bergumam sendirian : Benarkah kekayaan negeri yang melimpah-ruah di darat dan di samudera itu bangsa kita yang punya?
Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Perupa dan Penyair Sastra Jawa,
Nama kota Surabaya yang kita dengar selama ini selalu dikaitkan dengan simbul pertarungan binatang “Suro” dan “Boyo”, yang secara wantah dapat kita asosiasikan sebagai simbul kota yang dinamis, bahkan bisa saja diterjemahkan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan atau sebagai ajang pertempuran. Dalam beberapa catatan kita mendapatkan gambaran masa lalu yang cukup menarik, betapa banyak peristiwa heroik terjadi di Surabaya.
Di antara pertempuran heroik pertama bisa dimulai dari pertempuran Raden Wijaya (pendiri Majapahit) saat mengusir tentara Tartar di pelabuhan Ujung Galuh, dengan pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa seperti Sura, Nambi, dan Ranggalawe. Walaupun sampai saat ini belum ada kajian yang mampu menunjuk pasti di mana letak Ujung Galuh itu, tetapi lebih mengesankan peristiwa itu terkait dengan wilayah Surabaya. Dalam tulisan Soenarto Timoer, “Mitos CURA-BHAYA” (Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya), Balai Pustaka, 1983, menunjuk lokasi Hujunggaluh lebih mendekati di kampung Galuhan, sekarang di Surabaya kota tengah, dekat Jalan Pawiyatan belakang penjara Bubutan. Pada jaman Hujunggaluh, daerah Tembok merupakan batas daratan dan laut, dan Galuhan tepat berada di garis pantai ujung timur yang dibatasi muara Kali Mas.
Peristiwa pertempuran hebat kedua di Kota Surabaya pada saat Sultan Agung tahun 1625 yang menyerang Surabaya dengan membawa 70.000 tentara. Karena tak mampu menaklukan Surabaya akhirnya mengambil siasat licik dengan cara membendung aliran Kali Mas yang menuju kota dan mencemarinya dengan bermacam-macam bangkai dan sampah-sampah lainnya. Takluklah Surabaya, karena nadi kota telah tercemar dan menyebabkan banyak penduduk kota mati karenanya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, kali di Surabaya adalah nadi kota yang seharusnya selalu dipelihara, baik oleh pemerintah kota maupun masyarakatnya.
Peristiwa terkait dengan Kota Surabaya yang lain yaitu pada jaman Pemberontakan Trunojoyo yang harus kalah taktik melawan pasukan Belanda dipimpin Speelman yang menggunakan kecerdikannya berhasil menyusup ke kota lewat Kali Girikan dan menggunakan taktik menguasai wilayah makam suci Ampel. Maka mati kutu-lah Trunojoyo, karena merasa tak mungkin bertempur di wilayah makam suci pemimpin agama yang sangat dihormati.
Peristiwa yang tak kalah heroik, yaitu peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang meninggalkan sebutan “Kota Pahlawan” karena keberanian “Arek-Arek Suroboyo” melawan Sekutu, dan peristriwa tragis tewasnya Brigadir Jendral Mallaby saat pertempuran di Surabaya bersama ribuanpahlawan tak dadi kenal lainnya.
Pencitraan semangat perjuangan di Surabaya itu sampai saat ini masih bisa dilacak dari segi seni rupa dalam bentuk patung-patung dan monumen yang bisa kita terjemahkan sebagai teks-teks. Dari selintas mengkaji teks dalam bentuk patung dan monumen di Surabaya, mungkin bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya saat ini Surabaya sedang krisis monumen yang “monumental”, dalam arti monumen yang sebenarnya yang mampu menggetarkan sebagai citra semangat “Arek Suroboyo” atau citra semangat “Kota Pahlawan” itu.
Dalam kenyataaan sehari-hari memang bisa dilihat, Surabaya konon punya patung “Suro dan Boyo”, punya Monumen Tugu Pahlawan, Patung Gubernur Suryo, Monumen Bambu Runcing, Monumen Jalesveva Jayamahe dan lain-lain. Kehadiran patung selain sebagai penghias kota sekaligus terkait dengan sejarah Surabaya. Dan memasuki kota Surabaya saat ini mungkin terpantul cerminan semangat “Arek Suroboyo” yang dulu terkenal itu, telah jauh memudar. Jakarta, mungkin masih menyisakan patung dan monumen yang lebih punya kesan monumental, karena didukung ruang disekitarnya.. Sebut saja Tugu Selamat Datang yang menyapa insan yang masuk Kota Jakarta, dan Tugu Monas yang masih tergarap dengan mempertimbangkan ruang (space) lingkup di sekitarnya.
Jika patung dan monumen bisa bicara, mungkin banyak yang bisa diceriterakan tentang kota Surabaya. Selain sebagai unsur keindahan kehadiran patung dan monumen tentu punya maksud mengingatkan sebuah peristiwa masa lalu yang patut di kenang terkait dengan kejadian yang ada di situ. Tapi bisa juda kebalikannya, karena tak tepan penempatannya. Kehadirannya justru jadi sampah sampah karena kurang pas tak ubahnya seperti kehadiran baliho iklan-iklan yang menguasai jalur hijau. Unsur estetika atau keindahan sangat perlu dipertimbangkan, diantaranya pertimbangan ruang (space), jarak pandang, tinggi rendah, bentuk dan lain-lain yang memberi keleluasaan penikmat yang melihatnya sehingga kehadiran patung atau monumen tak kehilangan monumentalitasnya. Bisa menyentuh dan memberi rasa “greng” (istilah Jawa) yang melukiskan kewibawaan dalam sekejap, sekaligus mengantarkan ingatan ke peristiwa apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin dalam kapasitas ini, Monumen Tugu Pahlawan Surabaya walaupun telah direnovasi menghabiskan milyard-an rupiah, sebenarnya dalam wajah yang sekarang justru menjadi monumen yang tak monumental. Karena dengan menutupi bagian dasar monumen seperti sekarang, rasa “wibawa” itu sudah hilang sama sekali. Lebih tepatnya, sekarang disebut museum Tugu Pahlawan saja lengkap dengan atributnya dibanding dengan sebutan Monumen Tugu Pahlawan.
Jika patung-patung dan monumen di Surabaya bisa bicara, mungkin banyak cerita yang bisa disampaikan saat sekarang. Patung Gubernur Suryo (Depan Grahadi) yang berada di Jl. Pemuda mungkin sekarang lebih banyak berdialog dengan para pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasinya ke Gubernur di Gedung Grahadi. Atau mungkin Monumen Bambu Runcing (Jl Panglima Sudirman) lebih suka berdialog dengan “kupu-kupu malam” saat tengah malam tiba, dibanding menyiratkan keteguhan perjuangan “Arek Suroboyo’ melawan penjajah dengan modal senjata bambu runcing itu. Masih sama kesannya ketika patung empat pejuang (sebelah timur Terminal Joyoboyo) yang seolah lebih terkesan berbicara dan memberitahu kepada setiap orang lewat: betapa sibuknya Satuan Polisi Pamong Praja menggusur pedagang kaki lima (PKL) di selatan terminal Joyoboyo.
Surabaya sebagai kota Metropolis ke II dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa kini akan terus bergerak dinamis merespons peluang dan tuntutan globalisasi. Patung yang mungkin masih menarik dan mencitrakan semangat kota pelabuhan Surabaya, barangkali tinggal patung pria dengan semangat baja sedang mengangkat jangkar (patung di depan bekas Museum Mpu Tantular). Sedangkan yang sunyi senyap dan terus merenung, adalah sosok patung perwira di Monumen Jalesveva Jayamahe di barat Pelabuhan Ujung Surabaya-Madura, yang dengan tenang menatap samudera luas tak bertepi. Dalam kesunyiannya seolah bergumam sendirian : Benarkah kekayaan negeri yang melimpah-ruah di darat dan di samudera itu bangsa kita yang punya?
Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
MELUPAKAN LUDRUK DI HUT SURABAYA
Oleh: WIDODO BASUKI
Pemerhati Budaya, Penyair Sastra Jawa
Jika ingin melihat kharakter orang Surabaya yang tegas, pemberani dan “blak-blakan” bercerminlah pada Cak Durasim atau Ki Gondo Durasim. Keberanian bukan harus ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis: merusak, bakar-bakar, dan menggunakan tindakan keji yang lain. Tetapi sebagai aktor panggung, Cak Durasim lebih cerdas dan elegan. Dia tahu melalui seni dia mampu menguasai ruang sunyi yang bisa membuka kesadaran penonton, yaitu: melalui “kidungan”. Dan kenyataannya memang demikian, kekuatan “kidungan” melebihi kekuatan moncong-moncong senjata.
Maka ketika kidungan “Pegupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Begupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara) dia tembangkan, seketika merahlah telinga serdadu – serdadu Jepang yang disebut kenpetei itu. Mereka menyadari ini merupakan musuh yang sulit dibendung. Jika kidungan ditembangkan dalam pertunjukan ludruk digedung GNI waktu itu, yang keluar bukan hanya sebagai tontonan penghibur belaka, tetapi justru akan menjelma sebagai “media penyadaran” atas ketidakadilan yang ditimpakan pada rakyat yang terjajah, sekaligus menghipnotis mereka untuk mengadakan “perlawanan”. Maka “sang pengidung”, Ki Gondo Durasim, harus ditangkap, dilenyapkan. Tapi benarkah “kidungan”-nya mampu dilenyapkan seperti raga pengidungnya?
Dalam buku “Folklor Indonesia” tulisan James Danandjaja (Pustaka Grafiti, Jakarta, 1994) disebutkan bahwa tradisi lisan seperti kidungan ini adalah termasuk salah satu jenis folklor. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Disebutkan James yang mengutip pendapat Betty Wang, karena sadar akan adanya salah satu fungsi itu, yakni sebagai protes sosial, maka beberapa kaisar Tiongkok Kuno yang bijaksana seperti kaisar Yui dari dinasti Hsia dan kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, mempunyai staf khusus yang tugasnya mengumpulkan nyanyian rakyat yang dinyanyikan penyanyi rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Koleksi mereka itu kemudian diklasifikasikan, dan diarsipkan setelah dipelajari isinya. Dari isi nyanyian rakyat ini kemudian kaisar mengetahui pendapat rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintahannya. Jadi para kaisar yang bijaksana di Tiongkok Kuno mengumpulkan folklor untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam konteks sekarang ini, dalam rangka pelestarian kesenian Ludruk, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya meletakkannya ludruk dengan seluruh atribut kidungannya sebagai “media dialogis”, juga tempat untuk berkaca untuk koreksi diri, karena teks kidungan ini merupakan suara murni rakyat. Seharusnya suara ini dialirkan, karena suara murni rakyat itu tak terwadahi oleh wakil rakyat yang rata-rata sangat sibuk, lupa, dan banyak yang tak mampu lagi mendengar aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sayangnya, para seniman ludruk di Surabaya sendiri, rata-rata ketika sedikit saja mendapat kucuran dana, kidungannya sudah berubah “memuji-muji”, kidungannya yang biasanya keras tiba-tiba melunak penuh dengan pesan sponsor. Inilah yang menyebabkan “suara murni” itu lenyap. Akhirnya yang muncul hanya sebuah industri banyolan yang tak lucu. Lihat saja, acara “Kidungan Rek” di JTV, rata-rata yang tampil langsung memuji-muji stasiun TV yang berkenan menampilkan wajahnya itu. Karena dalam jiwa mereka, bisa tampil itu sudah patut disyukuri, sehingga inilah yang menybabkan kebanyakan pengidung melupakan fungsi kidungan sebagai folklor yang bisa menjadi kontrol sebuah kebijakan pemerintah yang disampaikan dengan sangat elegan.
Dalam kaitannya dengan pelestarian ludruk di Surabaya, sebenarnya harus dilihat ludruk bukan hanya sebagai teater rakyat belaka, tetapi lebih dari itu. Pelestarian ludruk sekaligus pelestarian salah satu jenis folklor berupa “kidungan” itu, folklor yang merekam suara spontanitas, emosional, kejujuran dari mereka yang tertindas atau terabaikan. Hanya saja pertanyaannya: beranikah apabila Pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba “kidungan” yang isinya melulu berupa kritik, mencaci maki, khusus terhadap kebijakan pemerintah kota Surabaya? Tentu kritik itu harus punya dasar, tidak asal bunyi, harus imbang, jangan hanya sisi negatifnya, tapi juga positifnya. Bagi yang dikritik, betapapun kerasnya, tak usah marah dan tersinggung. Pelaku seni ludruk dan pemerintah di sini berdiri sama-sama sebagai subyek. Ini dimaksudkan bukan hanya semata-mata sebagai lomba, tetapi merupakan salah satu cara untuk pelestarian ludruk dan membangun wacana berfikir lewat seni.
Terkait dengan pelestarian seni ludruk, rangkaian lomba-lomba dalam kegiatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 713 itu tak nampak. Dari tanggal 30 April dimulai dengan acara “Gebyar Arak-Arakan” yang berakhir tanggal 4 Juni dengan acara “Festival Perahu Tradisional “Ujung Galuh” ( Petekan –Monkasel), banyak sekali mata acara, mulai dari Konser Pulang Kampung, Gibol Vaganza, Festival Manten Pegon, Festival Rujak Uleg, Festival Campursari, Festival Makanan Khas, dan lain-lain. Hanya satu yang sedikit menyentuh ludruk, yaitu Festival Remo. Tetapi ini lebih banyak menyentuh tariannya, apabila dikaitkan dengan semangat “kidungan” Cak Durasim yang berani menyuarakan “suara kaum tertindas” itu, tentu masih sangat jauh sekali dari harapan.
Diakui atau tidak, saat ini yang mau nanggap kesenian ludruk lebih banyak di luar kota. Ludruk RRI Surabaya misalnya, menurut penuturan Hengki Kusuma, salah satu pemainnya, meskipun bermarkas di pusat kota, tetapi sebenarnya ludruk RRI Surabaya jarang sekali pentas di dalam kota. Hengki mengakui, masa-masa kejayaan ludruk dia jumpai sekitar tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ini bisa dilihat dari eksisnya ludruk Sari Murni (Jombang), Baru Budi (Surabaya) Trisula Darma-Kopasgat (Madiun), Sari Warni (Surabaya), Suzana (Surabaya) yang sering tampil di Kota Surabaya. Tempat-tempat semacam Lapangan Kalibokor dan Lapangan Pacarkeling sering dipakai untuk pentas ludruk tobongan. Ini juga diimbangi siaran-siaran acara ludruk di radio-radio juga masih semarak.
Jika sekarang di Surabaya tinggal ludruk Irama Budaya sebagai salah satu contoh kesenian rakyat ludruk yang bertahan manggung di tobong Pulo Wonokromo, pertanyaanya: sampai kapan mereka bertahan? Karena, secara jujur harus diakui: dengan mengandalkan pendapatan dari karcis penonton, sungguh sangat tidak memadai untuk menopang kehidupan para “awak’ ludruk.. Ini sama halnya dengan nasib grup kethoprak Siswobudoyo yang pentas di THR
Dibandingkan dengan ludruk yang ada di pinggiran Mojokerto, misalnya bisa dilihat grup ludruk Karya Budaya, Mojokerto, pimpinan Drs. Eko Susanto, lebih mending karena masih bisa pentas di pinggiran meliputi wilayah Gerbang Kertosusila – Malang – Pasuruan. Menurut pengakuan Supali, salah satu pemainnya, rata-rata satu tahun 150 kali pentas, yang paling ramai biasanya pada bulan Juli, Agustus, September, rata-rata penuh dengan nilai nilai per job antara 6 juta sampai 10 juta. Jadi bila mengharapkan ludruk masih hidup di wilayah Kota Surabaya tentu formatnya harus lain.
Salah satu format disamping penggalian kidungannya, pelestarian ludruk caranya harus mampu menangkap kekinian. Mungkin salah satu contoh pernah dicoba Bawong S. Nitiberi, dengan menggarap “Besutan” dengan lakon “Dodol Gombal” tahun 2002. Sayang, yang di lakukan Bawong itu tidak berlanjut.
Apapun alasannya, ludruk Surabaya juga menjadi salah satu semangat Surabaya, seni khas Surabaya. Lewat Cak Durasim, seni rakyat ini telah dirubah menjadi semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan. Selain dari Cak Durasim, tidak bisa dihindari jika ceritera rakyat semacam kisah perjuangan Sawunggaling, Sogol, Sarip Tambakoso, Branjangkawat, dan lain-lain sangat melekat dengan Surabaya. Tentu semua fihak tak akan membiarkan semangat itu mati sia-sia.
(Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos)
Pemerhati Budaya, Penyair Sastra Jawa
Jika ingin melihat kharakter orang Surabaya yang tegas, pemberani dan “blak-blakan” bercerminlah pada Cak Durasim atau Ki Gondo Durasim. Keberanian bukan harus ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis: merusak, bakar-bakar, dan menggunakan tindakan keji yang lain. Tetapi sebagai aktor panggung, Cak Durasim lebih cerdas dan elegan. Dia tahu melalui seni dia mampu menguasai ruang sunyi yang bisa membuka kesadaran penonton, yaitu: melalui “kidungan”. Dan kenyataannya memang demikian, kekuatan “kidungan” melebihi kekuatan moncong-moncong senjata.
Maka ketika kidungan “Pegupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Begupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara) dia tembangkan, seketika merahlah telinga serdadu – serdadu Jepang yang disebut kenpetei itu. Mereka menyadari ini merupakan musuh yang sulit dibendung. Jika kidungan ditembangkan dalam pertunjukan ludruk digedung GNI waktu itu, yang keluar bukan hanya sebagai tontonan penghibur belaka, tetapi justru akan menjelma sebagai “media penyadaran” atas ketidakadilan yang ditimpakan pada rakyat yang terjajah, sekaligus menghipnotis mereka untuk mengadakan “perlawanan”. Maka “sang pengidung”, Ki Gondo Durasim, harus ditangkap, dilenyapkan. Tapi benarkah “kidungan”-nya mampu dilenyapkan seperti raga pengidungnya?
Dalam buku “Folklor Indonesia” tulisan James Danandjaja (Pustaka Grafiti, Jakarta, 1994) disebutkan bahwa tradisi lisan seperti kidungan ini adalah termasuk salah satu jenis folklor. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Disebutkan James yang mengutip pendapat Betty Wang, karena sadar akan adanya salah satu fungsi itu, yakni sebagai protes sosial, maka beberapa kaisar Tiongkok Kuno yang bijaksana seperti kaisar Yui dari dinasti Hsia dan kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, mempunyai staf khusus yang tugasnya mengumpulkan nyanyian rakyat yang dinyanyikan penyanyi rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Koleksi mereka itu kemudian diklasifikasikan, dan diarsipkan setelah dipelajari isinya. Dari isi nyanyian rakyat ini kemudian kaisar mengetahui pendapat rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintahannya. Jadi para kaisar yang bijaksana di Tiongkok Kuno mengumpulkan folklor untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam konteks sekarang ini, dalam rangka pelestarian kesenian Ludruk, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya meletakkannya ludruk dengan seluruh atribut kidungannya sebagai “media dialogis”, juga tempat untuk berkaca untuk koreksi diri, karena teks kidungan ini merupakan suara murni rakyat. Seharusnya suara ini dialirkan, karena suara murni rakyat itu tak terwadahi oleh wakil rakyat yang rata-rata sangat sibuk, lupa, dan banyak yang tak mampu lagi mendengar aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sayangnya, para seniman ludruk di Surabaya sendiri, rata-rata ketika sedikit saja mendapat kucuran dana, kidungannya sudah berubah “memuji-muji”, kidungannya yang biasanya keras tiba-tiba melunak penuh dengan pesan sponsor. Inilah yang menyebabkan “suara murni” itu lenyap. Akhirnya yang muncul hanya sebuah industri banyolan yang tak lucu. Lihat saja, acara “Kidungan Rek” di JTV, rata-rata yang tampil langsung memuji-muji stasiun TV yang berkenan menampilkan wajahnya itu. Karena dalam jiwa mereka, bisa tampil itu sudah patut disyukuri, sehingga inilah yang menybabkan kebanyakan pengidung melupakan fungsi kidungan sebagai folklor yang bisa menjadi kontrol sebuah kebijakan pemerintah yang disampaikan dengan sangat elegan.
Dalam kaitannya dengan pelestarian ludruk di Surabaya, sebenarnya harus dilihat ludruk bukan hanya sebagai teater rakyat belaka, tetapi lebih dari itu. Pelestarian ludruk sekaligus pelestarian salah satu jenis folklor berupa “kidungan” itu, folklor yang merekam suara spontanitas, emosional, kejujuran dari mereka yang tertindas atau terabaikan. Hanya saja pertanyaannya: beranikah apabila Pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba “kidungan” yang isinya melulu berupa kritik, mencaci maki, khusus terhadap kebijakan pemerintah kota Surabaya? Tentu kritik itu harus punya dasar, tidak asal bunyi, harus imbang, jangan hanya sisi negatifnya, tapi juga positifnya. Bagi yang dikritik, betapapun kerasnya, tak usah marah dan tersinggung. Pelaku seni ludruk dan pemerintah di sini berdiri sama-sama sebagai subyek. Ini dimaksudkan bukan hanya semata-mata sebagai lomba, tetapi merupakan salah satu cara untuk pelestarian ludruk dan membangun wacana berfikir lewat seni.
Terkait dengan pelestarian seni ludruk, rangkaian lomba-lomba dalam kegiatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 713 itu tak nampak. Dari tanggal 30 April dimulai dengan acara “Gebyar Arak-Arakan” yang berakhir tanggal 4 Juni dengan acara “Festival Perahu Tradisional “Ujung Galuh” ( Petekan –Monkasel), banyak sekali mata acara, mulai dari Konser Pulang Kampung, Gibol Vaganza, Festival Manten Pegon, Festival Rujak Uleg, Festival Campursari, Festival Makanan Khas, dan lain-lain. Hanya satu yang sedikit menyentuh ludruk, yaitu Festival Remo. Tetapi ini lebih banyak menyentuh tariannya, apabila dikaitkan dengan semangat “kidungan” Cak Durasim yang berani menyuarakan “suara kaum tertindas” itu, tentu masih sangat jauh sekali dari harapan.
Diakui atau tidak, saat ini yang mau nanggap kesenian ludruk lebih banyak di luar kota. Ludruk RRI Surabaya misalnya, menurut penuturan Hengki Kusuma, salah satu pemainnya, meskipun bermarkas di pusat kota, tetapi sebenarnya ludruk RRI Surabaya jarang sekali pentas di dalam kota. Hengki mengakui, masa-masa kejayaan ludruk dia jumpai sekitar tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ini bisa dilihat dari eksisnya ludruk Sari Murni (Jombang), Baru Budi (Surabaya) Trisula Darma-Kopasgat (Madiun), Sari Warni (Surabaya), Suzana (Surabaya) yang sering tampil di Kota Surabaya. Tempat-tempat semacam Lapangan Kalibokor dan Lapangan Pacarkeling sering dipakai untuk pentas ludruk tobongan. Ini juga diimbangi siaran-siaran acara ludruk di radio-radio juga masih semarak.
Jika sekarang di Surabaya tinggal ludruk Irama Budaya sebagai salah satu contoh kesenian rakyat ludruk yang bertahan manggung di tobong Pulo Wonokromo, pertanyaanya: sampai kapan mereka bertahan? Karena, secara jujur harus diakui: dengan mengandalkan pendapatan dari karcis penonton, sungguh sangat tidak memadai untuk menopang kehidupan para “awak’ ludruk.. Ini sama halnya dengan nasib grup kethoprak Siswobudoyo yang pentas di THR
Dibandingkan dengan ludruk yang ada di pinggiran Mojokerto, misalnya bisa dilihat grup ludruk Karya Budaya, Mojokerto, pimpinan Drs. Eko Susanto, lebih mending karena masih bisa pentas di pinggiran meliputi wilayah Gerbang Kertosusila – Malang – Pasuruan. Menurut pengakuan Supali, salah satu pemainnya, rata-rata satu tahun 150 kali pentas, yang paling ramai biasanya pada bulan Juli, Agustus, September, rata-rata penuh dengan nilai nilai per job antara 6 juta sampai 10 juta. Jadi bila mengharapkan ludruk masih hidup di wilayah Kota Surabaya tentu formatnya harus lain.
Salah satu format disamping penggalian kidungannya, pelestarian ludruk caranya harus mampu menangkap kekinian. Mungkin salah satu contoh pernah dicoba Bawong S. Nitiberi, dengan menggarap “Besutan” dengan lakon “Dodol Gombal” tahun 2002. Sayang, yang di lakukan Bawong itu tidak berlanjut.
Apapun alasannya, ludruk Surabaya juga menjadi salah satu semangat Surabaya, seni khas Surabaya. Lewat Cak Durasim, seni rakyat ini telah dirubah menjadi semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan. Selain dari Cak Durasim, tidak bisa dihindari jika ceritera rakyat semacam kisah perjuangan Sawunggaling, Sogol, Sarip Tambakoso, Branjangkawat, dan lain-lain sangat melekat dengan Surabaya. Tentu semua fihak tak akan membiarkan semangat itu mati sia-sia.
(Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos)
PLUS MINUS PROGRAM ‘JAVA DAY’ DI SURABAYA
Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemerhati Budaya.
Seorang siswa di SD Rangkah ketika ditanya: Bagaimana kesan dia ketika harus berbahasa Jawa sehari dalam seminggu di sekolahnya? Jawabnya polos: “Seneng, Pak. Pola-e lucu!” (Senang Pak, soalnya lucu). Kesan lebih “lucu” yang lain bisa digambarkan saat salah seorang guru harus bercucuran keringat dingin ketika mendapat tugas sebagai pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga yang dialami kepala sekolah, dia ikut-ikutan sibuk harus menyiapkan teks pidato upacara bendera berbahasa Jawa, tanya sana tanya sini, ini untuk menghindari salah pengucapan saat pidato. Tentunya untuk menghindari agar tidak menjadi bahan “guyonan” yang tidak lucu. Kenapa bahasa Jawa, yang menjadi bahasa ibu sejal lahir, justru kini menjadi asing dan dihindari?
Ilustrasi di atas merupakan sebagian kecil dari kisah yang terjadi pada pelaksanaan program Java Day di Surabaya. Sejak digulirkannya Program Java Day (sehari berbahasa Jawa) oleh Pemerintah Kodya Surabaya melalui edaran Kepala Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya, Drs. Sahudi, M.Pd, yang dituangkan dalam Surat Dinas No.4-21.2/0123/436.5.6/2008, yang paling lemah adalah dalam hal pelaksanaan di lapangan. Adakah sangsi jika tidak melakukan program itu? Tentunya tidak akan terjadi seperti pelanggaran hukum. Karena yang diharapan dari program ini adalah membangun kesadaran budaya melalui pemakaian bahasa lokal/daerah. Dari program ini siswa diharapkan bisa mengambil nilai-nilai, “unggah-ungguh’ atau tata perilaku serta sikap moral positif yang diambil dari budaya sendiri. Sehingga “kelucuan-kelucuan” ketika menggunakan bahasa lokal merupakan hal positif sebagai konsekuensi terhadap reposisi budaya, belajar kembali dan menggali nilai budaya sendiri. Kita mungkin perlu meniru negara maju seperti Jepang, yang masih mengagungkan nilai-nilai budaya serta hal yang berbau tradisi.
Jauh sebelum ada program semacam ini, Christian Grossweller, yang berasal dari negara Swiss dan menjadi salah satu pemakalah (dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus) dalam Kongres Bahasa Jawa III Yogyakarta (2001), pernah mengatakan bahwa salah satu cara jitu dalam mengembangkan bahasa daerah, yang pertama adalah dari lingkungan keluarga, selanjutnya pada lingkungan pendidikan. Dia mengambil contoh salah satu bahasa etnik di Swiss yang pernah “punah” bisa hidup kembali dengan cara-cara kesadaran budaya seperti ini. Dia menambahkan, terkait dengan pembangunan di basis budaya, tentu tidak seperti membangun gedung yang bisa diprediksi sehari dua hari bisa jadi. Membangun budaya dan menanamkan kesadaran berbahasa seperti menanam sebiji benih pohon yang memerlukan wantu panjang untuk menjadi pohon yang rindang dan berbuah.
Sebuah realita yang menyangkut Program Java Day saat ini, sebagai kota metropolis, di Surabaya mempunyai penduduk dengan berbagai etnis, bukan melulu Jawa. Bahasa Jawa-nya pun juga terdiri bahasa Jawa “kulonan” dan “Surabaya-an”. Berbeda dengan Jawa Tengah atau Yogyakarta yang etnis Jawa dan pengguna bahasa Jawanya lebih besar (homogen). Bahasa “Jawa Surabaya-an” yang konon banyak digunakan di Surabaya juga belum punya patokan baku. Bahasa Surabaya-an merupakan Sub-dialek bahasa Jawa lan lebih dominan sebagai bahasa “tutur” atau “lisan”, bukan bahasa tulis. Maka tidak aneh jika pembelajaran bahasa Jawa di Surabaya masih kebingungan menggunakan format yang bagaimana. Anehnya, walaupun dengan penduduk yang bahasa Jawanya heterogen, tetapi di Surabaya berdiri kokoh dua penerbitan majalah berbahasa Jawa “Jayabaya” yang terbit tahun 1945 dan “Panjebar Semangat” terbit tahun 1933.
Dalam sarasehan bahasa Jawa menindaklanjuti surat edaran Sahudi, yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG), Gugus 031 –032, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari (9 dan 23 Februari 2008) itu, selain banyak guru yang merasa kebingunan bahasa Jawa apa yang digunakan, realita lain yang harus kita fahami yaitu bahasa Jawa dianggap sebagai pelajaran “sains anak kota”. Itulah sebabnya pelajaran bahasa Jawa dianggap lebih sulit dari pelajaran yang lain. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa Jawa yang masih mengajarkan hafalan anak-anak hewan (anak ayam: kuthuk), anak kebo gudel, anak sapi pedhet, anak cecak: sawiyah, dsb), dan juga nama-nama bunga (kembang duren: dlongop, kembang lombok: menik), dsb.
Diakui atau tidak, walaupun program Java Day lebih menekankan “keberanian komunikasi berbahasa Jawa”, tetapi mau tidak mau juga bersentuhan dengan mata pelajaran bahasa Jawa yang diajarkan di kelas. Terkait dengan pelajaran bahasa Jawa, menurut Dosen Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dra. Sri Sulistiani, M.Pd, Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD memang diakui lebih rumit ketimbang kurikulum bahasa Jawa untuk jenjang SMP. Tetapi menurutnya, yang paling penting dalam pembelajaran bahasa Jawa seharusnya lebih mengacu pada life skill, artinya, sejauh mana pembelajaran bahasa Jawa bisa berguna bagi siswa.
Butuh Referensi dan Tata Bahasa Baku
Kurangnya keberanian menggunakan bahasa Jawa ini ada yang beralasan karena takut dikatakan “kasar” dan malu ditertawakan. Ini diakui oleh salah seorang guru dalam diskusi di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah itu, ada salah seorang guru yang mengaku lahir di Surabaya, sejak kecil yang dikenal juga bahasa Surabaya-an, tetapi ketika disuruh menggunakan bahasa Jawa Surabaya-an, dia mengaku tidak “pe-de” (percaya diri). Kenapa?
Lagi-lagi kita butuh referensi dan rujukan untuk memperlancar dan lebih menambah percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Memang, kalau pengin yang lebih “afdol” sebelum digulirkan edaran Java Day seharusnya diadakan dulu kamus Surabaya-an, juga ada buku-buku bacaan bahasa Jawa. Tapi kalaupun toh belum ada sarana pendukung itu, sebenarnya bagi seorang guru semestinya tak akan kehabisan akal. Dalam hal kurikulum bahasa Jawa juga tak akan membebani guru, karena guru ibarat dalang yang harus luwes dalam menterjemahkan kurikulum sesuasi dengan lokalitas Surabaya (sesuai KTSP). Soal kelengkapan sarana pendukung itu bisa di lakukan sambil jalan. Yang lebih realistis sekarang adalah bagaimana para guru dan pelajar di Surabaya menjadi percaya diri untuk berbicara bahasa Jawa dalam Java Day.
Jika butuh referensi, kita bisa mengambil pendukung yang lain. Dalam masyarakat Jawa subkultur Surabaya-an (yang tinggal di wilayah administratif Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Jombang ) dikenal adanya seni pertunjukan ludruk. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pagelaran ludruk inilah yang bisa dipakai untuk referensi. Menurut saya, bahasa ludruk ini bisa menjadi salah satu acuan jenis bahasa Jawa yang bisa digunakan di Surabaya.
Memang, ada beberapa guru tatkala sarasehan Kelompok Guru di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari itu, ada beberapa guru yang mengusulkan supaya tayangan “Pojok Kampung” JTV mengurangi bahasa-bahasa yang “vulgar”, dengan alasan bahasa-bahasa yang langsung dilihat dan didengar dari media TV inilah yang mudah diserap oleh anak-anak pelajar. “Bagaimana bila anak-anak Surabaya lebih mengenali bahasa Surabaya-an yang “vulgar” seperti itu?” begitu usulan salah seorang guru. Lagi-lagi problem di sini tersandung pada nilai rasa “kasar – halus” yang menjadi perdebatan berkepanjangan, apalagi ketika dihadapkan pada kepentingan proses pembelajaran siswa. Begitu juga persoalan kata “vulgar” dan “tidak vulgar” ini saja akan menjadi debat kusir dan tidak ana titik temu karena cara pandang yang berbeda..
Perlu Dukungan Pakar Bahasa Surabaya-an
Untuk yang akan datang, kesuksesan Java Day juga akan berimbas dan berdampak positif pada pelajaran bahasa Jawa di kelas. Tentunya terkait dengan buku dan pedoman tata tulis yang disepakati bersama. Sebagi bahasa “sub-dialek” Surabaya lebih banyak sebagai bahasa “lisan”, penulisannya juga banyak yang masih berdasarkan bahasa “lisan” yang diucapkan. Contoh penulisan yang agak berbeda, misalnya kata “mulih” yang berarti “pulang”: ditulis : mole’, moleh, atau muleh. Kata “putih” ditulis “ pote, puteh, poteh”. Kata “pitik” (ayam) ditulis “petek, pitek...” dan lain-lain. Selain itu memang ada yang rancu antara penggunaan huruf vokal “o” dengan “a”, “th” dengan “t” juga “dha” dengan “d”, dan lain-lain..
Persoalan-persoalan yang rumit seperti kasus di atas, akan mengiringi suksesnya program Java Day ke depan. Tentunya, apabila lebih serius akan memerlukan para pemikir-pemikir bahasa yang bisa mengkongkritkan masalah ejaan bahasa Surabaya-an, kamus Surabaya-an dan piranti-piranti lain yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa di Surabaya. Yang lebih kongkrit dalam waktu dekat, rasanya perlu menggalakkan lomba-lomba terkait dengan bahasa Jawa bagi siswa dan guru di Surabaya. Misalnya lomba menulis dan mendongeng ceritera rakyat Surabaya dengan bahasa Jawa, lomba kidungan, lomba ludruk anak-anak, lomba puisi (geguritan) dan lain-lain. Apalagi tahun ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional sesuai yang diambil sebagai tema Festival Seni Surabaya (FSS). Rasanya saat ini sangat tepat untuk dilakukan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Penyair Sastra Jawa, Pemerhati Budaya.
Seorang siswa di SD Rangkah ketika ditanya: Bagaimana kesan dia ketika harus berbahasa Jawa sehari dalam seminggu di sekolahnya? Jawabnya polos: “Seneng, Pak. Pola-e lucu!” (Senang Pak, soalnya lucu). Kesan lebih “lucu” yang lain bisa digambarkan saat salah seorang guru harus bercucuran keringat dingin ketika mendapat tugas sebagai pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga yang dialami kepala sekolah, dia ikut-ikutan sibuk harus menyiapkan teks pidato upacara bendera berbahasa Jawa, tanya sana tanya sini, ini untuk menghindari salah pengucapan saat pidato. Tentunya untuk menghindari agar tidak menjadi bahan “guyonan” yang tidak lucu. Kenapa bahasa Jawa, yang menjadi bahasa ibu sejal lahir, justru kini menjadi asing dan dihindari?
Ilustrasi di atas merupakan sebagian kecil dari kisah yang terjadi pada pelaksanaan program Java Day di Surabaya. Sejak digulirkannya Program Java Day (sehari berbahasa Jawa) oleh Pemerintah Kodya Surabaya melalui edaran Kepala Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya, Drs. Sahudi, M.Pd, yang dituangkan dalam Surat Dinas No.4-21.2/0123/436.5.6/2008, yang paling lemah adalah dalam hal pelaksanaan di lapangan. Adakah sangsi jika tidak melakukan program itu? Tentunya tidak akan terjadi seperti pelanggaran hukum. Karena yang diharapan dari program ini adalah membangun kesadaran budaya melalui pemakaian bahasa lokal/daerah. Dari program ini siswa diharapkan bisa mengambil nilai-nilai, “unggah-ungguh’ atau tata perilaku serta sikap moral positif yang diambil dari budaya sendiri. Sehingga “kelucuan-kelucuan” ketika menggunakan bahasa lokal merupakan hal positif sebagai konsekuensi terhadap reposisi budaya, belajar kembali dan menggali nilai budaya sendiri. Kita mungkin perlu meniru negara maju seperti Jepang, yang masih mengagungkan nilai-nilai budaya serta hal yang berbau tradisi.
Jauh sebelum ada program semacam ini, Christian Grossweller, yang berasal dari negara Swiss dan menjadi salah satu pemakalah (dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus) dalam Kongres Bahasa Jawa III Yogyakarta (2001), pernah mengatakan bahwa salah satu cara jitu dalam mengembangkan bahasa daerah, yang pertama adalah dari lingkungan keluarga, selanjutnya pada lingkungan pendidikan. Dia mengambil contoh salah satu bahasa etnik di Swiss yang pernah “punah” bisa hidup kembali dengan cara-cara kesadaran budaya seperti ini. Dia menambahkan, terkait dengan pembangunan di basis budaya, tentu tidak seperti membangun gedung yang bisa diprediksi sehari dua hari bisa jadi. Membangun budaya dan menanamkan kesadaran berbahasa seperti menanam sebiji benih pohon yang memerlukan wantu panjang untuk menjadi pohon yang rindang dan berbuah.
Sebuah realita yang menyangkut Program Java Day saat ini, sebagai kota metropolis, di Surabaya mempunyai penduduk dengan berbagai etnis, bukan melulu Jawa. Bahasa Jawa-nya pun juga terdiri bahasa Jawa “kulonan” dan “Surabaya-an”. Berbeda dengan Jawa Tengah atau Yogyakarta yang etnis Jawa dan pengguna bahasa Jawanya lebih besar (homogen). Bahasa “Jawa Surabaya-an” yang konon banyak digunakan di Surabaya juga belum punya patokan baku. Bahasa Surabaya-an merupakan Sub-dialek bahasa Jawa lan lebih dominan sebagai bahasa “tutur” atau “lisan”, bukan bahasa tulis. Maka tidak aneh jika pembelajaran bahasa Jawa di Surabaya masih kebingungan menggunakan format yang bagaimana. Anehnya, walaupun dengan penduduk yang bahasa Jawanya heterogen, tetapi di Surabaya berdiri kokoh dua penerbitan majalah berbahasa Jawa “Jayabaya” yang terbit tahun 1945 dan “Panjebar Semangat” terbit tahun 1933.
Dalam sarasehan bahasa Jawa menindaklanjuti surat edaran Sahudi, yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG), Gugus 031 –032, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari (9 dan 23 Februari 2008) itu, selain banyak guru yang merasa kebingunan bahasa Jawa apa yang digunakan, realita lain yang harus kita fahami yaitu bahasa Jawa dianggap sebagai pelajaran “sains anak kota”. Itulah sebabnya pelajaran bahasa Jawa dianggap lebih sulit dari pelajaran yang lain. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa Jawa yang masih mengajarkan hafalan anak-anak hewan (anak ayam: kuthuk), anak kebo gudel, anak sapi pedhet, anak cecak: sawiyah, dsb), dan juga nama-nama bunga (kembang duren: dlongop, kembang lombok: menik), dsb.
Diakui atau tidak, walaupun program Java Day lebih menekankan “keberanian komunikasi berbahasa Jawa”, tetapi mau tidak mau juga bersentuhan dengan mata pelajaran bahasa Jawa yang diajarkan di kelas. Terkait dengan pelajaran bahasa Jawa, menurut Dosen Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dra. Sri Sulistiani, M.Pd, Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD memang diakui lebih rumit ketimbang kurikulum bahasa Jawa untuk jenjang SMP. Tetapi menurutnya, yang paling penting dalam pembelajaran bahasa Jawa seharusnya lebih mengacu pada life skill, artinya, sejauh mana pembelajaran bahasa Jawa bisa berguna bagi siswa.
Butuh Referensi dan Tata Bahasa Baku
Kurangnya keberanian menggunakan bahasa Jawa ini ada yang beralasan karena takut dikatakan “kasar” dan malu ditertawakan. Ini diakui oleh salah seorang guru dalam diskusi di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah itu, ada salah seorang guru yang mengaku lahir di Surabaya, sejak kecil yang dikenal juga bahasa Surabaya-an, tetapi ketika disuruh menggunakan bahasa Jawa Surabaya-an, dia mengaku tidak “pe-de” (percaya diri). Kenapa?
Lagi-lagi kita butuh referensi dan rujukan untuk memperlancar dan lebih menambah percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Memang, kalau pengin yang lebih “afdol” sebelum digulirkan edaran Java Day seharusnya diadakan dulu kamus Surabaya-an, juga ada buku-buku bacaan bahasa Jawa. Tapi kalaupun toh belum ada sarana pendukung itu, sebenarnya bagi seorang guru semestinya tak akan kehabisan akal. Dalam hal kurikulum bahasa Jawa juga tak akan membebani guru, karena guru ibarat dalang yang harus luwes dalam menterjemahkan kurikulum sesuasi dengan lokalitas Surabaya (sesuai KTSP). Soal kelengkapan sarana pendukung itu bisa di lakukan sambil jalan. Yang lebih realistis sekarang adalah bagaimana para guru dan pelajar di Surabaya menjadi percaya diri untuk berbicara bahasa Jawa dalam Java Day.
Jika butuh referensi, kita bisa mengambil pendukung yang lain. Dalam masyarakat Jawa subkultur Surabaya-an (yang tinggal di wilayah administratif Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Jombang ) dikenal adanya seni pertunjukan ludruk. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pagelaran ludruk inilah yang bisa dipakai untuk referensi. Menurut saya, bahasa ludruk ini bisa menjadi salah satu acuan jenis bahasa Jawa yang bisa digunakan di Surabaya.
Memang, ada beberapa guru tatkala sarasehan Kelompok Guru di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari itu, ada beberapa guru yang mengusulkan supaya tayangan “Pojok Kampung” JTV mengurangi bahasa-bahasa yang “vulgar”, dengan alasan bahasa-bahasa yang langsung dilihat dan didengar dari media TV inilah yang mudah diserap oleh anak-anak pelajar. “Bagaimana bila anak-anak Surabaya lebih mengenali bahasa Surabaya-an yang “vulgar” seperti itu?” begitu usulan salah seorang guru. Lagi-lagi problem di sini tersandung pada nilai rasa “kasar – halus” yang menjadi perdebatan berkepanjangan, apalagi ketika dihadapkan pada kepentingan proses pembelajaran siswa. Begitu juga persoalan kata “vulgar” dan “tidak vulgar” ini saja akan menjadi debat kusir dan tidak ana titik temu karena cara pandang yang berbeda..
Perlu Dukungan Pakar Bahasa Surabaya-an
Untuk yang akan datang, kesuksesan Java Day juga akan berimbas dan berdampak positif pada pelajaran bahasa Jawa di kelas. Tentunya terkait dengan buku dan pedoman tata tulis yang disepakati bersama. Sebagi bahasa “sub-dialek” Surabaya lebih banyak sebagai bahasa “lisan”, penulisannya juga banyak yang masih berdasarkan bahasa “lisan” yang diucapkan. Contoh penulisan yang agak berbeda, misalnya kata “mulih” yang berarti “pulang”: ditulis : mole’, moleh, atau muleh. Kata “putih” ditulis “ pote, puteh, poteh”. Kata “pitik” (ayam) ditulis “petek, pitek...” dan lain-lain. Selain itu memang ada yang rancu antara penggunaan huruf vokal “o” dengan “a”, “th” dengan “t” juga “dha” dengan “d”, dan lain-lain..
Persoalan-persoalan yang rumit seperti kasus di atas, akan mengiringi suksesnya program Java Day ke depan. Tentunya, apabila lebih serius akan memerlukan para pemikir-pemikir bahasa yang bisa mengkongkritkan masalah ejaan bahasa Surabaya-an, kamus Surabaya-an dan piranti-piranti lain yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa di Surabaya. Yang lebih kongkrit dalam waktu dekat, rasanya perlu menggalakkan lomba-lomba terkait dengan bahasa Jawa bagi siswa dan guru di Surabaya. Misalnya lomba menulis dan mendongeng ceritera rakyat Surabaya dengan bahasa Jawa, lomba kidungan, lomba ludruk anak-anak, lomba puisi (geguritan) dan lain-lain. Apalagi tahun ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional sesuai yang diambil sebagai tema Festival Seni Surabaya (FSS). Rasanya saat ini sangat tepat untuk dilakukan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Rabu, 21 Januari 2009
SYAIR TRESNANE RABI’AH
Gusti, manawa anggonku ngibadah
mung karana wedi geni neraka
leburen aku ing genine jahanam
Manawa anggonku ngibadah
mung merga ngarep-arep enake swarga
enggal doh-na sing adoh saka sekabehane
Nanging, manawa aku ngibadah
krana sih tresnaku marang PanjenenganMu
Gusti, aja Panjenengan aling-alingi nggonku kepengin
ndeleng Kaendahan-Mu
Tresna utawa katresnan ora mung lumaku antarane manungsa lanang wadon kaya kang umum kanggo para mudha-mudhi, utawa wong bebrayan lanang wadon, antarane wong tuwa marang anak utawa suwalike, lan liya-liyane kaya kang asring diprangguli ing bebrayan. Ing tataran panembah, “tresna” mau lumaku antarane titah lan kang nitahake, manungsa lan Pengerane. Lan “tresna” sing iki mujudake tresna kang pribadi banget. Jalaran kang weruh iku ya ing pribadi kita dhewe.
Gegambaran tresna mau, minangka conto kaya kang rinumpaka ing syair utawa guritan ing dhuwur kasebut. Guritan iku mujudake jarwan bebas saka puisi karyane Rabi’ah Al Adawiyyah (? - 185 Hijrah), sawijining ahli tasawuf wanita kelairan Basrah, Irak. Jeneng asline Ummu ‘l Khayr Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qisiyyah.
Merga dheweke bisa ngresepi lan bisa “nikmati” pait getire panguripan kang nate dilakoni, wiwit nalika didadekake budhak kang uripe kesurang-surang, nganti nuwuhake krenteg kesufianne kanthi tema-tema “katresnan” marang Kang Murbeng Urip iku, dheweke njur bisa ngripta ukara kang endah banget, patut diresepi.. Lumantar syair-syair mau dheweke nyilemi lan nandukake maknane tresna kang luwih jeru. Luwih adoh tebane katimbang pangerten sing mung wantah kaya kang nate kita prangguli.
Ing kene ora kepengin ngonceki ngenani ngelmu tasawuf, nanging nyoba urun nyurasa ukara gegayutan karo rasa “tresna” utawa “katresnan”. Ing pangerti kang luwih nduweni makna religius ora bisa pinisahake klawan pengorbanan lan keiklasan. Katresnan utawa tresna uga ngandhut pangerti “iklas”. Ing babagan manembah kaya syaire Rabiah ing dhuwur mau disurasa: ora merga pamrih kepengin antuk swarga lan wedi neraka. Iki uga wujude pemut, manembah mono kudu kanthi “iklas”, lepas saka sakehing “pamrih kadonyan”, lan tujuane manembah mau amung siji, “krana mung rasa tresna marang Gusti kang Murbeng Gesang”.
Yen tataran gegayuhan lan manembah mono pepindhane wit kang dhuwur. Saya dhuwur pucuking wit uga saya dhuwur kena gempurane angin. Saya dhuwur tataraning panembah saya dhuwur godhane. Kari kuwat apa ora. Yen ing carita wayang, akeh banget kang bisa tinuladha gegayutan karo perkara godha lan tresna. Begawan Wisrawa, sawijining pandhita kang wis dianggep putus saka sakehing kawruh, jebul bisa kepleset merga panggodhane Dewi Sukesi (minangka simbule tresna lan nafsu kadonyan).
Kadidene begawan, kaya ing pangerti wantah wis kena dipesthekake wis manggon ing tataran tahan godha. Ning ing crita iki digambarake Sang Begawan ing kahanan “dilematis”(mbingungake). Sawise kasil mupu sayembara apa kang dipikirake Begawan Wisrawa dadi seje; pilih “sedyane sing sakawit” nggolekake garwa kanggo putrane, apa “kanggo awake dhewe“? Pungkasane Sang Begawan kang wis putus saka sakehing kawruh iku “ora kuwat godha” nalika wanita ayu kang aran Dewi Sukesi nyungkemi padane lan masrahake jiwa ragane.
Lha saumpama cak-cakan mau tumiba ing ing jaman modheren kaya saiki, njur awake dhewe nemoni kedadeyan kaya mangkono, apa ya kuwat karo godha mau? Kamangka godhane luwih akeh, bisa nlusup liwat internet, VCD, lan liya-liyane. Coba dipenggalih!
Nanging, yen pancen nduweni “tresna” kang temen-temen marang Pengerane mesthi bisa meper hawa napsu. Bisa mbedakake endi sing salah endi sing bener. Rabiah, sang penulis syair iku wis mbuktekake kencenge penembahe mung marang Gusti Allah dheweke pasrah sumarah. Surasane syaire uga terus ngumandhang, irip empere kaya kang asring di rungu dadi puji-pujian ing langgar lan masjid sadurunge nindakake shalat jamaah: dhuh pengeran kula sanes ahli suwarga / nanging kula mboten kiyat wonten neraka / mugi pengeran kersa nampi tobat kula / merga Pengeran Dzat kang Agung pangapura, / wedhi kathah umpamane dosa kula / mugi Pengeran nampi tobat dosa kula / umur kula saben dinten dipun suda /kados pundi saya kathah dosa kula........
Q Ki Jaladara (Widodo Basuki)
Naskah iki nate dimuat ing rubrik “Olah Rasa ” Majalah Jayabaya
mung karana wedi geni neraka
leburen aku ing genine jahanam
Manawa anggonku ngibadah
mung merga ngarep-arep enake swarga
enggal doh-na sing adoh saka sekabehane
Nanging, manawa aku ngibadah
krana sih tresnaku marang PanjenenganMu
Gusti, aja Panjenengan aling-alingi nggonku kepengin
ndeleng Kaendahan-Mu
Tresna utawa katresnan ora mung lumaku antarane manungsa lanang wadon kaya kang umum kanggo para mudha-mudhi, utawa wong bebrayan lanang wadon, antarane wong tuwa marang anak utawa suwalike, lan liya-liyane kaya kang asring diprangguli ing bebrayan. Ing tataran panembah, “tresna” mau lumaku antarane titah lan kang nitahake, manungsa lan Pengerane. Lan “tresna” sing iki mujudake tresna kang pribadi banget. Jalaran kang weruh iku ya ing pribadi kita dhewe.
Gegambaran tresna mau, minangka conto kaya kang rinumpaka ing syair utawa guritan ing dhuwur kasebut. Guritan iku mujudake jarwan bebas saka puisi karyane Rabi’ah Al Adawiyyah (? - 185 Hijrah), sawijining ahli tasawuf wanita kelairan Basrah, Irak. Jeneng asline Ummu ‘l Khayr Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qisiyyah.
Merga dheweke bisa ngresepi lan bisa “nikmati” pait getire panguripan kang nate dilakoni, wiwit nalika didadekake budhak kang uripe kesurang-surang, nganti nuwuhake krenteg kesufianne kanthi tema-tema “katresnan” marang Kang Murbeng Urip iku, dheweke njur bisa ngripta ukara kang endah banget, patut diresepi.. Lumantar syair-syair mau dheweke nyilemi lan nandukake maknane tresna kang luwih jeru. Luwih adoh tebane katimbang pangerten sing mung wantah kaya kang nate kita prangguli.
Ing kene ora kepengin ngonceki ngenani ngelmu tasawuf, nanging nyoba urun nyurasa ukara gegayutan karo rasa “tresna” utawa “katresnan”. Ing pangerti kang luwih nduweni makna religius ora bisa pinisahake klawan pengorbanan lan keiklasan. Katresnan utawa tresna uga ngandhut pangerti “iklas”. Ing babagan manembah kaya syaire Rabiah ing dhuwur mau disurasa: ora merga pamrih kepengin antuk swarga lan wedi neraka. Iki uga wujude pemut, manembah mono kudu kanthi “iklas”, lepas saka sakehing “pamrih kadonyan”, lan tujuane manembah mau amung siji, “krana mung rasa tresna marang Gusti kang Murbeng Gesang”.
Yen tataran gegayuhan lan manembah mono pepindhane wit kang dhuwur. Saya dhuwur pucuking wit uga saya dhuwur kena gempurane angin. Saya dhuwur tataraning panembah saya dhuwur godhane. Kari kuwat apa ora. Yen ing carita wayang, akeh banget kang bisa tinuladha gegayutan karo perkara godha lan tresna. Begawan Wisrawa, sawijining pandhita kang wis dianggep putus saka sakehing kawruh, jebul bisa kepleset merga panggodhane Dewi Sukesi (minangka simbule tresna lan nafsu kadonyan).
Kadidene begawan, kaya ing pangerti wantah wis kena dipesthekake wis manggon ing tataran tahan godha. Ning ing crita iki digambarake Sang Begawan ing kahanan “dilematis”(mbingungake). Sawise kasil mupu sayembara apa kang dipikirake Begawan Wisrawa dadi seje; pilih “sedyane sing sakawit” nggolekake garwa kanggo putrane, apa “kanggo awake dhewe“? Pungkasane Sang Begawan kang wis putus saka sakehing kawruh iku “ora kuwat godha” nalika wanita ayu kang aran Dewi Sukesi nyungkemi padane lan masrahake jiwa ragane.
Lha saumpama cak-cakan mau tumiba ing ing jaman modheren kaya saiki, njur awake dhewe nemoni kedadeyan kaya mangkono, apa ya kuwat karo godha mau? Kamangka godhane luwih akeh, bisa nlusup liwat internet, VCD, lan liya-liyane. Coba dipenggalih!
Nanging, yen pancen nduweni “tresna” kang temen-temen marang Pengerane mesthi bisa meper hawa napsu. Bisa mbedakake endi sing salah endi sing bener. Rabiah, sang penulis syair iku wis mbuktekake kencenge penembahe mung marang Gusti Allah dheweke pasrah sumarah. Surasane syaire uga terus ngumandhang, irip empere kaya kang asring di rungu dadi puji-pujian ing langgar lan masjid sadurunge nindakake shalat jamaah: dhuh pengeran kula sanes ahli suwarga / nanging kula mboten kiyat wonten neraka / mugi pengeran kersa nampi tobat kula / merga Pengeran Dzat kang Agung pangapura, / wedhi kathah umpamane dosa kula / mugi Pengeran nampi tobat dosa kula / umur kula saben dinten dipun suda /kados pundi saya kathah dosa kula........
Q Ki Jaladara (Widodo Basuki)
Naskah iki nate dimuat ing rubrik “Olah Rasa ” Majalah Jayabaya
biodata widodo basuki
Lair ing Trenggalek, 18 Juli 1967, saliyane dikenal kadidene penggurit (penyair) sarjana pendidikan seni rupa iki makarya wartawan/redaktur majalah Jaya Baya wiwit 1993 nganti saiki. Aktif ing kegiatan Bengkel Muda Surabaya (BMS), nate dipercaya dadi Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Surabaya (DKS) periode 1998-2003.
Taun 1999 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) maca kumpulan guritane: Layang Saka Tlatah Wetan (1999). Taun 2001, pemakalah makili Jawa Timur ing Kongres Bahasa Jawa (KBJ) III Yogyakarta lan KBJ IV Semarang (2006), uga tau mlebu Tim Penterjemah: Serat Babad Madura.
Karya ing antologi pribadi antara liya: Gurit Panantang (1993), Layang Saka Tlatah Wetan (1999), Kitir Tengah Wengi (2001), lan sawetara kumpulan fotocopyan lan naskah drama. Buku karyane: Layang Saka Paran (1999) diterbitake Media Gambar, buku cerita anak-anak , Menak Sopal dan Buaya Putih (penerbit PT Citra Jaya 1997), Kumpulan Geguritan Medhitasi Alang-Alang (2004).
Karyane ing antologi bebarengan: Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992), Pisungsung (Forum Kajian Kebudayaan Surabaya, 1995), Drona Gugat (1995), Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996) Tes… (Taman Budaya Jawa Timur, 1997), Luka Waktu (Taman Budaya Jawa Timur, 1998) Wulan Sedhuwuring Geni (Yayasan Obor, Jakarta, 1999), Liong, Tembang Prapatan (Taman Budaya Yogyakarta, 1999), Gerimis Lembayung (Sanggar Seni Petrokimia Gresik, 2001), Kabar Saka Bendulmrisi ( PPSJS, 2001), Bandha Warisan, Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS, 2001), Bandha Pusaka, antologi Crita Cekak,(SSJY-LKBS, 2001) lan Tanpa Mripat (Sanggar Pecanthingan, 2004), Ibu (Bengkel Muda Surabaya, 2006). Saliyane iku uga tulisan crita cekak (cerita pendek), artikel, esay lan liya-liyane dimuat ing majalah Jayabaya Panjebar Semangat, Surabaya Post, Surabaya News, Jawa Pos, lan sawetara buletin.
Nate antuk penghargaan: 1) Kumpulan guritan “Layang Saka Paran” antuk hadhiah “Sastra Rancage” taun 2000, 2) Peghargaan Seniman Jawa Timur 2004, 3) “Guritan Pari Sawuli” Juara I Naskah Guritan, Depdikbud Jawa Timur, 1996. 4) “Cak Dul lan Maimanah “, Harapan II lomba Crita Cekak SSJY, 1998. 5) “Supinah” katut 10 crita cekak pilihan, Taman Budaya Yogyakarta, 1999. 6) “Njaga Banyune Sendhang" Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional kang diadani Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta (LKBS) 2002. 7) “Kudhi Bujel" Juara Harapan I Naskah Crita Cekak, SSJY-LKBS, 2002. Lan tulisan jurnalistike judhul "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi - Deppen Jawa Timur, 1993. Taun 2008 antuk juara I Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur.
Manggon ing Sukolegok, RT 13/ RW 05, Desa Suko, Kec. Sukodono, Kab. Sidoarjo. Omah-omah karo Dra. Sri Sulistiani MPd patutan putra loro: Abhimata Zuhra Pramudita lan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika.
Taun 1999 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) maca kumpulan guritane: Layang Saka Tlatah Wetan (1999). Taun 2001, pemakalah makili Jawa Timur ing Kongres Bahasa Jawa (KBJ) III Yogyakarta lan KBJ IV Semarang (2006), uga tau mlebu Tim Penterjemah: Serat Babad Madura.
Karya ing antologi pribadi antara liya: Gurit Panantang (1993), Layang Saka Tlatah Wetan (1999), Kitir Tengah Wengi (2001), lan sawetara kumpulan fotocopyan lan naskah drama. Buku karyane: Layang Saka Paran (1999) diterbitake Media Gambar, buku cerita anak-anak , Menak Sopal dan Buaya Putih (penerbit PT Citra Jaya 1997), Kumpulan Geguritan Medhitasi Alang-Alang (2004).
Karyane ing antologi bebarengan: Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992), Pisungsung (Forum Kajian Kebudayaan Surabaya, 1995), Drona Gugat (1995), Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996) Tes… (Taman Budaya Jawa Timur, 1997), Luka Waktu (Taman Budaya Jawa Timur, 1998) Wulan Sedhuwuring Geni (Yayasan Obor, Jakarta, 1999), Liong, Tembang Prapatan (Taman Budaya Yogyakarta, 1999), Gerimis Lembayung (Sanggar Seni Petrokimia Gresik, 2001), Kabar Saka Bendulmrisi ( PPSJS, 2001), Bandha Warisan, Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS, 2001), Bandha Pusaka, antologi Crita Cekak,(SSJY-LKBS, 2001) lan Tanpa Mripat (Sanggar Pecanthingan, 2004), Ibu (Bengkel Muda Surabaya, 2006). Saliyane iku uga tulisan crita cekak (cerita pendek), artikel, esay lan liya-liyane dimuat ing majalah Jayabaya Panjebar Semangat, Surabaya Post, Surabaya News, Jawa Pos, lan sawetara buletin.
Nate antuk penghargaan: 1) Kumpulan guritan “Layang Saka Paran” antuk hadhiah “Sastra Rancage” taun 2000, 2) Peghargaan Seniman Jawa Timur 2004, 3) “Guritan Pari Sawuli” Juara I Naskah Guritan, Depdikbud Jawa Timur, 1996. 4) “Cak Dul lan Maimanah “, Harapan II lomba Crita Cekak SSJY, 1998. 5) “Supinah” katut 10 crita cekak pilihan, Taman Budaya Yogyakarta, 1999. 6) “Njaga Banyune Sendhang" Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional kang diadani Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta (LKBS) 2002. 7) “Kudhi Bujel" Juara Harapan I Naskah Crita Cekak, SSJY-LKBS, 2002. Lan tulisan jurnalistike judhul "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi - Deppen Jawa Timur, 1993. Taun 2008 antuk juara I Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur.
Manggon ing Sukolegok, RT 13/ RW 05, Desa Suko, Kec. Sukodono, Kab. Sidoarjo. Omah-omah karo Dra. Sri Sulistiani MPd patutan putra loro: Abhimata Zuhra Pramudita lan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika.
FENOMENA PENERBITAN BUKU SASTRA JAWA
FENOMENA PENERBITAN BUKU SASTRA JAWA
Mengaca Dari “Antologi Sajak-Sajak Jawi” sampai “Mantra Katresnan”
saben munggah saonjotan
napas sasuwek gumanti angka
saben angka tumiba
layap-luyup godhong kumleyang
tundhone bali dadi
pitakon ing ndhisik mula:
apa?
Puncaking Arjuna, 2003
(kapethik saka “Medhitasi Alang-Alang”)
Dalam sebuah perjalanan dari Denpasar –Ubud (saat penerimaan hadiah Rancage) tahun 1999, pelopor penulis geguritan, ST. Iesmaniasita (Alm), mengaku merasa punya hutang pada teman-teman sastra Jawa yang pada waktu itu dimintai geguritan untuk “Antologi Sajak-Sajak Jawi” yang akhirnya benar-benar bisa diterbitkan dalam bentuk sederhanan tanpa sepengetahuan Bu Iesmaniasita tahun 1975. Menurut pengakuannya, dalam suratnya pada teman-teman pada waktu itu akan dikirimkan honorariumnya jika sudah diterbitkan. Buku itu memang telah disetujui Gunung Agung untuk diterbitkan dan sudah di setujui H.B Jassin. Ternyata setelah lama sekali tak ada kabar beritanya, naskah itu diambil Trim Sutejo, kemudian diberikan N. Sakdani. Setelah lam sekali tak tahu rimbanya tiba-tiba belakangan diketahui telah diterbitkan dalam bentuk sederhana atas pembiayaan Humardani (Alm).
Ilustrasi di atas barangkali hanya sebagai sebuah gambaran betapa penerbitan sastra Jawa sejak dulu sampai sekarang menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pengarang-pengarang sastra yang sampai akhir hayatnya tak punya antologi, termasuk Mas Poer Adhi Prawoto (alm) yang pernah dijuluki “Raja penyair sastra Jawa” tak punya buku antologi pribadi yang cukup memadai sampai akhir hayatnya, padahal tulisan-tulisan kritiknya tentang sastra Jawa dalam bahasa Indonesia cukup banyak diterbitkan. Demikian pula Mas Nursahid P (Alm), dia menerbitkan Antologi “Mantra Katresnan” yang banyak salah ketiknya itu atas prakarsa dan dukungan teman-teman.
Dalam soal buku juga, barangkali pengarang cerkak dari Bojonegoro, Jajus Pete, yang setelah dapat hadiah Rancage jarang nulis cerkak lagi, sampai sekarang belum mempunyai buku kumpulan cerkak “Kreteg Emas Jurang Gupit” kalau tidak didukung oleh teman-teman majalah “Tempo” dan Yayasan Pinang Sirih. Buku Pak Esmiet “Nalika Langite Obah”, dan “Timbreng” yang pernah mendapat hadiah “Rancage” barangkali tak mungkin bisa terbit tanpa kerjasama antara Pak Suripan (Alm) dan penerbitan Joyoboyo.
Sebuah catatan berharga yang patut diakui dan harus diteladani dari pengarang-pengarang senior generasi Pak Esmiet (alm), Bu Iesmaniasita, Tamsir As (Alm), dan Suparto Brata, adalah semangat mereka dalam meperjuangkan sastra Jawa. Saya tahu betul betapa "“gething” dan “sengit”-nya Pak Esmiet pada Pak Suparto Brata. Betapa berbedanya cara pandang mereka dalam hal pengembangan sastra Jawa. Tetapi keduanya tetap solid di dalam menjaga staminanya untuk berkarya. Tidak sekedar “ngomong doang”, keduanya tetap jago dalam karya-karyanya. Mereka juga telah berupaya keras untuk eksis dan mengubah pandangan pengarang-pengarang sastra Jawa. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kebiasaan yang ada dari beberapa pengarang masih berkutat ke soal itu-itu saja, yaitu: setelah selesai mengarang dan dimuat di majalah, seolah kerja sudah selesai.
Mengaca dari pengalaman-pengalaman pengarang-pengarang terdahulu yang kesulitan menerbitkan buku-buku karyanya, akhirnya saya memutuskan:
Pertama, sebagai pengarang saya harus menerbitkan buku, walaupun dengan usaha dan cara sendiri. Ini bukan tanpa resiko. Kesulitan modal, kesulitan mencari penerbit, kesulitan menjual, barangkali menjadi resiko sebagai sumbangsih untuk pengembangan sastra Jawa. Saya katakan “sumbangsih”, karena sebenarnya dalam membuat buku ini, tujuan semula adalah sebagai dokumentasi pribadi, syukur alhamdulillah bila bisa ikut meramaikan perbukuan sastra Jawa. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa dokumentasi karya-karya bagi pengarang sastra Jawa, rata-rata amburadul. Lewat buku, selain berfungsi sebagai dokumentasi karya, kita bisa mengajak dialog dengan komunitas di luar sastra Jawa, baik di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua, mencoba dengan menggunakan cara sendiri untuk memperkuat apresiasi dengan memperluas kantong-kantong sastra Jawa, mendekatkan sastra Jawa ke sekolah-sekolah. Dari pengalaman yang saya jumpai, kita salah apabila mengatakan anak muda sekarang tak peduli dengan bahasa dan sastra Jawa.
Tentang pengembangan sastra Jawa ke depan, rasanya saya masih percaya pepatah lama tak akan berhenti “ndhedher winih budi jawi”, kita lebih baik memperkuat akar tempat kita berpijak daripada bisa meraih bintang dilangit tapi kehilangan akar. Pengembangan bahasa dan sastra Jawa bukan hanya pada pundak para sastrawan Jawa, pendidik, para pambiwara, pemerintah dan lain-lainya, tetapi semua tanpa terkecuali tetap berpulang kepada masyarakat Jawa sendiri.
Widodo Basuki
Surabaya, 2006
(Tulisan ini sebagai pengantar diskusi seribu hari “Mengenang Pengarang Esmiet” di Banyuwangi tahun 2006)
Mengaca Dari “Antologi Sajak-Sajak Jawi” sampai “Mantra Katresnan”
saben munggah saonjotan
napas sasuwek gumanti angka
saben angka tumiba
layap-luyup godhong kumleyang
tundhone bali dadi
pitakon ing ndhisik mula:
apa?
Puncaking Arjuna, 2003
(kapethik saka “Medhitasi Alang-Alang”)
Dalam sebuah perjalanan dari Denpasar –Ubud (saat penerimaan hadiah Rancage) tahun 1999, pelopor penulis geguritan, ST. Iesmaniasita (Alm), mengaku merasa punya hutang pada teman-teman sastra Jawa yang pada waktu itu dimintai geguritan untuk “Antologi Sajak-Sajak Jawi” yang akhirnya benar-benar bisa diterbitkan dalam bentuk sederhanan tanpa sepengetahuan Bu Iesmaniasita tahun 1975. Menurut pengakuannya, dalam suratnya pada teman-teman pada waktu itu akan dikirimkan honorariumnya jika sudah diterbitkan. Buku itu memang telah disetujui Gunung Agung untuk diterbitkan dan sudah di setujui H.B Jassin. Ternyata setelah lama sekali tak ada kabar beritanya, naskah itu diambil Trim Sutejo, kemudian diberikan N. Sakdani. Setelah lam sekali tak tahu rimbanya tiba-tiba belakangan diketahui telah diterbitkan dalam bentuk sederhana atas pembiayaan Humardani (Alm).
Ilustrasi di atas barangkali hanya sebagai sebuah gambaran betapa penerbitan sastra Jawa sejak dulu sampai sekarang menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pengarang-pengarang sastra yang sampai akhir hayatnya tak punya antologi, termasuk Mas Poer Adhi Prawoto (alm) yang pernah dijuluki “Raja penyair sastra Jawa” tak punya buku antologi pribadi yang cukup memadai sampai akhir hayatnya, padahal tulisan-tulisan kritiknya tentang sastra Jawa dalam bahasa Indonesia cukup banyak diterbitkan. Demikian pula Mas Nursahid P (Alm), dia menerbitkan Antologi “Mantra Katresnan” yang banyak salah ketiknya itu atas prakarsa dan dukungan teman-teman.
Dalam soal buku juga, barangkali pengarang cerkak dari Bojonegoro, Jajus Pete, yang setelah dapat hadiah Rancage jarang nulis cerkak lagi, sampai sekarang belum mempunyai buku kumpulan cerkak “Kreteg Emas Jurang Gupit” kalau tidak didukung oleh teman-teman majalah “Tempo” dan Yayasan Pinang Sirih. Buku Pak Esmiet “Nalika Langite Obah”, dan “Timbreng” yang pernah mendapat hadiah “Rancage” barangkali tak mungkin bisa terbit tanpa kerjasama antara Pak Suripan (Alm) dan penerbitan Joyoboyo.
Sebuah catatan berharga yang patut diakui dan harus diteladani dari pengarang-pengarang senior generasi Pak Esmiet (alm), Bu Iesmaniasita, Tamsir As (Alm), dan Suparto Brata, adalah semangat mereka dalam meperjuangkan sastra Jawa. Saya tahu betul betapa "“gething” dan “sengit”-nya Pak Esmiet pada Pak Suparto Brata. Betapa berbedanya cara pandang mereka dalam hal pengembangan sastra Jawa. Tetapi keduanya tetap solid di dalam menjaga staminanya untuk berkarya. Tidak sekedar “ngomong doang”, keduanya tetap jago dalam karya-karyanya. Mereka juga telah berupaya keras untuk eksis dan mengubah pandangan pengarang-pengarang sastra Jawa. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kebiasaan yang ada dari beberapa pengarang masih berkutat ke soal itu-itu saja, yaitu: setelah selesai mengarang dan dimuat di majalah, seolah kerja sudah selesai.
Mengaca dari pengalaman-pengalaman pengarang-pengarang terdahulu yang kesulitan menerbitkan buku-buku karyanya, akhirnya saya memutuskan:
Pertama, sebagai pengarang saya harus menerbitkan buku, walaupun dengan usaha dan cara sendiri. Ini bukan tanpa resiko. Kesulitan modal, kesulitan mencari penerbit, kesulitan menjual, barangkali menjadi resiko sebagai sumbangsih untuk pengembangan sastra Jawa. Saya katakan “sumbangsih”, karena sebenarnya dalam membuat buku ini, tujuan semula adalah sebagai dokumentasi pribadi, syukur alhamdulillah bila bisa ikut meramaikan perbukuan sastra Jawa. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa dokumentasi karya-karya bagi pengarang sastra Jawa, rata-rata amburadul. Lewat buku, selain berfungsi sebagai dokumentasi karya, kita bisa mengajak dialog dengan komunitas di luar sastra Jawa, baik di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua, mencoba dengan menggunakan cara sendiri untuk memperkuat apresiasi dengan memperluas kantong-kantong sastra Jawa, mendekatkan sastra Jawa ke sekolah-sekolah. Dari pengalaman yang saya jumpai, kita salah apabila mengatakan anak muda sekarang tak peduli dengan bahasa dan sastra Jawa.
Tentang pengembangan sastra Jawa ke depan, rasanya saya masih percaya pepatah lama tak akan berhenti “ndhedher winih budi jawi”, kita lebih baik memperkuat akar tempat kita berpijak daripada bisa meraih bintang dilangit tapi kehilangan akar. Pengembangan bahasa dan sastra Jawa bukan hanya pada pundak para sastrawan Jawa, pendidik, para pambiwara, pemerintah dan lain-lainya, tetapi semua tanpa terkecuali tetap berpulang kepada masyarakat Jawa sendiri.
Widodo Basuki
Surabaya, 2006
(Tulisan ini sebagai pengantar diskusi seribu hari “Mengenang Pengarang Esmiet” di Banyuwangi tahun 2006)
Langganan:
Postingan (Atom)