Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemerhati Budaya.
Seorang siswa di SD Rangkah ketika ditanya: Bagaimana kesan dia ketika harus berbahasa Jawa sehari dalam seminggu di sekolahnya? Jawabnya polos: “Seneng, Pak. Pola-e lucu!” (Senang Pak, soalnya lucu). Kesan lebih “lucu” yang lain bisa digambarkan saat salah seorang guru harus bercucuran keringat dingin ketika mendapat tugas sebagai pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga yang dialami kepala sekolah, dia ikut-ikutan sibuk harus menyiapkan teks pidato upacara bendera berbahasa Jawa, tanya sana tanya sini, ini untuk menghindari salah pengucapan saat pidato. Tentunya untuk menghindari agar tidak menjadi bahan “guyonan” yang tidak lucu. Kenapa bahasa Jawa, yang menjadi bahasa ibu sejal lahir, justru kini menjadi asing dan dihindari?
Ilustrasi di atas merupakan sebagian kecil dari kisah yang terjadi pada pelaksanaan program Java Day di Surabaya. Sejak digulirkannya Program Java Day (sehari berbahasa Jawa) oleh Pemerintah Kodya Surabaya melalui edaran Kepala Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya, Drs. Sahudi, M.Pd, yang dituangkan dalam Surat Dinas No.4-21.2/0123/436.5.6/2008, yang paling lemah adalah dalam hal pelaksanaan di lapangan. Adakah sangsi jika tidak melakukan program itu? Tentunya tidak akan terjadi seperti pelanggaran hukum. Karena yang diharapan dari program ini adalah membangun kesadaran budaya melalui pemakaian bahasa lokal/daerah. Dari program ini siswa diharapkan bisa mengambil nilai-nilai, “unggah-ungguh’ atau tata perilaku serta sikap moral positif yang diambil dari budaya sendiri. Sehingga “kelucuan-kelucuan” ketika menggunakan bahasa lokal merupakan hal positif sebagai konsekuensi terhadap reposisi budaya, belajar kembali dan menggali nilai budaya sendiri. Kita mungkin perlu meniru negara maju seperti Jepang, yang masih mengagungkan nilai-nilai budaya serta hal yang berbau tradisi.
Jauh sebelum ada program semacam ini, Christian Grossweller, yang berasal dari negara Swiss dan menjadi salah satu pemakalah (dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus) dalam Kongres Bahasa Jawa III Yogyakarta (2001), pernah mengatakan bahwa salah satu cara jitu dalam mengembangkan bahasa daerah, yang pertama adalah dari lingkungan keluarga, selanjutnya pada lingkungan pendidikan. Dia mengambil contoh salah satu bahasa etnik di Swiss yang pernah “punah” bisa hidup kembali dengan cara-cara kesadaran budaya seperti ini. Dia menambahkan, terkait dengan pembangunan di basis budaya, tentu tidak seperti membangun gedung yang bisa diprediksi sehari dua hari bisa jadi. Membangun budaya dan menanamkan kesadaran berbahasa seperti menanam sebiji benih pohon yang memerlukan wantu panjang untuk menjadi pohon yang rindang dan berbuah.
Sebuah realita yang menyangkut Program Java Day saat ini, sebagai kota metropolis, di Surabaya mempunyai penduduk dengan berbagai etnis, bukan melulu Jawa. Bahasa Jawa-nya pun juga terdiri bahasa Jawa “kulonan” dan “Surabaya-an”. Berbeda dengan Jawa Tengah atau Yogyakarta yang etnis Jawa dan pengguna bahasa Jawanya lebih besar (homogen). Bahasa “Jawa Surabaya-an” yang konon banyak digunakan di Surabaya juga belum punya patokan baku. Bahasa Surabaya-an merupakan Sub-dialek bahasa Jawa lan lebih dominan sebagai bahasa “tutur” atau “lisan”, bukan bahasa tulis. Maka tidak aneh jika pembelajaran bahasa Jawa di Surabaya masih kebingungan menggunakan format yang bagaimana. Anehnya, walaupun dengan penduduk yang bahasa Jawanya heterogen, tetapi di Surabaya berdiri kokoh dua penerbitan majalah berbahasa Jawa “Jayabaya” yang terbit tahun 1945 dan “Panjebar Semangat” terbit tahun 1933.
Dalam sarasehan bahasa Jawa menindaklanjuti surat edaran Sahudi, yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG), Gugus 031 –032, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari (9 dan 23 Februari 2008) itu, selain banyak guru yang merasa kebingunan bahasa Jawa apa yang digunakan, realita lain yang harus kita fahami yaitu bahasa Jawa dianggap sebagai pelajaran “sains anak kota”. Itulah sebabnya pelajaran bahasa Jawa dianggap lebih sulit dari pelajaran yang lain. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa Jawa yang masih mengajarkan hafalan anak-anak hewan (anak ayam: kuthuk), anak kebo gudel, anak sapi pedhet, anak cecak: sawiyah, dsb), dan juga nama-nama bunga (kembang duren: dlongop, kembang lombok: menik), dsb.
Diakui atau tidak, walaupun program Java Day lebih menekankan “keberanian komunikasi berbahasa Jawa”, tetapi mau tidak mau juga bersentuhan dengan mata pelajaran bahasa Jawa yang diajarkan di kelas. Terkait dengan pelajaran bahasa Jawa, menurut Dosen Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dra. Sri Sulistiani, M.Pd, Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD memang diakui lebih rumit ketimbang kurikulum bahasa Jawa untuk jenjang SMP. Tetapi menurutnya, yang paling penting dalam pembelajaran bahasa Jawa seharusnya lebih mengacu pada life skill, artinya, sejauh mana pembelajaran bahasa Jawa bisa berguna bagi siswa.
Butuh Referensi dan Tata Bahasa Baku
Kurangnya keberanian menggunakan bahasa Jawa ini ada yang beralasan karena takut dikatakan “kasar” dan malu ditertawakan. Ini diakui oleh salah seorang guru dalam diskusi di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah itu, ada salah seorang guru yang mengaku lahir di Surabaya, sejak kecil yang dikenal juga bahasa Surabaya-an, tetapi ketika disuruh menggunakan bahasa Jawa Surabaya-an, dia mengaku tidak “pe-de” (percaya diri). Kenapa?
Lagi-lagi kita butuh referensi dan rujukan untuk memperlancar dan lebih menambah percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Memang, kalau pengin yang lebih “afdol” sebelum digulirkan edaran Java Day seharusnya diadakan dulu kamus Surabaya-an, juga ada buku-buku bacaan bahasa Jawa. Tapi kalaupun toh belum ada sarana pendukung itu, sebenarnya bagi seorang guru semestinya tak akan kehabisan akal. Dalam hal kurikulum bahasa Jawa juga tak akan membebani guru, karena guru ibarat dalang yang harus luwes dalam menterjemahkan kurikulum sesuasi dengan lokalitas Surabaya (sesuai KTSP). Soal kelengkapan sarana pendukung itu bisa di lakukan sambil jalan. Yang lebih realistis sekarang adalah bagaimana para guru dan pelajar di Surabaya menjadi percaya diri untuk berbicara bahasa Jawa dalam Java Day.
Jika butuh referensi, kita bisa mengambil pendukung yang lain. Dalam masyarakat Jawa subkultur Surabaya-an (yang tinggal di wilayah administratif Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Jombang ) dikenal adanya seni pertunjukan ludruk. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pagelaran ludruk inilah yang bisa dipakai untuk referensi. Menurut saya, bahasa ludruk ini bisa menjadi salah satu acuan jenis bahasa Jawa yang bisa digunakan di Surabaya.
Memang, ada beberapa guru tatkala sarasehan Kelompok Guru di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari itu, ada beberapa guru yang mengusulkan supaya tayangan “Pojok Kampung” JTV mengurangi bahasa-bahasa yang “vulgar”, dengan alasan bahasa-bahasa yang langsung dilihat dan didengar dari media TV inilah yang mudah diserap oleh anak-anak pelajar. “Bagaimana bila anak-anak Surabaya lebih mengenali bahasa Surabaya-an yang “vulgar” seperti itu?” begitu usulan salah seorang guru. Lagi-lagi problem di sini tersandung pada nilai rasa “kasar – halus” yang menjadi perdebatan berkepanjangan, apalagi ketika dihadapkan pada kepentingan proses pembelajaran siswa. Begitu juga persoalan kata “vulgar” dan “tidak vulgar” ini saja akan menjadi debat kusir dan tidak ana titik temu karena cara pandang yang berbeda..
Perlu Dukungan Pakar Bahasa Surabaya-an
Untuk yang akan datang, kesuksesan Java Day juga akan berimbas dan berdampak positif pada pelajaran bahasa Jawa di kelas. Tentunya terkait dengan buku dan pedoman tata tulis yang disepakati bersama. Sebagi bahasa “sub-dialek” Surabaya lebih banyak sebagai bahasa “lisan”, penulisannya juga banyak yang masih berdasarkan bahasa “lisan” yang diucapkan. Contoh penulisan yang agak berbeda, misalnya kata “mulih” yang berarti “pulang”: ditulis : mole’, moleh, atau muleh. Kata “putih” ditulis “ pote, puteh, poteh”. Kata “pitik” (ayam) ditulis “petek, pitek...” dan lain-lain. Selain itu memang ada yang rancu antara penggunaan huruf vokal “o” dengan “a”, “th” dengan “t” juga “dha” dengan “d”, dan lain-lain..
Persoalan-persoalan yang rumit seperti kasus di atas, akan mengiringi suksesnya program Java Day ke depan. Tentunya, apabila lebih serius akan memerlukan para pemikir-pemikir bahasa yang bisa mengkongkritkan masalah ejaan bahasa Surabaya-an, kamus Surabaya-an dan piranti-piranti lain yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa di Surabaya. Yang lebih kongkrit dalam waktu dekat, rasanya perlu menggalakkan lomba-lomba terkait dengan bahasa Jawa bagi siswa dan guru di Surabaya. Misalnya lomba menulis dan mendongeng ceritera rakyat Surabaya dengan bahasa Jawa, lomba kidungan, lomba ludruk anak-anak, lomba puisi (geguritan) dan lain-lain. Apalagi tahun ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional sesuai yang diambil sebagai tema Festival Seni Surabaya (FSS). Rasanya saat ini sangat tepat untuk dilakukan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Selasa, 27 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar