Pameran “Soerabaia di Oejoeng Doepa”:
Jagad “Jawa-Tionghoa” Dalam Sketsa Jansen Jasien
Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Wartawan Majalah Jaya Baya
Di dalam seni sastra, karya lukisan sketsa ibaratnya sebuah “geguritan” atau “puisi”, tidak hanya menggunakan bahasa yang berbuncah-buncah dan menggunakan pralambang yang mudah difahami, tetapi cukup menggunakan beberapa baris kata-kata yang “telanjang” untuk mewakili ekspresi penulisnya. Melalui garis dan spontanitas yang tinggi, pelukis sketsa telah menjelmakan daya tarik tersendiri. Inilah yang menyebabkan salah satu diantara alasan sketsa bisa ditempatkan pada bobot yang sama dengan lukisan yang menggunakan cat beraneka warna.
Pelukis kelahiran Gresik, Jansen Jasien, dari tanggal 17 Januari sampai dengan 26 Februari 2009 ini memamerkan karyanya di galeri seni House of Sampoerna, Surabaya. Pameran ini diberi judul “Soerabaia Dioejoeng Doepa” ( dibaca: Surabaya Diujung Dupa). Tema pameran sketsa ini bisa dimaknai selaras dengan keadaan kota Surabaya yang semakin bernafsu menjadi kota megapolisi dari kacamata yang kasat mata, tetapi sebenarnya semakin “sunyi” di dalam jiwa. Karena ketamakan terhadap kemajuan jaman menjadikan ketidakmampuan untuk memelihara bangunan-bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah yang bisa dilacak dan disimak oleh generasi penerus.
Melihat 40-an karya sketsa Jasien yang dipajang seperti hanyut dalam pusaran kerumitan yang jauh ke pusaran tiada henti dan tiada batas. Pelukisnya seolah mengajak mengeja kembali melalui kerumitan dan sesaknya kota, untuk menerawang jauh ke masa lalu melihat peta-peta kejayaan masa lalu yang telah lusuh dan compang-camping. Memang, tidaklah mudah untuk menikmati karya-karya sketsa, karena garis-garis spontan itu kadangkala hanya berupa tanda (kode), kadang juga hanya merupakan beberapa bagian yang tidak utuh, seperti menyiratkan sisa-sisa sebuah kejayaan yang tidak diperhatikan
Kehadiran garis-garis yang berupa huruf Jawa cukup mewakili kengerian pelukis walaupun tanpa harus mengerti makna tulisan Jawa tersebut. Barangkali ini menjadi salah satu daya tarik dan menggelitik penikmat sketsa Jasien. Karena dengan tulisan itu dia mengajak untuk tidak serta merta hanya melihat obyek yang di gambar, tetapi tulisan itu terasa mengusung keadaan dibalik itu yang harus direnungkan, yaitu “rasa kemanusiaan” di kota besar seperti Surabaya yang semakin diabaikan.
Bagi penikmat baik yang mengerti maupun tidak mampu membaca huruf Jawa akan tergelitik dan mencoba untuk mengeja, tetapi tidak akan mendapatkan makna apa-apa kecuali sebuah kesan “kekuatan” goresan huruf-huruf Jawa. Kenyataannya, huruf Jawa yang menurut pelukisnya itu merupakan sesanti-sesanti, puwakanti-purwakanti yang diambil dari khasanah kebudayaan Jawa itu sebenarnya memang tak perlu untuk usah diterjemakan. Tetapi harus diakui bahwa hadirnya garis yang dibuat dari hurf Jawa ini cukup memberi sentuhan tersendiri pada sketsa Jasien yang banyak didominasi obyek-obyek nuansa Tionghoa.
Contoh yang terasa sederhana tetapi terasa dalam seperti yang dijelaskan di atas, misalnya dalam sketsa berjudul “Sembahyang” (tinta di atas kertas 69 x 43,5 Cm), juga dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm). Dalam khasanah Jawa, kata “jer basuki mawa bea” berarti : segala sesuatu untuk kebaikan itu memerlukan biaya. Obyek yang diusung dalam sketsa “Ngusung Jer Basuki Mawa Bea” cukup ramai, separo obyek dibagian bawah seperti menggambarkan keadaan bencana alam (lumpur Lapindo?), sementara obyek lainnya seperti mengesankan orang-orang berbondong-bondong dengan susah payah untuk mencari “perlindungan batin” dan ketenteraman menuju suasana religius karena ganasnya alam telah meporak-porandakan kengerian batinnya. Dalam sketsa ini seolah-olah menyiratkan pesan: kenapa manusia baru “ingat” setelah terjadi bencana alam? Mungkin juga mengusung pertanyaan: sebenarnya dimanakah “ketenteraman sejati” itu ada di jaman sekarang? Atau barangkali ini hanya “sesanti” sederhana, bahwa “bencana” yang menimpa merupakan sarana untuk menjadikan orang sadar akan kebesaran Tuhan.
Sketsa dengan judul “Soerabaia di Oedjoeng Doepa” (tinta di atas kanvas, 190 x 142 Cm) dengan obyek – obyek telapak tangan menggapai-gapai (meminta pertolongan?) dan tapak-tapak kaki yang pasrah dipusaran keadaan. Di tengahnya ada huruf-huruf Jawa yang membentuk garis memusat di tengah kanvas. Simbul-simbul garis memutar memusat iki juga bisa dilihat dalam sketsa dengan judul “Dewi Kwan Im Pousat” (tinta di atas, 54,5 x 80 Cm).
Melihat judulnya memang terasa berbau Tionghoa, Dewi Kwan Im, merupakan seorang dewi yang dipercaya sebagai dewi penebar “welas asih” atau kasih sayang sesama dalam kepercayaan di Tionghoa.. Hanya saja penggambaran Jansen Jasien justru di dukung oleh garis-garis huruf Jawa memusat mengelilingi wajah dewi penebar kasih sayang tersebut.
Jagad “Jawa- Tionghoa” Menjadi Satu
Entah disengaja karena tuntutan “tema pameran” yang dihubungkan dengan hari raya “Imlek” atau entah karena apa, kenyataan dari sketsa Jansen Jasien yang dipajang dalam pameran ini memang terasa lebih banyak yang bertema obyek-obyek yang berbau Tionghoa, contohnya berupa obyek kelenteng (tempat persebahyangan Tionghoa), lambang-lambang shio, pohon angpao, barongsai, Dewi Kwan Im, Imlek, dan simbul-simbul lainnya. Hanya saja dengan terampil pelukisnya menggabungkan dengan garis-garis yang sengaja dibuat dari huruf-huruf Jawa dan sebagian ada obyek-obyek wayang. Barangkali inilah menjadi salah satu ciri khas sketsa Jansen Jasien yang mesti dimaknai bahwa dalam karya seni tidak ada sekat-sekat yang berbeda antara kebudayaan etnis satu dengan yang lainnya. Sehingga ketika melihat sketsa ini kita diajak untuk menerawang jauh ratusan tahun yang lalu, berbagai suku, bangsa, telah hidup rukun membangun Surabaya. Ini bisa dilihat ana Kampung Pecinan, Kampung Arab, Belanda, Madura, Jawa dan lain-lain masih bisa terjalin harmonis ampai sekarang.
Di sisi lain, kelihatannya Jasien menyadari betapa perlunya untuk memperhatikan hal-hal yang bisa disebut “non fisik”, yang menjadi salah satu dasar membangun keharmonisan masa lalu itu disamping yang berupa peninggalan yang bersifat fisik. Jika tidak, ibaratnya seperti “nyala dupa” yang akan habis dalam sekejab. Dalam lukisan yang berjudul “Gerakan Moral”, ( tinta di atas kanvas 174 x 142 Cm) dengan sengaja Jasien Jansen memberi garis tegas di tengah kanvas dengan meletakkan kebudayaan tradisi yang hidup dimasyarakat dengan simbul wayang dan gunungan serta tulisan-tulisan Jawa yang rumit, tepat berada di atas bangunan-bangunan kota yang terasa menyesakkan dada.
Banyak suasana yang digambarkan dengan cara yang “kontradiktif” seperti ini. Pelukis seperti dengan sengaja menunjukkan bahwa membangun kota bukan hanya melulu yang fisik belaka, jika pada akhirnya hanya akan mengabaikan peninggalan-peninggalan masa lalu yang mempunyai nilai sejarah. Tetapi seharusnya membangun kota juga harus membangun nilai-nilai moral, kerukunan, kebanggaan milik bangsa sendiri, juga mengembangkan berbagai kebudayaan tradisi yang masih hidup di masyarakat.
*) Tulisan ini bisa diunduh melalui: widodobasuki.blogspot.com
Dalam edisi bahasa Jawa: bisa di baca di Majalah Jaya Baya edisi No. 25, Minggu IV, Februari 2009)
Rabu, 25 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar