Selasa, 27 Januari 2009

JIKA PATUNG DAN MONUMEN DI SURABAYA BISA BICARA

Oleh: Widodo Basuki,
Perupa dan Penyair Sastra Jawa,

Nama kota Surabaya yang kita dengar selama ini selalu dikaitkan dengan simbul pertarungan binatang “Suro” dan “Boyo”, yang secara wantah dapat kita asosiasikan sebagai simbul kota yang dinamis, bahkan bisa saja diterjemahkan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan atau sebagai ajang pertempuran. Dalam beberapa catatan kita mendapatkan gambaran masa lalu yang cukup menarik, betapa banyak peristiwa heroik terjadi di Surabaya.
Di antara pertempuran heroik pertama bisa dimulai dari pertempuran Raden Wijaya (pendiri Majapahit) saat mengusir tentara Tartar di pelabuhan Ujung Galuh, dengan pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa seperti Sura, Nambi, dan Ranggalawe. Walaupun sampai saat ini belum ada kajian yang mampu menunjuk pasti di mana letak Ujung Galuh itu, tetapi lebih mengesankan peristiwa itu terkait dengan wilayah Surabaya. Dalam tulisan Soenarto Timoer, “Mitos CURA-BHAYA” (Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya), Balai Pustaka, 1983, menunjuk lokasi Hujunggaluh lebih mendekati di kampung Galuhan, sekarang di Surabaya kota tengah, dekat Jalan Pawiyatan belakang penjara Bubutan. Pada jaman Hujunggaluh, daerah Tembok merupakan batas daratan dan laut, dan Galuhan tepat berada di garis pantai ujung timur yang dibatasi muara Kali Mas.
Peristiwa pertempuran hebat kedua di Kota Surabaya pada saat Sultan Agung tahun 1625 yang menyerang Surabaya dengan membawa 70.000 tentara. Karena tak mampu menaklukan Surabaya akhirnya mengambil siasat licik dengan cara membendung aliran Kali Mas yang menuju kota dan mencemarinya dengan bermacam-macam bangkai dan sampah-sampah lainnya. Takluklah Surabaya, karena nadi kota telah tercemar dan menyebabkan banyak penduduk kota mati karenanya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, kali di Surabaya adalah nadi kota yang seharusnya selalu dipelihara, baik oleh pemerintah kota maupun masyarakatnya.
Peristiwa terkait dengan Kota Surabaya yang lain yaitu pada jaman Pemberontakan Trunojoyo yang harus kalah taktik melawan pasukan Belanda dipimpin Speelman yang menggunakan kecerdikannya berhasil menyusup ke kota lewat Kali Girikan dan menggunakan taktik menguasai wilayah makam suci Ampel. Maka mati kutu-lah Trunojoyo, karena merasa tak mungkin bertempur di wilayah makam suci pemimpin agama yang sangat dihormati.
Peristiwa yang tak kalah heroik, yaitu peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang meninggalkan sebutan “Kota Pahlawan” karena keberanian “Arek-Arek Suroboyo” melawan Sekutu, dan peristriwa tragis tewasnya Brigadir Jendral Mallaby saat pertempuran di Surabaya bersama ribuanpahlawan tak dadi kenal lainnya.
Pencitraan semangat perjuangan di Surabaya itu sampai saat ini masih bisa dilacak dari segi seni rupa dalam bentuk patung-patung dan monumen yang bisa kita terjemahkan sebagai teks-teks. Dari selintas mengkaji teks dalam bentuk patung dan monumen di Surabaya, mungkin bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya saat ini Surabaya sedang krisis monumen yang “monumental”, dalam arti monumen yang sebenarnya yang mampu menggetarkan sebagai citra semangat “Arek Suroboyo” atau citra semangat “Kota Pahlawan” itu.
Dalam kenyataaan sehari-hari memang bisa dilihat, Surabaya konon punya patung “Suro dan Boyo”, punya Monumen Tugu Pahlawan, Patung Gubernur Suryo, Monumen Bambu Runcing, Monumen Jalesveva Jayamahe dan lain-lain. Kehadiran patung selain sebagai penghias kota sekaligus terkait dengan sejarah Surabaya. Dan memasuki kota Surabaya saat ini mungkin terpantul cerminan semangat “Arek Suroboyo” yang dulu terkenal itu, telah jauh memudar. Jakarta, mungkin masih menyisakan patung dan monumen yang lebih punya kesan monumental, karena didukung ruang disekitarnya.. Sebut saja Tugu Selamat Datang yang menyapa insan yang masuk Kota Jakarta, dan Tugu Monas yang masih tergarap dengan mempertimbangkan ruang (space) lingkup di sekitarnya.
Jika patung dan monumen bisa bicara, mungkin banyak yang bisa diceriterakan tentang kota Surabaya. Selain sebagai unsur keindahan kehadiran patung dan monumen tentu punya maksud mengingatkan sebuah peristiwa masa lalu yang patut di kenang terkait dengan kejadian yang ada di situ. Tapi bisa juda kebalikannya, karena tak tepan penempatannya. Kehadirannya justru jadi sampah sampah karena kurang pas tak ubahnya seperti kehadiran baliho iklan-iklan yang menguasai jalur hijau. Unsur estetika atau keindahan sangat perlu dipertimbangkan, diantaranya pertimbangan ruang (space), jarak pandang, tinggi rendah, bentuk dan lain-lain yang memberi keleluasaan penikmat yang melihatnya sehingga kehadiran patung atau monumen tak kehilangan monumentalitasnya. Bisa menyentuh dan memberi rasa “greng” (istilah Jawa) yang melukiskan kewibawaan dalam sekejap, sekaligus mengantarkan ingatan ke peristiwa apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin dalam kapasitas ini, Monumen Tugu Pahlawan Surabaya walaupun telah direnovasi menghabiskan milyard-an rupiah, sebenarnya dalam wajah yang sekarang justru menjadi monumen yang tak monumental. Karena dengan menutupi bagian dasar monumen seperti sekarang, rasa “wibawa” itu sudah hilang sama sekali. Lebih tepatnya, sekarang disebut museum Tugu Pahlawan saja lengkap dengan atributnya dibanding dengan sebutan Monumen Tugu Pahlawan.
Jika patung-patung dan monumen di Surabaya bisa bicara, mungkin banyak cerita yang bisa disampaikan saat sekarang. Patung Gubernur Suryo (Depan Grahadi) yang berada di Jl. Pemuda mungkin sekarang lebih banyak berdialog dengan para pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasinya ke Gubernur di Gedung Grahadi. Atau mungkin Monumen Bambu Runcing (Jl Panglima Sudirman) lebih suka berdialog dengan “kupu-kupu malam” saat tengah malam tiba, dibanding menyiratkan keteguhan perjuangan “Arek Suroboyo’ melawan penjajah dengan modal senjata bambu runcing itu. Masih sama kesannya ketika patung empat pejuang (sebelah timur Terminal Joyoboyo) yang seolah lebih terkesan berbicara dan memberitahu kepada setiap orang lewat: betapa sibuknya Satuan Polisi Pamong Praja menggusur pedagang kaki lima (PKL) di selatan terminal Joyoboyo.
Surabaya sebagai kota Metropolis ke II dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa kini akan terus bergerak dinamis merespons peluang dan tuntutan globalisasi. Patung yang mungkin masih menarik dan mencitrakan semangat kota pelabuhan Surabaya, barangkali tinggal patung pria dengan semangat baja sedang mengangkat jangkar (patung di depan bekas Museum Mpu Tantular). Sedangkan yang sunyi senyap dan terus merenung, adalah sosok patung perwira di Monumen Jalesveva Jayamahe di barat Pelabuhan Ujung Surabaya-Madura, yang dengan tenang menatap samudera luas tak bertepi. Dalam kesunyiannya seolah bergumam sendirian : Benarkah kekayaan negeri yang melimpah-ruah di darat dan di samudera itu bangsa kita yang punya?

Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos

Tidak ada komentar: