Selasa, 27 Januari 2009

MELUPAKAN LUDRUK DI HUT SURABAYA

Oleh: WIDODO BASUKI
Pemerhati Budaya, Penyair Sastra Jawa

Jika ingin melihat kharakter orang Surabaya yang tegas, pemberani dan “blak-blakan” bercerminlah pada Cak Durasim atau Ki Gondo Durasim. Keberanian bukan harus ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis: merusak, bakar-bakar, dan menggunakan tindakan keji yang lain. Tetapi sebagai aktor panggung, Cak Durasim lebih cerdas dan elegan. Dia tahu melalui seni dia mampu menguasai ruang sunyi yang bisa membuka kesadaran penonton, yaitu: melalui “kidungan”. Dan kenyataannya memang demikian, kekuatan “kidungan” melebihi kekuatan moncong-moncong senjata.
Maka ketika kidungan “Pegupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Begupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara) dia tembangkan, seketika merahlah telinga serdadu – serdadu Jepang yang disebut kenpetei itu. Mereka menyadari ini merupakan musuh yang sulit dibendung. Jika kidungan ditembangkan dalam pertunjukan ludruk digedung GNI waktu itu, yang keluar bukan hanya sebagai tontonan penghibur belaka, tetapi justru akan menjelma sebagai “media penyadaran” atas ketidakadilan yang ditimpakan pada rakyat yang terjajah, sekaligus menghipnotis mereka untuk mengadakan “perlawanan”. Maka “sang pengidung”, Ki Gondo Durasim, harus ditangkap, dilenyapkan. Tapi benarkah “kidungan”-nya mampu dilenyapkan seperti raga pengidungnya?
Dalam buku “Folklor Indonesia” tulisan James Danandjaja (Pustaka Grafiti, Jakarta, 1994) disebutkan bahwa tradisi lisan seperti kidungan ini adalah termasuk salah satu jenis folklor. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Disebutkan James yang mengutip pendapat Betty Wang, karena sadar akan adanya salah satu fungsi itu, yakni sebagai protes sosial, maka beberapa kaisar Tiongkok Kuno yang bijaksana seperti kaisar Yui dari dinasti Hsia dan kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, mempunyai staf khusus yang tugasnya mengumpulkan nyanyian rakyat yang dinyanyikan penyanyi rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Koleksi mereka itu kemudian diklasifikasikan, dan diarsipkan setelah dipelajari isinya. Dari isi nyanyian rakyat ini kemudian kaisar mengetahui pendapat rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintahannya. Jadi para kaisar yang bijaksana di Tiongkok Kuno mengumpulkan folklor untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam konteks sekarang ini, dalam rangka pelestarian kesenian Ludruk, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya meletakkannya ludruk dengan seluruh atribut kidungannya sebagai “media dialogis”, juga tempat untuk berkaca untuk koreksi diri, karena teks kidungan ini merupakan suara murni rakyat. Seharusnya suara ini dialirkan, karena suara murni rakyat itu tak terwadahi oleh wakil rakyat yang rata-rata sangat sibuk, lupa, dan banyak yang tak mampu lagi mendengar aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sayangnya, para seniman ludruk di Surabaya sendiri, rata-rata ketika sedikit saja mendapat kucuran dana, kidungannya sudah berubah “memuji-muji”, kidungannya yang biasanya keras tiba-tiba melunak penuh dengan pesan sponsor. Inilah yang menyebabkan “suara murni” itu lenyap. Akhirnya yang muncul hanya sebuah industri banyolan yang tak lucu. Lihat saja, acara “Kidungan Rek” di JTV, rata-rata yang tampil langsung memuji-muji stasiun TV yang berkenan menampilkan wajahnya itu. Karena dalam jiwa mereka, bisa tampil itu sudah patut disyukuri, sehingga inilah yang menybabkan kebanyakan pengidung melupakan fungsi kidungan sebagai folklor yang bisa menjadi kontrol sebuah kebijakan pemerintah yang disampaikan dengan sangat elegan.
Dalam kaitannya dengan pelestarian ludruk di Surabaya, sebenarnya harus dilihat ludruk bukan hanya sebagai teater rakyat belaka, tetapi lebih dari itu. Pelestarian ludruk sekaligus pelestarian salah satu jenis folklor berupa “kidungan” itu, folklor yang merekam suara spontanitas, emosional, kejujuran dari mereka yang tertindas atau terabaikan. Hanya saja pertanyaannya: beranikah apabila Pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba “kidungan” yang isinya melulu berupa kritik, mencaci maki, khusus terhadap kebijakan pemerintah kota Surabaya? Tentu kritik itu harus punya dasar, tidak asal bunyi, harus imbang, jangan hanya sisi negatifnya, tapi juga positifnya. Bagi yang dikritik, betapapun kerasnya, tak usah marah dan tersinggung. Pelaku seni ludruk dan pemerintah di sini berdiri sama-sama sebagai subyek. Ini dimaksudkan bukan hanya semata-mata sebagai lomba, tetapi merupakan salah satu cara untuk pelestarian ludruk dan membangun wacana berfikir lewat seni.
Terkait dengan pelestarian seni ludruk, rangkaian lomba-lomba dalam kegiatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 713 itu tak nampak. Dari tanggal 30 April dimulai dengan acara “Gebyar Arak-Arakan” yang berakhir tanggal 4 Juni dengan acara “Festival Perahu Tradisional “Ujung Galuh” ( Petekan –Monkasel), banyak sekali mata acara, mulai dari Konser Pulang Kampung, Gibol Vaganza, Festival Manten Pegon, Festival Rujak Uleg, Festival Campursari, Festival Makanan Khas, dan lain-lain. Hanya satu yang sedikit menyentuh ludruk, yaitu Festival Remo. Tetapi ini lebih banyak menyentuh tariannya, apabila dikaitkan dengan semangat “kidungan” Cak Durasim yang berani menyuarakan “suara kaum tertindas” itu, tentu masih sangat jauh sekali dari harapan.
Diakui atau tidak, saat ini yang mau nanggap kesenian ludruk lebih banyak di luar kota. Ludruk RRI Surabaya misalnya, menurut penuturan Hengki Kusuma, salah satu pemainnya, meskipun bermarkas di pusat kota, tetapi sebenarnya ludruk RRI Surabaya jarang sekali pentas di dalam kota. Hengki mengakui, masa-masa kejayaan ludruk dia jumpai sekitar tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ini bisa dilihat dari eksisnya ludruk Sari Murni (Jombang), Baru Budi (Surabaya) Trisula Darma-Kopasgat (Madiun), Sari Warni (Surabaya), Suzana (Surabaya) yang sering tampil di Kota Surabaya. Tempat-tempat semacam Lapangan Kalibokor dan Lapangan Pacarkeling sering dipakai untuk pentas ludruk tobongan. Ini juga diimbangi siaran-siaran acara ludruk di radio-radio juga masih semarak.
Jika sekarang di Surabaya tinggal ludruk Irama Budaya sebagai salah satu contoh kesenian rakyat ludruk yang bertahan manggung di tobong Pulo Wonokromo, pertanyaanya: sampai kapan mereka bertahan? Karena, secara jujur harus diakui: dengan mengandalkan pendapatan dari karcis penonton, sungguh sangat tidak memadai untuk menopang kehidupan para “awak’ ludruk.. Ini sama halnya dengan nasib grup kethoprak Siswobudoyo yang pentas di THR
Dibandingkan dengan ludruk yang ada di pinggiran Mojokerto, misalnya bisa dilihat grup ludruk Karya Budaya, Mojokerto, pimpinan Drs. Eko Susanto, lebih mending karena masih bisa pentas di pinggiran meliputi wilayah Gerbang Kertosusila – Malang – Pasuruan. Menurut pengakuan Supali, salah satu pemainnya, rata-rata satu tahun 150 kali pentas, yang paling ramai biasanya pada bulan Juli, Agustus, September, rata-rata penuh dengan nilai nilai per job antara 6 juta sampai 10 juta. Jadi bila mengharapkan ludruk masih hidup di wilayah Kota Surabaya tentu formatnya harus lain.
Salah satu format disamping penggalian kidungannya, pelestarian ludruk caranya harus mampu menangkap kekinian. Mungkin salah satu contoh pernah dicoba Bawong S. Nitiberi, dengan menggarap “Besutan” dengan lakon “Dodol Gombal” tahun 2002. Sayang, yang di lakukan Bawong itu tidak berlanjut.
Apapun alasannya, ludruk Surabaya juga menjadi salah satu semangat Surabaya, seni khas Surabaya. Lewat Cak Durasim, seni rakyat ini telah dirubah menjadi semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan. Selain dari Cak Durasim, tidak bisa dihindari jika ceritera rakyat semacam kisah perjuangan Sawunggaling, Sogol, Sarip Tambakoso, Branjangkawat, dan lain-lain sangat melekat dengan Surabaya. Tentu semua fihak tak akan membiarkan semangat itu mati sia-sia.
(Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos)

Tidak ada komentar: