Selasa, 19 Mei 2009

REPOSISI NILAI-NILAI TATA KRAMA BAGI GENERASI MUDA

Oleh: Widodo Basuki

A. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri jika derasnya kemajuan informasi di jaman sekarang telah membuat gelombang perubahan yang begitu cepat tanpa bisa kita tolak. Perubahan yang begitu cepat ini tentunya banyak pengaruh yang positif, tetapi banyak juga konsekuensi lain yang membuat terkesima. Perubahan juga terjadi pada tata perilaku atau gaya hidup. Saat ini bukanlah sesuatu yang aneh ketika kita melihat seorang tukang becak atau tukang ojek dengan pendapatan pas-pasan, tetapi bergaya seperti selebritis dengan telepon genggam yang harganya mahal. Atau seorang remaja yang mengecat rambutnya menjadi warna warni. Melalui dunia maya, informasi begitu mudah diakses. Generasi kita bisa membuka data apa saja yang dia maui.
Tentang teknologi dan dampak kebudayaannya seperti yang kita rasakan saat ini, Mukhtar Lubis (dalam Mangunwijaya, 1985:7) pernah menulis bahwa salah satu dampak teknologi seperti ini:
Manusia seakan terhoyong-hoyong melangkah di sepanjang jalan yang dibuka oleh teknologi yang dikembangkan sendiri, tetapi jalan yang belum dikenalnya dengan baik segala liku-liku dan bahayanya. Manusia seakan tak memiliki perlengkapan kebudayaan yang diperlukan untuk menghindarkan teknologi yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif, dan juga seakan tak berdaya menghindarkan akibat-akibat sampingan teknologi yang tidak disadari sebelumnya. Kemajuan sains dan teknologi berlangsung begitu cepat. Perubahan sosial yang ditimbulkannya juga amat besar, dan karena temponya yang begitu tinggi, orang tidak diberi waktu yang cukup untuk penyesuaian yang diperlukan seperti mengubah sikap-sikap mental dan hidup, hubungan manusiawi dan masyarakat, struktur politik, ekonomi, dan sosial, dan juga hubungan antarbangsa.

Selain dampak positif sekaligus kita menerima dampak negatif. Konflik persaingan kepentingan, hubungan antar manusia, dan lain-lain bisa dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu fihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus menjadi kurban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumber daya fisik, waktu dan lain-lain). Konflik ini juga bisa bersumber pada masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dan lain-lain (Suranto, 2000: 21).
Keprihatinan datang dari sana sini. Dalam sebuah acara temu pelajar di Bali, tema “Pemahaman Tentang Wawasan Kebangsaan dalam Rangka Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, Menbudpar Jero Wacik, juga mempertanyakan:
Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa bangsa ini menjadi bangsa yang pemarah, pembenci, pendendam dan pendengki. Dimanakah perasaan santun dalam bertutur kata, dan dimanakah rasa sopan dalam bergaul? Apakah semua ini telah meninggalkan bangsa sehingga tidak ada lagi rasa aman dan nyaman di bumi pertiwi ini atau mungkin bangsa kita tak lagi berfikir positif? (Antara, 17/11 2008)

Apa yang dilontarkan Menbudpar ini seperti menegaskan terhadap persoalan besar yang dihadapi bangsa ini sebuah sebab akibat. Yang menjadi penyebab salah satunya adalah “ hilangnya perasaan santun dalam bertutur kata dan tiada lagi rasa sopan dalam bergaul”, dan itu akibatnya menjadi “ bangsa yang pemarah, pembenci, pendendam dan pendengki”.
Dengan menggaris bawahi apa yang ditegaskan Menbudpar di atas, berarti kita patut mempertanyakan kembali, penyebab hilangnya perasaan santun dalam bertutur kata itu salah satu faktor karena ketidakmampuan generasi kita menyerap nilai-nilai tata krama sebagai pedoman tingkah laku. Atau barangkali faktor lainnya, yang menjadikan kurang diserapnya nilai-nilai tatakrama itu bisa jadi karena kesalahan orang tua yang tidak mampu mentransfer dan menanamkan nilai-nilai itu kepada generasi kita, sehingga tak ada lagi filter untuk menangkis pengaruh-pengaruh negatif dari luar.
Sementara, jika mau kita berkaca pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat, kita patut berbangga karena mempunyai bangsa yang sangat kaya dengan budaya adiluhung. Dan falsafah atau ajaran moral masyarakat lokal dan etnis yang banyak tersebar dipelosok wilayah Nusantara dapat diambil dan diadopsi sebagai ajaran budi pekerti luhur yang bisa dipakai sebagai pedoman tingkah laku para generasai muda dalam bermasyarakat.

B. Faktor Lunturnya Bahasa Daerah
Membahas tata krama menyangkut aspek yang sangat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997 ) tata krama bermakna: adat sopan santun. Demikian juga dalam Kamus Pepak Basa Jawa (2001 ) tata krama berarti “unggah-ungguh gunem tuwin tindak tanduk” , ini sangat erat kaitannya dengan bahasa dan sikap berbahasa, salah satunya adalah penggunaan bahasa daerah. Terkikisnya nilai-nilai tata krama itu di tengah-tengah kita salah satunya ditandai dengan semakin berkurangnya pengguna bahasa daerah. Karena kemampuan berbahasa daerah bagi generasi muda sekarang sangat rendah, berarti semakin tidak akrab dengan bahasa daerahnya. Dan dengan tidak akrabnya dengan bahasa daerah tersebut, maka pemahaman mereka terhadap nilai-nilai kultural juga rendah. Sebagai salah satu contoh, karena tidak paham akan nilai-nilai tersebut, maka sangat sulit menghayati nilai-nilai semacam bagaimana seharusnya dalam tingkah laku, tidak tahu apa itu empan papan, tepa selira, andhap asor, atau mungkin wewaler yang seharusnya tidak di langgar.
Lunturnya tata krama dari berbahasa bisa dilihat dari semakin surutnya pemilihan kosa kata yang tak mencerminkan nilai rasa. Contohnya, yaitu: seorang anak tak mampu membedakan nilai rasa dari bahasa yang diucapkan. Banyak di antara anak kita yang tak mampu membedakan pemakaian kata “sirah” dan “endhas” yang keduanya sama-sama dalam bahasa Indonesia bermakna “kepala”. Bagi yang mengerti tata krama akan berbeda pemakaiannya, kalau kata “endhas” tentu dipakai untuk tingkatan yang sangat rendah, “endhas pitik” (kepala ayam). Kata itu tak mungkin digunakan untuk mengatakan “sirah” atau “mustaka” (sebutan kepala dalam krama inggil) untuk sebutan kepala orang. Demikian juga kata “adus” dan “siram’ yang berarti “mandi”. Contoh lain, seseorang tidak akan mengatakan dirinya pada orang lain sedang “dhahar” (makan, bhs. Ind.) bila dia tahu tata krama. Pasti dia akan mengatakan “kula nembe maem”, karena dia tahu dalam tata karma seharusnya dirinya tidak merasa di tingkat lebih tinggi (terhormat) dibanding lawan yang diajak bicara.
Ketidakmampuan menggunakan bahasa daerah dengan baik ini menjadi salah satu faktor penyebab nilai- nilai tata krama seperti ini sudah banyak yang ditinggalkan. Kalau benar-benar setiap individu pengguna bahasa yang bertata krama konskuen antara diucapkan dan dilakukan, tentunya akan berimplikasi pada tingkah laku dalam bermasyarakat. Ada rasa saling menghormati, mendahulukan kepentingan yang lain, dan tentunya akan lebih harmonis, karena tak ada lagi benturan kepentingan karena lebih menonjokan diri sendiri dibandingkan orang lain.
Banyak generasi kita sekarang yang merasa “kuno” berbahasa ibu dalam komunitasnya. Tetapi penyebab ketidakmampuan menggunakan bahasa daerah bagi generasi muda sebenarnya kalau ditelusuri memang bukan kesalahan anak muda jaman sekarang. Tetapi para orang tua yang semakin enggan menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga. Di samping karena semakin lemahnya posisi bahasa daerah menghadapi kondisi globalisasi. Keluarga muda Jawa yang pindah ke kota, dalam komunitas yang heterogen menjadi jarang sekali menggunakan bahasa ibunya. Sehingga penanaman nilai-nilai moral dari orang tua sangat jauh berkurang. Anak-anak kita lebih suka nonton TV atau bermain game, dibanding mendengarkan ceritera sebelum tidur yang seperti para orang tua terdahulu dengan menyelipkan, “liding dongeng mangkene…..” ). Selain dikarenakan para orang tua semakin tak punya waktu, juga karena sudah tak mampu lagi dan membiarkan anaknya mencari kesenangan sendiri. Bisa disimak kondisi itu seperti dalam guritan (puisi Jawa) karya Yunani, seperti dibawah ini:


WIS ORA ANA MANEH KANGGO KOWE
wis ora ana maneh kanggo kowe anakku
dongeng kancil apa uthak-uthak ugel nyengkelit kudhi bujel
bu guru repot penataran, sibu asring tindakan
wacanen dhewe ing kamar
komik bionic lan flash gordon
ing kono ha na ca ra ka asawang layon

wis ora ana maneh kanggo kowe anakku
nglangute pangkur palaran
ngrangine tembang dolanan
yen rembulan ndadari padhang njingglang
setelen video lan kaset obralan
marga wis ora keprungu jarate lan jamuran ing plataran
nini thowok kari bathok sumendhe tembok
neng kamar simbah muwun sesenggrukan
nangisi dina wuri kang ilang
o, putuku wis kabuncang angine jaman


C. Penanaman Tata Krama Melalui Penguatan Pelajaran Bahasa Daerah
Di samping karena semakin berkurangnya penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga maupun pada lingkungan pergaulan, pelajaran terkait dengan tata krama, unggah-ungguh dan budi pekerti selain dimasukkan ke pelajaran Agama dan PPKn (dulu Pendidikan Moral Pancasila) sebenarnya sangat erat sekali dengan pelajaran Bahasa Daerah. Yang masih menjadi masalah sekarang, apakah pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah itu sudah cukup memadai? Untuk Propinsi Jawa Timur, dengan SK Gubernur No.188/188/KPTS/013/2005 menetapkan mata pelajaran Bahasa Daerah sebagai mata pelajaran wajib untuk jenjang Pendidikan Dasar (SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB) negeri maupun swasta. SK Gubernur tersebut dilampiri dengan Kurikulum Bahasa Jawa untuk tingkat SD dan SMP. Namun pada tahun 2008 di beberapa wilayah sudah mengajarkan Bahasa Daerah sampai pada tingkat SMA, misalnya beberapa SMA di daerah Jombang dan Magetan. Di wilayah Surabaya pembelajaran Bahasa Daerah setingkat SMA dilakukan di SMA Trisila dan SMA Takmiriyah. Akan tetapi yang mengajar bukan seluruhnya lulusan jurusan Bahasa Daerah. Di beberapa daerah masih banyak guru-guru bahasa daerah yang bukan lulusan jurusan Bahasa Daerah, melainkan guru-guru ’cakupan” dari bidang studi lain yang dianggap kompeten. Di daerah Pacitan misalnya, dari jumlah 40 guru SMP Negeri, yang lulusan sarjana bahasa Jawa hanya 11 orang, sisanya merupakan guru biologi, guru olah raga, guru tari dan guru lain yang dianggap pintar sebagai MC Jawa (pranatacara).
Masalah tenaga pengajar ini juga dialami di tingkat Sekolah Dasar, pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal (mulok) hanya mendapat porsi 2 jam pelajaran per minggu, gurunya juga banyak yang “cakupan” tidak sesuai dengan bidangnya.
Upaya-upaya untuk meningkatkan pembelajaran bahasa daerah sebenarnya telah banyak dilakukan. Salah satunya dengan cara mengadakan seminar-seminar pembelajaran bahasa Jawa, juga mengadakan lomba-lomba terkait dengan budaya Jawa. Di samping itu pemerintah daerah juga banyak yang mulai peduli akan nasib bahasa daerahnya. Dalam waktu dekat Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan akan meluncurkan Program “Gerakan Sedinten Basa Jawi”. Program ini sama seperti yang digulirkan Pemerintah Kotamadya Surabaya berupa program Java Day (sehari berbahasa Jawa) yang dituangkan dalam Surat Dinas No.421.2/0123/436.5.6/2008. Dengan program ini sebenarnya cukup banyak yang berharap benar-benar bisa diwujudkan. Ini mengingat Surabaya merupakan kota besar dengan penduduk yang heterogen. Cuma masalahnya, apa hanya sekedar program saja, bagaimana program tersebut berjalan tanpa ada upaya-upaya lain yang mendukung? Karena kenyataannya, dari program itu yang paling lemah di dalam program ini adalah pada praktek pelaksanaan di lapangan. Program ini akan sekedar ’slogan program’ jika tidak ada ’sanksi’ yang diberikan atas pelanggaran kesepakatan tersebut.

D. Fungsi Kearifan Lokal Masih Penting
Mengajarkan nilai-nilai tata krama bukanlah sesuatu yang serta merta bisa merubah tatanan atau merubah moral seseorang menjadi baik. Karena agar nilai-nilai itu bisa diserap, di samping butuh waktu yang terus menerus, yang paling utama adalah butuh keteladanan. Seorang guru-guru sepuh (lulusan SPG/SGB) rata-rata gemblengan ilmu keguruannya cukup mumpuni. Di dalam membentuk siswa-siswanya berperilaku baik, mereka selalu menyelipkan ajaran-ajaran budi pekerti di setiap saat. Bukan hanya melalui pelajaran Bahasa Daerah saja, tetapi dalam jam-jam kosong sering menyelipkan ajaran-ajaran moral, budi pekerti, serta nilai-nilai kearifan lokal melalui tembang-tembang, misalnya seperti tembang Mijil :
Poma kaki padha dipun eling
Ing pitutur ingong
Sira uga satriya arane
Kudu anteng jadmika ing budi
Ruruh sarta wasis
Samubarangipun

Dedalane guna lawan sekti
Kudu andhap asor
Wani ngalah luhur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur

Tetapi untuk menanamkan nilai unggah-ungguh seperti yang dijelaskan di atas, dijaman sekarang memang harus diakui tidaklah mudah. Karena kondisi jaman sudah berbeda, anak muda di jaman sekarang lebih mengandalkan berfikir logis. Mendongeng di jaman sekarang pada anak-anak kita, harus rajin dan pandai menterjemahkan simbol-simbol yang perlu dimengerti sebagai pelengkap pemahaman mereka. Anak saya yang masih sekolah si kelas III SD begitu kritis ketika diceriterakan kisah Kleting Kuning dan saudara-saudaranya yang akan melamar Andhe-Andhe Lumut. Pada saat sampai ceritera Kleting Abang, Biru, Ungu, diseberangkan “Yuyu Kangkang” dia menyanggah: Bagaimana mungkin seekor kepiting bisa menyeberangkan manusia? Sejenak saya tercenung, lalu saya jawab: “Ndhuk, yang namanya Yuyu Kangkang itu hanya sebuah gambaran seorang “penggoda “ pada orang yang “gampangan” dan tidak punya keyakinan. Biasanya, orang yang kena goda itu merupakan orang yang berperilaku tidak sopan, yaitu yang duduknya suka “mekangkang”. Mendengar jawaban itu dia terdiam.
Persoalan-pesoalan kecil semacam ini menunjukkan bahwa banyak nilai-nilai kearifan lokal sebenarnya masih sangat penting, tetapi masih karena terbungkus oleh simbol-simbol yang sulit dicerna, sehingga menjadi semakin dijauhi oleh generasi muda. Jadi agar bisa dicerna dan dipahami perlu orang tua yang rela menjelaskan dan mengupas makna yang ada di dalamnya. Di dalam menjelaskanpun juga bukan seperti layaknya guru dan murid. Tidaklah mudah di jaman sekarang menjelaskan makna “Tembang Ilir-Ilir”, tetapi melalui seni pertunjukan yang bisa dikemas dengan bagus, tentunya masih bisa menjadi sajian menarik bagi generasi muda untuk meresapi maknanya.
Dalam cerita wayang, kita tahu banyak tokoh-tokoh yang dianggap tidak mampu berbahasa dengan baik. Werkudara atau Bima, dijelaskan Ki Dalang sebagai tokoh yang tak mampu bisa berbicara krama inggil sepanjang hidupnya, kecuali pada Dewa Ruci. Ada juga Wisanggeni, bocah setengah dewa anak Arjuna dengan bidadari Dresanala (anak Batara Brahma). ini merupakan tokoh anak muda yang terlihat “kurang mempunyai sopan santun” pada orang tua, tetapi kita tahu bahwa dia merupakan tokoh sakti, tiada tanding. Menurut hemat saya, tokoh-tokoh pewayangan di atas bisa jadi merupakan perumpamaan generasi sekarang. Untuk memasukkan nilai-nilai tata krama pada mereka perlu reposisi nilai-nilai itu bisa diterima sesuai pemikiran generasi muda sekarang.

E. Memasukkan Pembelajaran Tata Krama melalui Seni Budaya
Di jaman yang serba global ini televisi mempunyai peran penting menyublim pemirsa untuk berfikir “instan”, memberi iming-iming untuk bisa merubah nasib secara mendadak, terutama menjadi artis merupakan salah satu yang paling menjanjikan. Acara semacam Akademi Fantasi Indosiar (AFI), KDI, Indonesian Idol, ”Super Mak” AFI Yunior, Idola Cilik, dan lain-lain yang kadang melupakan proses bagaimana bisa menjadi seperti yang bisa dilihat di layar kaca itu. Hampir selama empat tahun ini saya dilibatkan sebagai pengamat/juri dalam Pentas Seni yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang selalu diselenggarakan di Taman Remaja. Yang saya catat, di antara berbagai penampilan seni yang paling banyak diikuti dari siswa tingkat TK sampai SMU (biasanya mulai jam 13.00 – jam 24.00) yang begitu favorit dan paling banyak peminatnya adalah “laga busana” atau “fashion show”, bagi anak-anak sekolah Taman Kanak-Kanak. Bukan persoalan bagus tidaknya penampilan siswa-siswa yang masih duduk di sekolah paling rendah ini, tetapi antusiasme para pendukung yang rata-rata ibu-ibu. Saking “hebohnya” mendukung anak-anaknya yang tampil, sampai-sampai mereka merangseg ke depan tanpa peduli membelakangi dewan juri, kadang juga sambil berteriak memberi arahan dari jauh atau berjoget memberi contoh gerakan anak-anaknya yang sedang di atas panggung.
Pemandangan peminat “Laga busana” dengan dukungan luar biasa dari ibu-ibu ini sangat berbeda dengan penampilan “Tembang Dolanan” di tingkat siswa SD yang rata-rata sepi peminat. Paling banter dalam seleksi tingkat kecamatan hanya tiga peserta. Padahal jika diamati, banyak pesan-pesan moral yang disampaikan melalui tembang dolanan, baik melalui bahasa daerah yang dipergunakan maupun pesan-pesan moral yang diselipkan dalam pertunjukan tembang dolanan. Toh walaupun sedikit peminat, anak-anak terlihat sangat serius dan senang menyampaikan pesan-pesan dalam bahasa daerah pada para penonton. Pertanyaan saya setiap menjadi pengamat pentas “tembang dolanan” ini, kenapa kesenian sejenis ini tidak diperkuat untuk membentuk karakter anak dengan memasukkan nilai-nilai budi pekerti?
Perbandingan di atas hanya ingin memberi sebuah gambaran, bahwa muatan pengajaran nilai-nilai tata krama diera sekarang sebenarnya masih relevan. Selain dimasukkan dalam pembelajaran Bahasa Daerah juga bisa dimasukkan dengan penguatan kesadaran lokalitas melalui pelajaran kesenian. Saya sangat setuju bila di tiap-tiap sekolah dilengkapi seperangkat gamelan agar anak-anak bisa berolah seni. Olah seni di sini lebih mengarah ke dalam pengalaman “mengasah rasa” bukan tujuan untuk mencetak siswa semata-mata menjadi seorang seniman. Melalui seni, tembang-tembang dolanan yang mengandung nilai-nilai tata krama, unggah-ungguh, atau ajaran moral yang lain bisa dikemas kembali sesuai keadaan masa kini agar bisa diserap generasi muda tanpa paksaan.
Tetapi bisa tidaknya membangun moralitas melalui kesenian ini tentunya tergantung kebijakan pemerintah dan berpulang pada kita semua, apakah kita punya komitmen eksistensi lokalitas? Karena pada dasarnya penguatan nasionalitas seharusnya sekaligus penguatan lokalitas, bukan sebaliknya menjadi mengeliminir lokalitas.
Rasanya tidak ada ruginya menghargai kembali kekayaan seni tradisi lokal yang banyak berserakan. Saya masih ingat ketika pidato di pembukaan Festival Kesenian Mahasiswa Indonesia (FKMI) III di Kampus STKW (2004), Malik Fajar (Mendiknas waktu itu) secara ujur mengatakan: ”Terlalu lama bangsa ini hanya mengejar ekonomi sehingga dalam menghargai orang dilihat dari jabatannya, mobilnya, dan semua dari segi materi. Negeri iki seperti “suwung” , bukan hanya “kosong” tapi “hampa’ tiada rasa”. Apa jadinya jika bangsa tumbuh dan berkembang tanpa rasa. Akhirnya tidak menghargai martabat seseorang.

***
Daftar Pustaka

Agustinus Ngadiman, 2006, Sikap Generasi Muda Terhadap Bahasa Jawa dan Implikasinya Bagi Penguatan Bhineka Tunggal Ika, makalah Kongres Bahasa Jawa IV Semarang.

……..,Antara, 17 Nopember 2008, “Menbudpar Jerowacik Sosialisasikan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa.”

Hanif Suranto (Ed), 2000, Konflik Multikultur, Panduan Meliput Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan – The Asia Foundation, Jakarta.

Soenarjo, 2006, Mencari Jalan Untuk Bertahan (Tentang Wayang, Dalang dan Globalisasi), Kompyawisda, Jatim.

Y.B. Mangunwijaya (Ed), 1985,Teknologi dan Dampak Kebudayaan, Yayasan Obor- Jakarta.

Widodo Basuki, “Plus Minus Java Day”, artikel di Metropolis, Jawa Pos, 2008.

-------------------, “Menuju Surabaya Peduli Budaya”, artikel di Metropolis, Jawa Pos, 2007.







WIDODO BASUKI
Lahir di Trenggalek 18 Juli 1967 yang merupakan alumni Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Kesenian “Wilwatikta” Surabaya (STKWS) dan IKIP PGRI Adhibuana Surabaya (UNIPA) ini, lebih dikenal sebagai penyair sastra Jawa (penggurit) dan wartawan/redaktur majalah Jaya Baya.
Sebagai penggurit pernah membacakan guritan di TIM Jakarta atas undangan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1999. Bukunya “Layang Saka Paran” mendapat penghargaan Sastra Rancage tahun 2000. Mendapat Juara I Naskah Guritan, Depdikbud Jawa Timur, 1996, juga Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional yang diadakan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) 2002.
Pernah menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Periode 1998-2003. Di tahun 2004 dia mendapat Penghargaan Seniman Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur, kemudian dipercaya masuk Tim Penghargaan Seniman Jawa Timur (2005 – 2008).
Di bidang jurnalistik pernah mendapatkan Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi Jawa Timur tahun 1993, juga Juara I Jurnalistik Pariwisata Departemen Pariwisata Propinsi Jawa Timur tahun 2008. Disamping sebagai penulis lepas bidang budaya juga sering dipercaya sebagai pengamat diberbagai lomba.


(makalah ini pernah disampaikan dalam "Dialog Budaya Daerah Jawa Timur" yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata - Balai pelestarian Sejaran dan Nilai Tradisional Yogyakarta di Penginapan Remaja Surabaya 11-12 Mei 2009)

Tidak ada komentar: