Rabu, 25 Februari 2009

MENCARI KRITIKUS SASTRA JAWA “ SING WIS NJAWA”

MENCARI KRITIKUS SASTRA JAWA “ SING WIS NJAWA”

Dalam sebuah kesempatan, sebagai wartawan sekaligus penulis sastra Jawa, saya mewawancarai beberapa teman penulis/sastrawan Jawa (maaf, tidak saya sebutkan namanya) terkait dengan pendapat mereka pada Kongres Sastra Jawa (KSJ ) II di Semarang yang diadakan hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV juga di Semarang (30 Juni – 2 Juli 2006). Dari wawancara itu saya jadikan sebagai bahan untuk iku meramaikan Kongres yang terkait dengan bahasa dan sastra Jawa tersebut dengan menulis artikel.
Tulisan saya asli berjudul “Nada Sumbang Menyongsong KSJ II Semarang 2006”. Tulisan itu saya kirimkan ke Surabaya Post yang kemudian dimuat tanggal 9 April 2006. Sayangnya, judulnya dirubah. Entah, mungkin bagi redaktur Surabaya Post judul saya pada waktu itu dianggap “kurang menggigit” atau bagaimana, saya tidak tahu. Ternyata judul yang menurut saya sebelumnya lebih “halus” itu diganti dengan judul yang lumayan tafsirannya, yaitu: “Ndompleng Momen Besar KBJ”
Nduilahhhh!!! Ternyata sambutan dari tulisan yang saya di Surabaya Post (dengan judul baru ) itu sangat luar biasa. Karena orang yang selama itu menganggap dirinya sebagai “ sang pemikir/ konseptor” atas Kongres Sastra Jawa menjadi seolah-olah “bukan lagi kebakaran jenggot” lagi membaca tulisan saya, tapi sudah “kebakaran hutan” he..he..he…….
Lalu, saking nggak kuat menahan “kebrongotnya perasaan di dada” kemudian beliaunya menjawab dengan nada yang sangat keras. Tulisan tanggapannya bukan pada substansi tulisan yang saya harapkan “sebagai autokritik” terhadap sastrawan Jawa, tetapi justru lebih mengarah untuk “menusuk” diri saya sebagai pribadi, Widodo Basuki, sampai disebut-sebut posisi saya sebagai wartawan di media berbahasa Jawa, segala….heh..heh…heh…Judulnya, mbok..mbok, jian…sangat keras: ”Menyurigai Sastrawan Yang Tak Sakit Hati”…………..
Jauh saya merenung tentang peristiwa itu. Tiga tahun sudah saya menyimpan tulisan saya maupun kiriman e-mail tentang jawaban tulisan itu dalam komputer saya. Dengan nada yang “ngelus dada”, saya berkesimpulan: tidak mudah mencari kritikus sastra Jawa yang sudah “nJawa”. Padahal kalau sampeyan tahu, sebagai sastrawan sastra Jawa, saya pernah dibuat sebagai bahan ”lelucon” dalam “Pengadilan Sastra Jawa” (2001) oleh “sang konseptor/pemikir” itu. Pada waktu itu saya bersama Pak Harmono Kasiyun (mewakili para pemenang hadiah Rancage) di “blangkoni” terus diadili di depan “pengadilan Sastra Jawa” yang intinya membuat guyonan yang tidak lucu, dan menyangsikan “karya” penerima Rancage.
Jika sampeyan “Pemerhati sastra Jawa” dan kebetulan mendapati tulisan di blog saya ini, berikut ini saya lampirkan secara lengkap tulisan itu berikut jawabannya dari “sang konseptor/pemikir” sastra Jawa itu, dalam keadaan masih asli (belum diedit redaktur surat kabar).
Semoga bisa menjadi bahan untuk mengamati “gelegar Sastra Jawa”..
Selamat menikmati!


1. Tulisan saya yang asli:

NADA SUMBANG MENYONGSONG KSJ II SEMARANG 2006

Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang rencana akan di gelar di Semarang 30 Juni – 2 Juli 2006 yang hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di Semarang tanggal 5-10 Juli 2006 mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Catatan dari beberapa pendapat teman sastra Jawa ketika disodori sebuah pertanyaan: “Apa yang bisa diharapkan dari KSJ?” Ternyata jawabannya sangat beragam. Ada yang dengan nada sedikit kelakar menjawab, “Durung ana. Paling ngobyongi barisan sakit hati merga ora diundang KBJ” (Belum ada. Paling cuma mendukung barisan sakit hati karena tak diundang KBJ). Ada yang dengan nada keras, ”Bathi kanggone panitia ha..ha” (Untung bagi panitia ha ha..). Nada lain ada yang ingin menitipkan harapan besar bagi terbentuknya tim handal pemasar buku-buku sastra Jawa. Juga ada yang pengin reuni saja, juga masih ada yang masih menunggu, karena mereka berpendapat jangan-jangan kongres itu hanya untuk kepentingan beberapa orang yang mengatasnamakan sastra Jawa.
Barangkali itulah salah satu fenomena di sastra Jawa. Tetapi melihat kelahiran KSJ yang pertama di Solo tahun 2001, memang tidak bisa dipungkiri kalau pencetusan KSJ tersebut karena ketidakpuasan beberapa sastrawan yang tidak diundang di Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta pada waktu itu. Di satu sisi KSJ ini memang menarik untuk disimak sebagai ajang “kebangkitan” sastra Jawa, tetapi bila hanya masalah yang timbul itu karena ketidakpuasan selama ini atas penyelenggaraan Kongres Bahasa Jawa dianggap tidak memberikan porsi signifikan pada sastra/sastrawan Jawa, itu menjadi tidak menarik. Dalam arena Kongres Bahasa Jawa, yang dianggap menjadi pilar hidup matinya bahasa Jawa, bukan satu-satunya dari sastrawan Jawa. Tetapi para penutur, paguyuban, panata adicara, para dalang, para praktisi media, para pendidik, dan lain-lain.
Tetapi karena pada waktu itu terlanjur acara KSJ itu dianggap sebagai “tandingan”, menyebabkan panitia Kongres Bahasa Jawa III kelabakan dan akhirnya ikut merespon berat penyelenggaraan KSJ. Serta merta teman-teman sastra Jawa yang berkongres sastra itu kemudian diundang di acara KBJ. Sayangnya, kontribusi dan suara Daniel Tito, Keliek SW dan Bonari Nabonenar yang dianggap sebagai pemrakarsa KSJ Solo justru lenyap di KBJ.
Yang lebih menarik yaitu saat sastrawan Esmiet (Alm.) dari Banyuwangi yang pada waktu itu diminta sebagai pembicara bersanding dengan sinden Sunyahni. Esmiet bertutur bahwa “sastra Jawa” harus “di-ruwat” karena sejak jaman nenek moyang dulu terlanjur kena kutukan dari Empu Sedah.
.
Menghilangkan Dendang “Megatruh”

Melihat fenomena seperti di atas, banyak hal yang harus dicatat untuk kemajuan sastra Jawa. Jika penyelenggaraan KSJ II di Semarang memang benar diselenggarakan, agenda yang sangat perlu ditonjolkan, yaitu: koreksi diri. Karena meminjam istilah sastrawan Jawa asal Paron-Ngawi, Poerwadhie Admodihardjo (Alm.), menganggap: Bahasa dan sastra Jawa acapkali dijadikan bahan pokok sarasehan-sarasehan yang diselenggarakan di beberapa kota, baik di daerah Jawa Tengah, DIY, maupun di Jawa Timur, akan tetapi lagu-lagu yang senantiasa didendangkan dalam setiap sarasehan nyatanya juga hanya yang itu-itu saja, sebangsa Megatruh, Maskumambang, Dhandhanggula-Tlutur, Sinom-Logondhang dan Renyep, lagu-lagu sedih yang mengundang air mata supaya bercucuran tanpa membuat kedua belah pipi menjadi basah kuyup karenanya. Sebab-musabab ketimpangan jalan bahasa dan satra Jawa di setiap sarasehan dicari sampai “njlimet” dan dapat pula “diketemukan”, kesimpulan-kesimpulannya dibuat selengkap mungkin dan akhirnya keputusan-keputusannya diambil dan disusun rapi, rencana dan pedoman serta Juklaknya dalam rangka usaha “memperbaiki nasib bahasa dan sastra Jawa”. Akan tetapi sayang, sejarah membuktikan segala itu pada hakekatnya hanya merupakan “swara gumontang sing tanpa kumandhang” (suara bergemuruh yang tiada bergema) saja. Dan pendapat, bahkan ejekan yang mengatakan bahasa dan sastra Jawa lesu tetap saja terdengar di sana-sini.
Jika tema utama dari Kongres Bahasa Jawa IV lebih mengarah ke arah topik-topik pemberdayaan pembinaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis mengingat semakin tipisnya penggunaan bahasa bagi anak-anak muda. Lalu bagaimana dengan tema yang diangkat di Kongres Sastra Jawa II? Apakah hanya mengandalkan bola muntah dengan cara menempatkan waktu penyelenggaraan yang hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa IV? Jika ya, alangkah mundurnya sastra Jawa. Selama ini sastra Jawa masih dianggap sebagai “sastra magersaren” yang hidupnya nunut di majalah umum bahasa Jawa seperti Jayabaya, Panjebar Semangat ataupun Djoko Lodang. Kalau toh sekarang soal penyelenggaraan Kongres Sastra Jawa saja masih punya semangat “ndompleng moment yang besar” berarti tak ada bedanya dengan “semangat magersaren” selama ini.
Saya kira sastra Jawa akan lebih berwibawa bila waktu penyelenggaraan tidak sekedar mendopleng arus besar, sehingga bisa melepaskan kesan kalau event ini diselenggarakan oleh “barisan sakit hati”. Kalau boleh gagah-gagahan, lebih baik penyelenggaraannya dalam waktu dan tanggal yang bersamaan sekalian. Bukan “ngucireng” dengan mengambil untung dari segi “entertain”.
Sisi yang patut dicermati, rasanya sulit merumuskan sejauh mana KSJ ini memang benar-benar didukung oleh eksponen sastrawan Jawa, atau benar-benar didukung kepentingan murni yang punya harapan besar bagi pembelajaran dan kemajuan sastra Jawa. Kecenderungan problem di sastra Jawa sebenarnya harus “autokritik” pada sastrawannya sendiri, tentu salah satunya adalah menghilangkan semangat “nunut mukti” itu. Tak masalah sastra Jawa dibaca oleh sedikit orang.
Pangalaman yang telah berlangsung, saat acara “Pengadilan Sastra Jawa” di Surabaya yang bermodal semangat “ndompleng” pada acara penerimaan “Hadiah Rancage” tahun 2002 dengan menempatkan para “penerima Rancage” sebagai “terdakwa” tak banyak “kemaslahatannya”. Hasilnya yang tertinggal hanya rumusan betapa banyak borok-borok di sastra Jawa.
Jika benar ada, harapan besar dari KSJ mungkin kembali pada pribadi sastrawan Jawa sendiri, sejauh mana mereka mampu menghasilkan karya-karya dan buku-buku yang bermutu. Tentu harus didukung dengan semangat saling menghargai dan membudayakan dengan “kritik membangun” pada karya-karya teman sastrawan Jawa yang lain. Dan tentu saja ada atau tidak KSJ tetap akan terus berkarya dalam sastra Jawa.

Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemenang Rancage tahun 2000, tinggal di Sidoarjo.


2. Jawaban dari yang menyebut dirinya “sang pemikir/konseptor”.

Menyurigai Sastrawan Jawa yang Tak Sakit Hati


Tulisan Widodo Basuki berjudul Ndompleng Momen Besar KBJ (Surabaya Post, Minggu, 9 April 2006) diawali dengan pernyataan bernada ragu, bahwa Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang waktunya hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Kata ’mungkin’ menunjukkan keraguan penggurit yang pernah mendapat hadiah Rancage untuk buku kumpulan guritan-nya, Layang saka Paran itu. Keraguan itu diikuti pula oleh frase yang juga mengambang, ’’tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa.’’
Jika yang diinginkan hanya sekadar gaung, berita-berita mengenai KSJ II telah muncul di Suara Merdeka, Wawasan (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta), Surabaya Post, Kompas halaman Jatim, dan tampaknya satu-satunya media berbahasa Jawa yang merasa perlu memberitakannya, yakni Panjebar Semangat (Surabaya). Bagaimana halnya dengan Jaya Baya, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya dan salah seorang redakturnya adalah Widodo Basuki?
Pertemuan-pertemuan panitia, termasuk pertemuan para pendukung kongres modal nekad ini juga sudah lumayan sering diadakan: di Surabaya, Jogjakarta, Tulungagung, dan Semarang. Bahkan, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya telah mengagendakan acara seminar, pra-KSJ II melalui Forum Transit, bekerja sama dengan Taman Budaya dan Dewan Kesenian Jatim, 9 Mei 2006. Publikasi melalui world web wide juga sudah dilakukan, antara lain dapat diakses melalui: http//www.nabonenar.blogspot.com atau http://kongressastrajawa.blogspot.com.
Widodo tidak cukup bernyali untuk mengatakan: ’’Prekethek dengan KSJ II,’’ atau ’’KSJ II, nggak usahlah yauw!’’ Maka, yang dilakukannya hanyalah menghibur diri dengan gaya pinisepuh: nuturi atau memberi petunjuk bahwa sebaiknya KSJ II menjadi ajang introspeksi, termasuk berupaya agar para sastrawan Jawa berkarya dan menghasilkan buku bermutu. Berupaya menghasilkan karya bermutu adalah tugas para seniman, termasuk sastrawan, dan lebih khusus lagi: sastrawan Jawa. Tetapi Widodo masih merasa perlu menambahnya dengan: buku bermutu! Pemenang hadiah Rancage tahun 2000 itu tampaknya perlu diingatkan, sekali lagi, bahwa tugas seniman adalah mencipta. Urusan membuat buku, menjual atau memasarkan, itu adalah kewajiban pihak lain yang secara sukarela mengambilnya --misalnya dengan mendirikan penerbitan dan/atau membuat toko buku-- yang bukannya tidak boleh dirangkap oleh sastrawan atau pengarang. Sejarah Sastra Jawa, misalnya, mencatat nama Any Asmara yang memiliki penerbitan, termasuk untuk menyetak karya-karya beliau sendiri. Di Surabaya juga ada pengarang yang –walau tidak punya penerbitan— menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa-nya dengan biaya sendiri: Suparto Brata dan Trinil Setyowati, dan jangan lupa: Widodo Basuki. Lebih tepatnya, menerbitkan buku dan menjualnya itu adalah juga hak setiap orang termasuk pengarang, tetapi bukan kewajiban mereka.
Sebelum berintrospeksi, dalam kaitannya dengan perbukuan dalam Sastra Jawa Modern ini, ada sebuah pertanyaan menarik: Siapakah yang lebih bermutu, orang-orang yang dengan gigih berusaha agar tercipta iklim yang kondusif bagi munculnya karya-karya bermutu dan pada gilirannya terbangun tradisi penerbitan buku yang baik pula, ataukah orang yang secara individual memaksakan diri menerbitkan bukunya sendiri setiap tahun, walau buku-buku yang terbit itu tak lebih dari semacam album dangdut dimana buku terbaru adalah kumpulan sejumlah karya lama yang dibiarkan apa adanya atau di-pupuri sedemikian rupa dan ditambah beberapa karya saja yang benar-benar baru?
Saya lebih suka menilai bahwa menyelenggarakan seminar, sarasehan, atau bahkan Kongres Sastra Jawa --walau terpaksa harus ngalem diri sendiri— adalah berkarya juga. Kalau menuruti anjuran Widodo, tidak akan ada kritik dalam Sastra Jawa Modern. Sebab, kritik itu, pasti, menurut widodo: ’’hanya omong doang!’’ Widodo lupa bahwa ada manusia tipe pekerja dan tipe pemikir (konseptor). Masing-masing tipe itu tidak lebih mulia atau lebih hina daripada yang lain. Jika ada yang lebih buruk, ialah jika seseorang dari tipe tertentu secara terang-terangan mencerca pihak dari tipe lain semaunya sendiri. Tak lebih dan tak kurang, itulah yangt telah dilakukan seorang Widodo Basuki.
Berkaitan dengan tema KBJ IV, Widodo menulis, ’’Jika tema utama dari KBJ IV lebih mengarah ke pemberdayaan pem binaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis...’’ Saya menginginkan, misalnya, Panitia KBJ IV punya cukup keberanian untuk mengusung tema: ’’Memperkokoh Kedudukan Bahasa Jawa sebagai Warga Bahasa Dunia.’’ Ketika cakupan tema itu seolah hanya berat pada titik pendidikan, kita tahu bahwa di Jawa Tengah, misalnya, sudah keluar Surat Keputusan Gubernur yang memberi peluang yang sangat luas bagi mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah: dari TK hingga tingkat SMU. Artinya, khusus di wilayah pendidikan, dalam hal legalitas, kita sudah keluar dari salah satu persoalan besar: tersisihnya mata pelajaran bahasa Jawa. Pekerjaan besar yang ada di depan mata, berkaitan dengan wilayah pendidikan itu, kini, antara lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas para guru, meninjau ulang kurikulumnya, dan menyediakan sebanyak-banyaknya buku bacaan berbahasa Jawa yang tanpa rekomendasi KBJ pun bisa dilakukan asalkan ada kemauan.
Menanggapi komentar saya, Dr Ayu Sutarto mengatakan bahwa persoalan etnis kini memang cukup sensitif. Jika tema itu secara terang-terangan menyebut istilah memperkokoh bahasa Jawa atau sejenisnya, dikhawatirkan oleh Panitia KBJ akan mengundang penafsiran keliru pihak luar (Jawa) sebagai serta-merta akan memperlemah bahasa Indonesia. Alasan berikutnya, masih menurut Dr Ayu Sutarto, ialah bahwa ketika rumusan tema itu ditetapkan, anggota panitia dari unsur disiplin ilmu kependidikan memang lebih dominan dalam jumlah, dan dengan demikian menang suara. Alasan itu lebih bisa diterima daripada alasan Widodo.
Lagi, menurut Widodo, KSJ I maupun KSJ II adalah pekerjaan orang-orang sakit hati. Pertanyaan saya: jika memang ada yang merasa sakit hati, apa salahnya? Saya justru menyurigai sastrawan Jawa semacam Widodo yang tidak sedikit pun merasa sakit hati ketika dana milyaran rupiah digunakan untuk pesta andrawina, untuk menerbitkan kamus tebal, buku tatabahasa, direktori, dan tak serupiah pun digunakan untuk menerbitkan karya sastra Jawa! Pada tahun 2001 di arena KBJ III memang beredar buku kumpulan crita cekak,Pasewakan Jawi. Buku itu berisi sekian banyak crita cekak hasil menyomot begitu saja karya beberapa orang pengarang tanpa pemberitahuan, apalagi memberi royalti. Kenyataan itu cukup menyakitkan.
Kalau pun KSJ harus ndompleng apa yang disebut Widodo sebagai momen besar KBJ, apa salahnya pula, jika itu dipandang lebih menguntungkan bagi Sastra Jawa Modern, setidaknya menurut keyakinan mereka yang meyakininya?

Jika ada yang merasa dirugikan, termasuk membuat pihak-pihak tertentu gusar, boleh-boleh saja lho, mengadukannya kepada pihak berwajib, misalnya mencoba menjerat para penggagas dan pekerja KSJ dengan delik ’’perbuatan tidak menyenangkan’’! Lha, anehnya, kok yang tidak senang justru hanya seorang Widodo Basuki?
Menurut saya pula, KBJ bukan satu-satunya media untuk bersuara. Jika Widodo melihat saya dan kawan-kawan pekerja KSJ I bungkam di arena KBJ III, artikel saya yang dimuat Bernas pada hari terakhir KBJ III dan tulisan Suwardi Endraswara beberapa hari sebelumnya, misalnya, pastilah juga luput dibacanya.
Pada akhirnya, saya minta maaf kepada Surabaya Post, karena saya terpaksa menjelaskan hal remeh-temeh ini. Padahal, kavling yang tersedia ini tentu akan lebih bagus jika bisa dimanfaatkan untuk mengekspos wacana-wacana yang lebih ’’cerdas’’. Habis, gimana lagi, lha wong tudingan-tudingan Widodo juga tak kalah tak bermutunya sih!
(Bonari Nabonenar, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya).

Jagad “Jawa-Tionghoa” Dalam Sketsa Jansen Jasien

Pameran “Soerabaia di Oejoeng Doepa”:
Jagad “Jawa-Tionghoa” Dalam Sketsa Jansen Jasien

Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Wartawan Majalah Jaya Baya

Di dalam seni sastra, karya lukisan sketsa ibaratnya sebuah “geguritan” atau “puisi”, tidak hanya menggunakan bahasa yang berbuncah-buncah dan menggunakan pralambang yang mudah difahami, tetapi cukup menggunakan beberapa baris kata-kata yang “telanjang” untuk mewakili ekspresi penulisnya. Melalui garis dan spontanitas yang tinggi, pelukis sketsa telah menjelmakan daya tarik tersendiri. Inilah yang menyebabkan salah satu diantara alasan sketsa bisa ditempatkan pada bobot yang sama dengan lukisan yang menggunakan cat beraneka warna.
Pelukis kelahiran Gresik, Jansen Jasien, dari tanggal 17 Januari sampai dengan 26 Februari 2009 ini memamerkan karyanya di galeri seni House of Sampoerna, Surabaya. Pameran ini diberi judul “Soerabaia Dioejoeng Doepa” ( dibaca: Surabaya Diujung Dupa). Tema pameran sketsa ini bisa dimaknai selaras dengan keadaan kota Surabaya yang semakin bernafsu menjadi kota megapolisi dari kacamata yang kasat mata, tetapi sebenarnya semakin “sunyi” di dalam jiwa. Karena ketamakan terhadap kemajuan jaman menjadikan ketidakmampuan untuk memelihara bangunan-bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah yang bisa dilacak dan disimak oleh generasi penerus.
Melihat 40-an karya sketsa Jasien yang dipajang seperti hanyut dalam pusaran kerumitan yang jauh ke pusaran tiada henti dan tiada batas. Pelukisnya seolah mengajak mengeja kembali melalui kerumitan dan sesaknya kota, untuk menerawang jauh ke masa lalu melihat peta-peta kejayaan masa lalu yang telah lusuh dan compang-camping. Memang, tidaklah mudah untuk menikmati karya-karya sketsa, karena garis-garis spontan itu kadangkala hanya berupa tanda (kode), kadang juga hanya merupakan beberapa bagian yang tidak utuh, seperti menyiratkan sisa-sisa sebuah kejayaan yang tidak diperhatikan
Kehadiran garis-garis yang berupa huruf Jawa cukup mewakili kengerian pelukis walaupun tanpa harus mengerti makna tulisan Jawa tersebut. Barangkali ini menjadi salah satu daya tarik dan menggelitik penikmat sketsa Jasien. Karena dengan tulisan itu dia mengajak untuk tidak serta merta hanya melihat obyek yang di gambar, tetapi tulisan itu terasa mengusung keadaan dibalik itu yang harus direnungkan, yaitu “rasa kemanusiaan” di kota besar seperti Surabaya yang semakin diabaikan.
Bagi penikmat baik yang mengerti maupun tidak mampu membaca huruf Jawa akan tergelitik dan mencoba untuk mengeja, tetapi tidak akan mendapatkan makna apa-apa kecuali sebuah kesan “kekuatan” goresan huruf-huruf Jawa. Kenyataannya, huruf Jawa yang menurut pelukisnya itu merupakan sesanti-sesanti, puwakanti-purwakanti yang diambil dari khasanah kebudayaan Jawa itu sebenarnya memang tak perlu untuk usah diterjemakan. Tetapi harus diakui bahwa hadirnya garis yang dibuat dari hurf Jawa ini cukup memberi sentuhan tersendiri pada sketsa Jasien yang banyak didominasi obyek-obyek nuansa Tionghoa.
Contoh yang terasa sederhana tetapi terasa dalam seperti yang dijelaskan di atas, misalnya dalam sketsa berjudul “Sembahyang” (tinta di atas kertas 69 x 43,5 Cm), juga dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm). Dalam khasanah Jawa, kata “jer basuki mawa bea” berarti : segala sesuatu untuk kebaikan itu memerlukan biaya. Obyek yang diusung dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” cukup ramai, separo obyek dibagian bawah seperti menggambarkan keadaan bencana alam (lumpur Lapindo?), sementara obyek lainnya seperti mengesankan orang-orang berbondong-bondong dengan susah payah untuk mencari “perlindungan batin” dan ketenteraman menuju suasana religius karena ganasnya alam telah meporak-porandakan kengerian batinnya. Dalam sketsa ini seolah-olah menyiratkan pesan: kenapa manusia baru “ingat” setelah terjadi bencana alam? Mungkin juga mengusung pertanyaan: sebenarnya dimanakah “ketenteraman sejati” itu ada di jaman sekarang? Atau barangkali ini hanya “sesanti” sederhana, bahwa “bencana” yang menimpa merupakan sarana untuk menjadikan orang sadar akan kebesaran Tuhan.
Sketsa dengan judul “Soerabaia di Oedjoeng Doepa” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm) dengan obyek – obyek telapak tangan menggapai-gapai (meminta pertolongan?) dan tapak-tapak kaki yang pasrah dipusaran keadaan. Di tengahnya ada huruf-huruf Jawa yang membentuk garis memusat di tengah kanvas. Simbul-simbul garis memutar memusat iki juga bisa dilihat dalam sketsa dengan judul “Dewi Kwan Im Pousat” (tinta di atas, 54,5 x 80 Cm).
Melihat judulnya memang terasa berbau Tionghoa, Dewi Kwan Im, merupakan seorang dewi yang dipercaya sebagai dewi penebar “welas asih” atau kasih sayang sesama dalam kepercayaan di Tionghoa.. Hanya saja penggambaran Jansen Jasien justru di dukung oleh garis-garis huruf Jawa memusat mengelilingi wajah dewi penebar kasih sayang tersebut.

Jagad “Jawa- Tionghoa” Menjadi Satu

Entah disengaja karena tuntutan “tema pameran” yang dihubungkan dengan hari raya “Imlek” atau entah karena apa, kenyataan dari sketsa Jansen Jasien yang dipajang dalam pameran ini memang terasa lebih banyak yang bertema obyek-obyek yang berbau Tionghoa, contohnya berupa obyek kelenteng (tempat persebahyangan Tionghoa), lambang-lambang shio, pohon angpao, barongsai, Dewi Kwan Im, Imlek, dan simbul-simbul lainnya. Hanya saja dengan terampil pelukisnya menggabungkan dengan garis-garis yang sengaja dibuat dari huruf-huruf Jawa dan sebagian ada obyek-obyek wayang. Barangkali inilah menjadi salah satu ciri khas sketsa Jansen Jasien yang mesti dimaknai bahwa dalam karya seni tidak ada sekat-sekat yang berbeda antara kebudayaan etnis satu dengan yang lainnya. Sehingga ketika melihat sketsa ini kita diajak untuk menerawang jauh ratusan tahun yang lalu, berbagai suku, bangsa, telah hidup rukun membangun Surabaya. Ini bisa dilihat ana Kampung Pecinan, Kampung Arab, Belanda, Madura, Jawa dan lain-lain masih bisa terjalin harmonis ampai sekarang.
Di sisi lain, kelihatannya Jasien menyadari betapa perlunya untuk memperhatikan hal-hal yang bisa disebut “non fisik”, yang menjadi salah satu dasar membangun keharmonisan masa lalu itu disamping yang berupa peninggalan yang bersifat fisik. Jika tidak, ibaratnya seperti “nyala dupa” yang akan habis dalam sekejab. Dalam lukisan yang berjudul “Gerakan Moral”, ( tinta di atas kanvas 174 x 142 Cm) dengan sengaja Jasien Jansen memberi garis tegas di tengah kanvas dengan meletakkan kebudayaan tradisi yang hidup dimasyarakat dengan simbul wayang dan gunungan serta tulisan-tulisan Jawa yang rumit, tepat berada di atas bangunan-bangunan kota yang terasa menyesakkan dada.
Banyak suasana yang digambarkan dengan cara yang “kontradiktif” seperti ini. Pelukis seperti dengan sengaja menunjukkan bahwa membangun kota bukan hanya melulu yang fisik belaka, jika pada akhirnya hanya akan mengabaikan peninggalan-peninggalan masa lalu yang mempunyai nilai sejarah. Tetapi seharusnya membangun kota juga harus membangun nilai-nilai moral, kerukunan, kebanggaan milik bangsa sendiri, juga mengembangkan berbagai kebudayaan tradisi yang masih hidup di masyarakat.

*) Tulisan ini bisa diunduh melalui: widodobasuki.blogspot.com
Dalam edisi bahasa Jawa: bisa di baca di Majalah Jaya Baya edisi No. 25, Minggu IV, Februari 2009)