Oleh: Widodo Basuki
“Senyampang orang Jawa masih ada, bahasa Jawa tak akan mati..”begitu kata Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo suatu ketika. Kata-kata itu selalu diucapkan menyangkut nasib bahasa dan sastra Jawa yang pernah diramalkan banyak orang akan mati. Tetapi apabila kata-kata itu dihadapkan pada Suripan, dia selalu optimis untuk menepis bahwa ramalan itu tidak benar, karena pengarang-pengarang muda satra Jawa akan terus bermunculan.
Tak ada yang menyangka kalau pertemuan saya dan beberapa teman sastrawan tanggal 4 Februari 2001 di rumah Prof Suripan, Jl. Bendulmerisi Gang Besar Selatan 51B Surabaya merupakan pertemuan terakhir. Ahli folklor yang juga disebut-sebut sebagai “paus” sastra Jawa itu telah pergi untuk selamanya menyusul Poer Adhi Prawoto, pengarang sastra Jawa yang juga kelahiran Blora, meninggal dan dimakamkan di Blora.
Saat pertemuan itu Suripan masih kelihatan ceria. Apalagi pertemuan yang sedianya untuk membentuk kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang baru itu ternyata sekaligus merupakan acara ulang tahunnya yang ke 61 (5 Februari 1939 –5 Februari 2001). Semua berdoa untuk kesehatan beliau dan senantiasa agar Tuhan memberinya umur panjang agar terus mengawal sastra Jawa. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Empu dan dokumentator sastra Jawa itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan Surabaya, tanggal 23 Februari 2001.
Suripan bukanlah tokoh yang pelit dengan ilmu-ilmunya. Dia selalu dekat dengan pengarang-pengarang muda. Apalagi jika dikunjungi dirumahnya, bukan main gembiranya. Katanya dia merasa muda kembali seperti masa tahun 70-an. Maka tak heran jika didatangi akan terjadi dialog yang gayeng (menarik) tak ada batasan umur dengan pengarang pemula sekalipun. Suripan selalu menjadi “suhu” sekaligus “empu” yang menempa penulis-penulis muda.
Walaupun secara formal saya tak pernah menjadi mahasiswanya, tetapi saya begitu akrab, dan saya anggap sebagai guru. Jauh sebelum ketemu, dialog, saya sejak kelas 2 SD pernah membaca tulisan Prof Suripan di Majalah Jayabaya, karena orang tua saya merupakan pelanggan fanatis terhadap majalah berbahasa Jawa ini. Dan karena itu pulalah barangkali, walaupun saya meneruskan kuliah di jurusan Seni Rupa (STKW Surabaya), saya dengan enjoy menulis karya-karya dalam bahasa Jawa di media berbahasa Jawa. Barangkali nasib yang akhirnya membawa saya sebagai wartawan/redaktur di majalah Jayabaya, dan menjadikan perkenalanku dengan Prof Suripan semakin dekat.
Yang sangat terngiang dalam pikiranku adalah beberapa patah kata, yang tidak saya ketahui ternyata itu sebagai pesan terakhir dari beliau saat-saat terakhir beliau dipercaya sebagai juri hadiah Rancage.
Perhatian Suripan sebenarnya bukan hanya pada sastra Jawa. Pendiri jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa) di IKIP Surabaya (sekarang Universitan Negeri Surabaya) itu juga menulis kritik, cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia. Penyair Zawawi Imron pernah dalam suatu artikelnya pernah memberi julukan “Penyair Beras Kencur” karena dalam puisi-puisinya banyak memakai simbol-simbol daun kapulaga, beras kencur dan jenis empon-empon yang rerkat sekali dengan khasanah pedesaan Jawa.
Di tahun 70-an Suripan mengasuh rubrik Balada di edisi Minggu Harian Umum Bhirawa (terbitan Surabaya). Suripan banyak mengulas karya pengarang-pengarang Jawa Timur bahkan karya-karya penyair Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi (almarhum) masih disimpan dirumahnya, termasuk karya dari dosen Fisip Unair, Aribowo, yang sekarang sudah menjadi pengamat politik.
Sebagai penggurit (penyair Jawa) yang kebetulan bekerja di media berbahasa Jawa, setiap ketemu saya Suripan selalu menanyakan pengarang-pengarang baru yang tulisannya dimuat di majalah tempat saya bekerja, sekaligus alamat dan jenis kelaminnya. Ini dapat dimaklumi, banyak pengarang-pengarang sastra Jawa yang menggunakan nama samaran, walaupun toh Suripan pun juga tahu karakter tulisan siapa.
Sejak tahun 1994 Suripan dipercaya oleh Yayasan “Rancage” pimpinan Ajib Rosidi sebagai juri dalam memilih karya sastra Jawa yang layak mendapatkan hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa. Walaupun karya kumpulan guritan saya “Layang Saka Paran” juga pernah mendapat hadiah sastra Rancage tahun 2000, tetapi sebagai wartawan saya pernah bertanya pada dia, “Apakah pemilihan (untuk jasa sastra Jawa) yang sementara lebih banyak pengarang-pengarang asal Jawa Timur itu tidak membuat “iri” pengarang Jawa lain di luar Jawa Timur?”
“Barangkali, karena saya juga seorang pendidik…” jawabnya. Jawaban itu menunjukkan betapa Suripan tahu seperti apa kondisi sastra Jawa di tengah penutur bahasa Jawa yang konon 60.000.000 orang lebih itu. Sangat miskin penerbitan buku. Media penerbitan berbahasa Jawa pun sekarang tinggal tiga yang masih hidup (Jayabaya dan Panjebar Semangat yang terbit Surabaya, dan Djaka Lodang terbit di Yogyakarta) dengan nafas mengkis-mengkis (terengah-engah).
Sebagai pertanggungjawaban beliau sebagai salah seorang yang pernah dipercaya oleh Ayip Rosidi sebagai juri untuk para pemenang hadiah Sastra “Rancage” untuk Sastra Jawa, suatu hari Prof. Suripan pernah berkata, ”Suatu saat tintingan (ulasan) karya-karya pemenang Rancage untuk sastra Jawa akan saya bukukan. Ini sebagai pertanggungjawaban saya, bahwa pemilihan saya itu bukan main-main. Bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang."
Sayang, belum sampai gagasan penerbitan tintingan karya sastra Jawa itu pemenang Rancage itu terlaksana, tahun ini Prof. Dr. “kentrung” itu sudah tidak lagi dipercaya sebagai juri hadiah Rancage sastra Jawa, disamping Tuhan memang memanggilnya.
Setia Pada Blora
Menurut penuturan Sardi, kakak kandung Suripan (dituturkan saat takziah di rumah keluarga Suripan Jl. Bendulmrisi) , adiknya paling bungsu dari lima bersaudara itu oleh orang tuanya sejak umur 36 hari diikutkan pada Marto Ngadiman, seorang mantri penjara Blora. Baru setelah menginjak usia sekolah dia tahu orang tua sebenarnya adalah Paridin dan Sarminah, seorang petani di Ngawen Blora. Hal ini menyadarkan nya bahwa untuk meraih cita-citanya memang harus dicapainya dengan kerja keras.
Setelah tamat SMA Blora dia melanjutkan di FKIP Universitas Airlangga, Malang jurusan Bahasa Indonesia tamat tahun 1968. Setelah itu dia menjadi pengajar di IKIP Surabaya kemudian mendirikan jurusan Bahasa Daerah (Jawa). Di tahun 1972 – 1980 dia mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu sastra (filologi dan folklor humanis) di Universitas Leiden, Belanda atas bea siswa pemerintah Belanda. Hasil penelitian di Leiden, Belanda itu selanjutnya digunakan untuk studi Program Doktor ing Universitas Indonesia, sampai tahun 1987 berhasil meraih gelar doktor ilmu sastra dengan disertasi “Cerita Kentrung Sarah Wulan Tuban”. Hal ini yang menjadikan Suripan disebut sebagai “Doktor Kentrung”.
Dalam kaitannya dengan pendokumentasian kentrung ini Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Suharmono Kasiyun pernah punya pengalaman menarik. Setelah semalam merekam kentrung, dia membuka bawaaan kaset di terminal. Orang-orang mengira Suripan dan Suharmono penjual kaset dengan berteriak, “Bakul kaset-bakul kaset…!,” karena saking banyaknya kaset yang dibawa.
Buku-buku yang pernah ditulis Suripan diantaranya: Telaah Kesussasteraan Jawa Modern, Mutiara Tak Terlupakan, Pengantar Sastra Lisan, Merambah Matahari (Sastra Dalam Perbandingan) dan banyak sekali tulisan tulisan tentang tanah kelahirannya Blora yang dibukukan dalam buku “Tradisi Blora” yang dibiayai anggota dan pengurus Warga Blora (Pawara).
Kecintaan terhadap tanah Blora memang sangat luar biasa. Kali Lusi, tugu dipusat kota Blora, ilalang, burung-burung pipit berarak-arak, masa kecil dengan teman-temannya penggembala, masih sering menghiasi tulisan-tulisannya. Sebagai pakar, nama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dipasang sebagai pembantu khusus di media berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Sampai-sampai suatu saat untuk menyiasati agar namanya be da di dua majalah tersebut, setiap tulisannya di Majalah Jaya Baya memakai nama samaran “Cah Blora”.
Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo merupakan tokoh yang bertipe pekerja keras tetapi tetap bersahaja sampai akhir hayatnya. Yang masih saya ingat ketika tahun 1986, dia memakai pakaian safari datang naik sepeda motornya Yamaha 75 berwarna merah, kemudian nongkrong di beranda Dewan Kesenian Surabaya Jl. Pemuda Surabaya. Kebersahajaan itu ternyata tak berubah sampai dia menjadi guru besar. Saya ingat, saat Diskusi Sastra Daerah yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 24 Juni 1999, dia ikut istirahat bersama saya dan pengarang Sastra Jawa Djajus Pete, dan Poer Adhi Prawoto (Alm). Di penginapan, dia merasa lapar. Kemudian meminta saya untuk membelikan ketela goreng. Padahal acara diksusi sastra yang menampilkan beliau sebagai pembica bersama Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono kurang lima menit lagi.
Kini “Empu” sastra Jawa itu telah pergi. Sesuai pesanya dia minta dimakamkan di Blora. Saat-saat jenasah diantarkan ke pemakaman Gunung Wurung Blora, saya seperti masih tengiang-ngiang aku pernah membaca baris-baris guritannya yang ditulis tahun 1971.
blora…
wis kari alang-alang lan rerungkutan
rajah-rajeh ana tapak tanganku
wis kari samar-samar nyangkut pikiran
tugu wektu kang nunjem kuku
kariya basuki, mitraku
aku wis adoh lumaku ngoyak katresnanku
*)Tulisan ini ditulis sebagai kenangan terhadap Prof. Suripan Sadi Hutomo,salah satu tokoh yang pernah berjasa dalam mengembangkan sastra Jawa, meninggal tahun 2001.
Selasa, 27 Januari 2009
JIKA PATUNG DAN MONUMEN DI SURABAYA BISA BICARA
Oleh: Widodo Basuki,
Perupa dan Penyair Sastra Jawa,
Nama kota Surabaya yang kita dengar selama ini selalu dikaitkan dengan simbul pertarungan binatang “Suro” dan “Boyo”, yang secara wantah dapat kita asosiasikan sebagai simbul kota yang dinamis, bahkan bisa saja diterjemahkan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan atau sebagai ajang pertempuran. Dalam beberapa catatan kita mendapatkan gambaran masa lalu yang cukup menarik, betapa banyak peristiwa heroik terjadi di Surabaya.
Di antara pertempuran heroik pertama bisa dimulai dari pertempuran Raden Wijaya (pendiri Majapahit) saat mengusir tentara Tartar di pelabuhan Ujung Galuh, dengan pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa seperti Sura, Nambi, dan Ranggalawe. Walaupun sampai saat ini belum ada kajian yang mampu menunjuk pasti di mana letak Ujung Galuh itu, tetapi lebih mengesankan peristiwa itu terkait dengan wilayah Surabaya. Dalam tulisan Soenarto Timoer, “Mitos CURA-BHAYA” (Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya), Balai Pustaka, 1983, menunjuk lokasi Hujunggaluh lebih mendekati di kampung Galuhan, sekarang di Surabaya kota tengah, dekat Jalan Pawiyatan belakang penjara Bubutan. Pada jaman Hujunggaluh, daerah Tembok merupakan batas daratan dan laut, dan Galuhan tepat berada di garis pantai ujung timur yang dibatasi muara Kali Mas.
Peristiwa pertempuran hebat kedua di Kota Surabaya pada saat Sultan Agung tahun 1625 yang menyerang Surabaya dengan membawa 70.000 tentara. Karena tak mampu menaklukan Surabaya akhirnya mengambil siasat licik dengan cara membendung aliran Kali Mas yang menuju kota dan mencemarinya dengan bermacam-macam bangkai dan sampah-sampah lainnya. Takluklah Surabaya, karena nadi kota telah tercemar dan menyebabkan banyak penduduk kota mati karenanya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, kali di Surabaya adalah nadi kota yang seharusnya selalu dipelihara, baik oleh pemerintah kota maupun masyarakatnya.
Peristiwa terkait dengan Kota Surabaya yang lain yaitu pada jaman Pemberontakan Trunojoyo yang harus kalah taktik melawan pasukan Belanda dipimpin Speelman yang menggunakan kecerdikannya berhasil menyusup ke kota lewat Kali Girikan dan menggunakan taktik menguasai wilayah makam suci Ampel. Maka mati kutu-lah Trunojoyo, karena merasa tak mungkin bertempur di wilayah makam suci pemimpin agama yang sangat dihormati.
Peristiwa yang tak kalah heroik, yaitu peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang meninggalkan sebutan “Kota Pahlawan” karena keberanian “Arek-Arek Suroboyo” melawan Sekutu, dan peristriwa tragis tewasnya Brigadir Jendral Mallaby saat pertempuran di Surabaya bersama ribuanpahlawan tak dadi kenal lainnya.
Pencitraan semangat perjuangan di Surabaya itu sampai saat ini masih bisa dilacak dari segi seni rupa dalam bentuk patung-patung dan monumen yang bisa kita terjemahkan sebagai teks-teks. Dari selintas mengkaji teks dalam bentuk patung dan monumen di Surabaya, mungkin bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya saat ini Surabaya sedang krisis monumen yang “monumental”, dalam arti monumen yang sebenarnya yang mampu menggetarkan sebagai citra semangat “Arek Suroboyo” atau citra semangat “Kota Pahlawan” itu.
Dalam kenyataaan sehari-hari memang bisa dilihat, Surabaya konon punya patung “Suro dan Boyo”, punya Monumen Tugu Pahlawan, Patung Gubernur Suryo, Monumen Bambu Runcing, Monumen Jalesveva Jayamahe dan lain-lain. Kehadiran patung selain sebagai penghias kota sekaligus terkait dengan sejarah Surabaya. Dan memasuki kota Surabaya saat ini mungkin terpantul cerminan semangat “Arek Suroboyo” yang dulu terkenal itu, telah jauh memudar. Jakarta, mungkin masih menyisakan patung dan monumen yang lebih punya kesan monumental, karena didukung ruang disekitarnya.. Sebut saja Tugu Selamat Datang yang menyapa insan yang masuk Kota Jakarta, dan Tugu Monas yang masih tergarap dengan mempertimbangkan ruang (space) lingkup di sekitarnya.
Jika patung dan monumen bisa bicara, mungkin banyak yang bisa diceriterakan tentang kota Surabaya. Selain sebagai unsur keindahan kehadiran patung dan monumen tentu punya maksud mengingatkan sebuah peristiwa masa lalu yang patut di kenang terkait dengan kejadian yang ada di situ. Tapi bisa juda kebalikannya, karena tak tepan penempatannya. Kehadirannya justru jadi sampah sampah karena kurang pas tak ubahnya seperti kehadiran baliho iklan-iklan yang menguasai jalur hijau. Unsur estetika atau keindahan sangat perlu dipertimbangkan, diantaranya pertimbangan ruang (space), jarak pandang, tinggi rendah, bentuk dan lain-lain yang memberi keleluasaan penikmat yang melihatnya sehingga kehadiran patung atau monumen tak kehilangan monumentalitasnya. Bisa menyentuh dan memberi rasa “greng” (istilah Jawa) yang melukiskan kewibawaan dalam sekejap, sekaligus mengantarkan ingatan ke peristiwa apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin dalam kapasitas ini, Monumen Tugu Pahlawan Surabaya walaupun telah direnovasi menghabiskan milyard-an rupiah, sebenarnya dalam wajah yang sekarang justru menjadi monumen yang tak monumental. Karena dengan menutupi bagian dasar monumen seperti sekarang, rasa “wibawa” itu sudah hilang sama sekali. Lebih tepatnya, sekarang disebut museum Tugu Pahlawan saja lengkap dengan atributnya dibanding dengan sebutan Monumen Tugu Pahlawan.
Jika patung-patung dan monumen di Surabaya bisa bicara, mungkin banyak cerita yang bisa disampaikan saat sekarang. Patung Gubernur Suryo (Depan Grahadi) yang berada di Jl. Pemuda mungkin sekarang lebih banyak berdialog dengan para pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasinya ke Gubernur di Gedung Grahadi. Atau mungkin Monumen Bambu Runcing (Jl Panglima Sudirman) lebih suka berdialog dengan “kupu-kupu malam” saat tengah malam tiba, dibanding menyiratkan keteguhan perjuangan “Arek Suroboyo’ melawan penjajah dengan modal senjata bambu runcing itu. Masih sama kesannya ketika patung empat pejuang (sebelah timur Terminal Joyoboyo) yang seolah lebih terkesan berbicara dan memberitahu kepada setiap orang lewat: betapa sibuknya Satuan Polisi Pamong Praja menggusur pedagang kaki lima (PKL) di selatan terminal Joyoboyo.
Surabaya sebagai kota Metropolis ke II dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa kini akan terus bergerak dinamis merespons peluang dan tuntutan globalisasi. Patung yang mungkin masih menarik dan mencitrakan semangat kota pelabuhan Surabaya, barangkali tinggal patung pria dengan semangat baja sedang mengangkat jangkar (patung di depan bekas Museum Mpu Tantular). Sedangkan yang sunyi senyap dan terus merenung, adalah sosok patung perwira di Monumen Jalesveva Jayamahe di barat Pelabuhan Ujung Surabaya-Madura, yang dengan tenang menatap samudera luas tak bertepi. Dalam kesunyiannya seolah bergumam sendirian : Benarkah kekayaan negeri yang melimpah-ruah di darat dan di samudera itu bangsa kita yang punya?
Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Perupa dan Penyair Sastra Jawa,
Nama kota Surabaya yang kita dengar selama ini selalu dikaitkan dengan simbul pertarungan binatang “Suro” dan “Boyo”, yang secara wantah dapat kita asosiasikan sebagai simbul kota yang dinamis, bahkan bisa saja diterjemahkan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan atau sebagai ajang pertempuran. Dalam beberapa catatan kita mendapatkan gambaran masa lalu yang cukup menarik, betapa banyak peristiwa heroik terjadi di Surabaya.
Di antara pertempuran heroik pertama bisa dimulai dari pertempuran Raden Wijaya (pendiri Majapahit) saat mengusir tentara Tartar di pelabuhan Ujung Galuh, dengan pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa seperti Sura, Nambi, dan Ranggalawe. Walaupun sampai saat ini belum ada kajian yang mampu menunjuk pasti di mana letak Ujung Galuh itu, tetapi lebih mengesankan peristiwa itu terkait dengan wilayah Surabaya. Dalam tulisan Soenarto Timoer, “Mitos CURA-BHAYA” (Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya), Balai Pustaka, 1983, menunjuk lokasi Hujunggaluh lebih mendekati di kampung Galuhan, sekarang di Surabaya kota tengah, dekat Jalan Pawiyatan belakang penjara Bubutan. Pada jaman Hujunggaluh, daerah Tembok merupakan batas daratan dan laut, dan Galuhan tepat berada di garis pantai ujung timur yang dibatasi muara Kali Mas.
Peristiwa pertempuran hebat kedua di Kota Surabaya pada saat Sultan Agung tahun 1625 yang menyerang Surabaya dengan membawa 70.000 tentara. Karena tak mampu menaklukan Surabaya akhirnya mengambil siasat licik dengan cara membendung aliran Kali Mas yang menuju kota dan mencemarinya dengan bermacam-macam bangkai dan sampah-sampah lainnya. Takluklah Surabaya, karena nadi kota telah tercemar dan menyebabkan banyak penduduk kota mati karenanya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, kali di Surabaya adalah nadi kota yang seharusnya selalu dipelihara, baik oleh pemerintah kota maupun masyarakatnya.
Peristiwa terkait dengan Kota Surabaya yang lain yaitu pada jaman Pemberontakan Trunojoyo yang harus kalah taktik melawan pasukan Belanda dipimpin Speelman yang menggunakan kecerdikannya berhasil menyusup ke kota lewat Kali Girikan dan menggunakan taktik menguasai wilayah makam suci Ampel. Maka mati kutu-lah Trunojoyo, karena merasa tak mungkin bertempur di wilayah makam suci pemimpin agama yang sangat dihormati.
Peristiwa yang tak kalah heroik, yaitu peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang meninggalkan sebutan “Kota Pahlawan” karena keberanian “Arek-Arek Suroboyo” melawan Sekutu, dan peristriwa tragis tewasnya Brigadir Jendral Mallaby saat pertempuran di Surabaya bersama ribuanpahlawan tak dadi kenal lainnya.
Pencitraan semangat perjuangan di Surabaya itu sampai saat ini masih bisa dilacak dari segi seni rupa dalam bentuk patung-patung dan monumen yang bisa kita terjemahkan sebagai teks-teks. Dari selintas mengkaji teks dalam bentuk patung dan monumen di Surabaya, mungkin bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya saat ini Surabaya sedang krisis monumen yang “monumental”, dalam arti monumen yang sebenarnya yang mampu menggetarkan sebagai citra semangat “Arek Suroboyo” atau citra semangat “Kota Pahlawan” itu.
Dalam kenyataaan sehari-hari memang bisa dilihat, Surabaya konon punya patung “Suro dan Boyo”, punya Monumen Tugu Pahlawan, Patung Gubernur Suryo, Monumen Bambu Runcing, Monumen Jalesveva Jayamahe dan lain-lain. Kehadiran patung selain sebagai penghias kota sekaligus terkait dengan sejarah Surabaya. Dan memasuki kota Surabaya saat ini mungkin terpantul cerminan semangat “Arek Suroboyo” yang dulu terkenal itu, telah jauh memudar. Jakarta, mungkin masih menyisakan patung dan monumen yang lebih punya kesan monumental, karena didukung ruang disekitarnya.. Sebut saja Tugu Selamat Datang yang menyapa insan yang masuk Kota Jakarta, dan Tugu Monas yang masih tergarap dengan mempertimbangkan ruang (space) lingkup di sekitarnya.
Jika patung dan monumen bisa bicara, mungkin banyak yang bisa diceriterakan tentang kota Surabaya. Selain sebagai unsur keindahan kehadiran patung dan monumen tentu punya maksud mengingatkan sebuah peristiwa masa lalu yang patut di kenang terkait dengan kejadian yang ada di situ. Tapi bisa juda kebalikannya, karena tak tepan penempatannya. Kehadirannya justru jadi sampah sampah karena kurang pas tak ubahnya seperti kehadiran baliho iklan-iklan yang menguasai jalur hijau. Unsur estetika atau keindahan sangat perlu dipertimbangkan, diantaranya pertimbangan ruang (space), jarak pandang, tinggi rendah, bentuk dan lain-lain yang memberi keleluasaan penikmat yang melihatnya sehingga kehadiran patung atau monumen tak kehilangan monumentalitasnya. Bisa menyentuh dan memberi rasa “greng” (istilah Jawa) yang melukiskan kewibawaan dalam sekejap, sekaligus mengantarkan ingatan ke peristiwa apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin dalam kapasitas ini, Monumen Tugu Pahlawan Surabaya walaupun telah direnovasi menghabiskan milyard-an rupiah, sebenarnya dalam wajah yang sekarang justru menjadi monumen yang tak monumental. Karena dengan menutupi bagian dasar monumen seperti sekarang, rasa “wibawa” itu sudah hilang sama sekali. Lebih tepatnya, sekarang disebut museum Tugu Pahlawan saja lengkap dengan atributnya dibanding dengan sebutan Monumen Tugu Pahlawan.
Jika patung-patung dan monumen di Surabaya bisa bicara, mungkin banyak cerita yang bisa disampaikan saat sekarang. Patung Gubernur Suryo (Depan Grahadi) yang berada di Jl. Pemuda mungkin sekarang lebih banyak berdialog dengan para pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasinya ke Gubernur di Gedung Grahadi. Atau mungkin Monumen Bambu Runcing (Jl Panglima Sudirman) lebih suka berdialog dengan “kupu-kupu malam” saat tengah malam tiba, dibanding menyiratkan keteguhan perjuangan “Arek Suroboyo’ melawan penjajah dengan modal senjata bambu runcing itu. Masih sama kesannya ketika patung empat pejuang (sebelah timur Terminal Joyoboyo) yang seolah lebih terkesan berbicara dan memberitahu kepada setiap orang lewat: betapa sibuknya Satuan Polisi Pamong Praja menggusur pedagang kaki lima (PKL) di selatan terminal Joyoboyo.
Surabaya sebagai kota Metropolis ke II dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa kini akan terus bergerak dinamis merespons peluang dan tuntutan globalisasi. Patung yang mungkin masih menarik dan mencitrakan semangat kota pelabuhan Surabaya, barangkali tinggal patung pria dengan semangat baja sedang mengangkat jangkar (patung di depan bekas Museum Mpu Tantular). Sedangkan yang sunyi senyap dan terus merenung, adalah sosok patung perwira di Monumen Jalesveva Jayamahe di barat Pelabuhan Ujung Surabaya-Madura, yang dengan tenang menatap samudera luas tak bertepi. Dalam kesunyiannya seolah bergumam sendirian : Benarkah kekayaan negeri yang melimpah-ruah di darat dan di samudera itu bangsa kita yang punya?
Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
MELUPAKAN LUDRUK DI HUT SURABAYA
Oleh: WIDODO BASUKI
Pemerhati Budaya, Penyair Sastra Jawa
Jika ingin melihat kharakter orang Surabaya yang tegas, pemberani dan “blak-blakan” bercerminlah pada Cak Durasim atau Ki Gondo Durasim. Keberanian bukan harus ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis: merusak, bakar-bakar, dan menggunakan tindakan keji yang lain. Tetapi sebagai aktor panggung, Cak Durasim lebih cerdas dan elegan. Dia tahu melalui seni dia mampu menguasai ruang sunyi yang bisa membuka kesadaran penonton, yaitu: melalui “kidungan”. Dan kenyataannya memang demikian, kekuatan “kidungan” melebihi kekuatan moncong-moncong senjata.
Maka ketika kidungan “Pegupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Begupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara) dia tembangkan, seketika merahlah telinga serdadu – serdadu Jepang yang disebut kenpetei itu. Mereka menyadari ini merupakan musuh yang sulit dibendung. Jika kidungan ditembangkan dalam pertunjukan ludruk digedung GNI waktu itu, yang keluar bukan hanya sebagai tontonan penghibur belaka, tetapi justru akan menjelma sebagai “media penyadaran” atas ketidakadilan yang ditimpakan pada rakyat yang terjajah, sekaligus menghipnotis mereka untuk mengadakan “perlawanan”. Maka “sang pengidung”, Ki Gondo Durasim, harus ditangkap, dilenyapkan. Tapi benarkah “kidungan”-nya mampu dilenyapkan seperti raga pengidungnya?
Dalam buku “Folklor Indonesia” tulisan James Danandjaja (Pustaka Grafiti, Jakarta, 1994) disebutkan bahwa tradisi lisan seperti kidungan ini adalah termasuk salah satu jenis folklor. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Disebutkan James yang mengutip pendapat Betty Wang, karena sadar akan adanya salah satu fungsi itu, yakni sebagai protes sosial, maka beberapa kaisar Tiongkok Kuno yang bijaksana seperti kaisar Yui dari dinasti Hsia dan kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, mempunyai staf khusus yang tugasnya mengumpulkan nyanyian rakyat yang dinyanyikan penyanyi rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Koleksi mereka itu kemudian diklasifikasikan, dan diarsipkan setelah dipelajari isinya. Dari isi nyanyian rakyat ini kemudian kaisar mengetahui pendapat rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintahannya. Jadi para kaisar yang bijaksana di Tiongkok Kuno mengumpulkan folklor untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam konteks sekarang ini, dalam rangka pelestarian kesenian Ludruk, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya meletakkannya ludruk dengan seluruh atribut kidungannya sebagai “media dialogis”, juga tempat untuk berkaca untuk koreksi diri, karena teks kidungan ini merupakan suara murni rakyat. Seharusnya suara ini dialirkan, karena suara murni rakyat itu tak terwadahi oleh wakil rakyat yang rata-rata sangat sibuk, lupa, dan banyak yang tak mampu lagi mendengar aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sayangnya, para seniman ludruk di Surabaya sendiri, rata-rata ketika sedikit saja mendapat kucuran dana, kidungannya sudah berubah “memuji-muji”, kidungannya yang biasanya keras tiba-tiba melunak penuh dengan pesan sponsor. Inilah yang menyebabkan “suara murni” itu lenyap. Akhirnya yang muncul hanya sebuah industri banyolan yang tak lucu. Lihat saja, acara “Kidungan Rek” di JTV, rata-rata yang tampil langsung memuji-muji stasiun TV yang berkenan menampilkan wajahnya itu. Karena dalam jiwa mereka, bisa tampil itu sudah patut disyukuri, sehingga inilah yang menybabkan kebanyakan pengidung melupakan fungsi kidungan sebagai folklor yang bisa menjadi kontrol sebuah kebijakan pemerintah yang disampaikan dengan sangat elegan.
Dalam kaitannya dengan pelestarian ludruk di Surabaya, sebenarnya harus dilihat ludruk bukan hanya sebagai teater rakyat belaka, tetapi lebih dari itu. Pelestarian ludruk sekaligus pelestarian salah satu jenis folklor berupa “kidungan” itu, folklor yang merekam suara spontanitas, emosional, kejujuran dari mereka yang tertindas atau terabaikan. Hanya saja pertanyaannya: beranikah apabila Pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba “kidungan” yang isinya melulu berupa kritik, mencaci maki, khusus terhadap kebijakan pemerintah kota Surabaya? Tentu kritik itu harus punya dasar, tidak asal bunyi, harus imbang, jangan hanya sisi negatifnya, tapi juga positifnya. Bagi yang dikritik, betapapun kerasnya, tak usah marah dan tersinggung. Pelaku seni ludruk dan pemerintah di sini berdiri sama-sama sebagai subyek. Ini dimaksudkan bukan hanya semata-mata sebagai lomba, tetapi merupakan salah satu cara untuk pelestarian ludruk dan membangun wacana berfikir lewat seni.
Terkait dengan pelestarian seni ludruk, rangkaian lomba-lomba dalam kegiatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 713 itu tak nampak. Dari tanggal 30 April dimulai dengan acara “Gebyar Arak-Arakan” yang berakhir tanggal 4 Juni dengan acara “Festival Perahu Tradisional “Ujung Galuh” ( Petekan –Monkasel), banyak sekali mata acara, mulai dari Konser Pulang Kampung, Gibol Vaganza, Festival Manten Pegon, Festival Rujak Uleg, Festival Campursari, Festival Makanan Khas, dan lain-lain. Hanya satu yang sedikit menyentuh ludruk, yaitu Festival Remo. Tetapi ini lebih banyak menyentuh tariannya, apabila dikaitkan dengan semangat “kidungan” Cak Durasim yang berani menyuarakan “suara kaum tertindas” itu, tentu masih sangat jauh sekali dari harapan.
Diakui atau tidak, saat ini yang mau nanggap kesenian ludruk lebih banyak di luar kota. Ludruk RRI Surabaya misalnya, menurut penuturan Hengki Kusuma, salah satu pemainnya, meskipun bermarkas di pusat kota, tetapi sebenarnya ludruk RRI Surabaya jarang sekali pentas di dalam kota. Hengki mengakui, masa-masa kejayaan ludruk dia jumpai sekitar tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ini bisa dilihat dari eksisnya ludruk Sari Murni (Jombang), Baru Budi (Surabaya) Trisula Darma-Kopasgat (Madiun), Sari Warni (Surabaya), Suzana (Surabaya) yang sering tampil di Kota Surabaya. Tempat-tempat semacam Lapangan Kalibokor dan Lapangan Pacarkeling sering dipakai untuk pentas ludruk tobongan. Ini juga diimbangi siaran-siaran acara ludruk di radio-radio juga masih semarak.
Jika sekarang di Surabaya tinggal ludruk Irama Budaya sebagai salah satu contoh kesenian rakyat ludruk yang bertahan manggung di tobong Pulo Wonokromo, pertanyaanya: sampai kapan mereka bertahan? Karena, secara jujur harus diakui: dengan mengandalkan pendapatan dari karcis penonton, sungguh sangat tidak memadai untuk menopang kehidupan para “awak’ ludruk.. Ini sama halnya dengan nasib grup kethoprak Siswobudoyo yang pentas di THR
Dibandingkan dengan ludruk yang ada di pinggiran Mojokerto, misalnya bisa dilihat grup ludruk Karya Budaya, Mojokerto, pimpinan Drs. Eko Susanto, lebih mending karena masih bisa pentas di pinggiran meliputi wilayah Gerbang Kertosusila – Malang – Pasuruan. Menurut pengakuan Supali, salah satu pemainnya, rata-rata satu tahun 150 kali pentas, yang paling ramai biasanya pada bulan Juli, Agustus, September, rata-rata penuh dengan nilai nilai per job antara 6 juta sampai 10 juta. Jadi bila mengharapkan ludruk masih hidup di wilayah Kota Surabaya tentu formatnya harus lain.
Salah satu format disamping penggalian kidungannya, pelestarian ludruk caranya harus mampu menangkap kekinian. Mungkin salah satu contoh pernah dicoba Bawong S. Nitiberi, dengan menggarap “Besutan” dengan lakon “Dodol Gombal” tahun 2002. Sayang, yang di lakukan Bawong itu tidak berlanjut.
Apapun alasannya, ludruk Surabaya juga menjadi salah satu semangat Surabaya, seni khas Surabaya. Lewat Cak Durasim, seni rakyat ini telah dirubah menjadi semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan. Selain dari Cak Durasim, tidak bisa dihindari jika ceritera rakyat semacam kisah perjuangan Sawunggaling, Sogol, Sarip Tambakoso, Branjangkawat, dan lain-lain sangat melekat dengan Surabaya. Tentu semua fihak tak akan membiarkan semangat itu mati sia-sia.
(Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos)
Pemerhati Budaya, Penyair Sastra Jawa
Jika ingin melihat kharakter orang Surabaya yang tegas, pemberani dan “blak-blakan” bercerminlah pada Cak Durasim atau Ki Gondo Durasim. Keberanian bukan harus ditunjukkan dengan cara perlawanan frontal, menyerang dengan kekuatan senjata, atau menjurus anarkis: merusak, bakar-bakar, dan menggunakan tindakan keji yang lain. Tetapi sebagai aktor panggung, Cak Durasim lebih cerdas dan elegan. Dia tahu melalui seni dia mampu menguasai ruang sunyi yang bisa membuka kesadaran penonton, yaitu: melalui “kidungan”. Dan kenyataannya memang demikian, kekuatan “kidungan” melebihi kekuatan moncong-moncong senjata.
Maka ketika kidungan “Pegupon omahe dara, melu Nippon tambah sengsara” (Begupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara) dia tembangkan, seketika merahlah telinga serdadu – serdadu Jepang yang disebut kenpetei itu. Mereka menyadari ini merupakan musuh yang sulit dibendung. Jika kidungan ditembangkan dalam pertunjukan ludruk digedung GNI waktu itu, yang keluar bukan hanya sebagai tontonan penghibur belaka, tetapi justru akan menjelma sebagai “media penyadaran” atas ketidakadilan yang ditimpakan pada rakyat yang terjajah, sekaligus menghipnotis mereka untuk mengadakan “perlawanan”. Maka “sang pengidung”, Ki Gondo Durasim, harus ditangkap, dilenyapkan. Tapi benarkah “kidungan”-nya mampu dilenyapkan seperti raga pengidungnya?
Dalam buku “Folklor Indonesia” tulisan James Danandjaja (Pustaka Grafiti, Jakarta, 1994) disebutkan bahwa tradisi lisan seperti kidungan ini adalah termasuk salah satu jenis folklor. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Disebutkan James yang mengutip pendapat Betty Wang, karena sadar akan adanya salah satu fungsi itu, yakni sebagai protes sosial, maka beberapa kaisar Tiongkok Kuno yang bijaksana seperti kaisar Yui dari dinasti Hsia dan kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, mempunyai staf khusus yang tugasnya mengumpulkan nyanyian rakyat yang dinyanyikan penyanyi rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Koleksi mereka itu kemudian diklasifikasikan, dan diarsipkan setelah dipelajari isinya. Dari isi nyanyian rakyat ini kemudian kaisar mengetahui pendapat rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintahannya. Jadi para kaisar yang bijaksana di Tiongkok Kuno mengumpulkan folklor untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam konteks sekarang ini, dalam rangka pelestarian kesenian Ludruk, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya meletakkannya ludruk dengan seluruh atribut kidungannya sebagai “media dialogis”, juga tempat untuk berkaca untuk koreksi diri, karena teks kidungan ini merupakan suara murni rakyat. Seharusnya suara ini dialirkan, karena suara murni rakyat itu tak terwadahi oleh wakil rakyat yang rata-rata sangat sibuk, lupa, dan banyak yang tak mampu lagi mendengar aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sayangnya, para seniman ludruk di Surabaya sendiri, rata-rata ketika sedikit saja mendapat kucuran dana, kidungannya sudah berubah “memuji-muji”, kidungannya yang biasanya keras tiba-tiba melunak penuh dengan pesan sponsor. Inilah yang menyebabkan “suara murni” itu lenyap. Akhirnya yang muncul hanya sebuah industri banyolan yang tak lucu. Lihat saja, acara “Kidungan Rek” di JTV, rata-rata yang tampil langsung memuji-muji stasiun TV yang berkenan menampilkan wajahnya itu. Karena dalam jiwa mereka, bisa tampil itu sudah patut disyukuri, sehingga inilah yang menybabkan kebanyakan pengidung melupakan fungsi kidungan sebagai folklor yang bisa menjadi kontrol sebuah kebijakan pemerintah yang disampaikan dengan sangat elegan.
Dalam kaitannya dengan pelestarian ludruk di Surabaya, sebenarnya harus dilihat ludruk bukan hanya sebagai teater rakyat belaka, tetapi lebih dari itu. Pelestarian ludruk sekaligus pelestarian salah satu jenis folklor berupa “kidungan” itu, folklor yang merekam suara spontanitas, emosional, kejujuran dari mereka yang tertindas atau terabaikan. Hanya saja pertanyaannya: beranikah apabila Pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba “kidungan” yang isinya melulu berupa kritik, mencaci maki, khusus terhadap kebijakan pemerintah kota Surabaya? Tentu kritik itu harus punya dasar, tidak asal bunyi, harus imbang, jangan hanya sisi negatifnya, tapi juga positifnya. Bagi yang dikritik, betapapun kerasnya, tak usah marah dan tersinggung. Pelaku seni ludruk dan pemerintah di sini berdiri sama-sama sebagai subyek. Ini dimaksudkan bukan hanya semata-mata sebagai lomba, tetapi merupakan salah satu cara untuk pelestarian ludruk dan membangun wacana berfikir lewat seni.
Terkait dengan pelestarian seni ludruk, rangkaian lomba-lomba dalam kegiatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 713 itu tak nampak. Dari tanggal 30 April dimulai dengan acara “Gebyar Arak-Arakan” yang berakhir tanggal 4 Juni dengan acara “Festival Perahu Tradisional “Ujung Galuh” ( Petekan –Monkasel), banyak sekali mata acara, mulai dari Konser Pulang Kampung, Gibol Vaganza, Festival Manten Pegon, Festival Rujak Uleg, Festival Campursari, Festival Makanan Khas, dan lain-lain. Hanya satu yang sedikit menyentuh ludruk, yaitu Festival Remo. Tetapi ini lebih banyak menyentuh tariannya, apabila dikaitkan dengan semangat “kidungan” Cak Durasim yang berani menyuarakan “suara kaum tertindas” itu, tentu masih sangat jauh sekali dari harapan.
Diakui atau tidak, saat ini yang mau nanggap kesenian ludruk lebih banyak di luar kota. Ludruk RRI Surabaya misalnya, menurut penuturan Hengki Kusuma, salah satu pemainnya, meskipun bermarkas di pusat kota, tetapi sebenarnya ludruk RRI Surabaya jarang sekali pentas di dalam kota. Hengki mengakui, masa-masa kejayaan ludruk dia jumpai sekitar tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ini bisa dilihat dari eksisnya ludruk Sari Murni (Jombang), Baru Budi (Surabaya) Trisula Darma-Kopasgat (Madiun), Sari Warni (Surabaya), Suzana (Surabaya) yang sering tampil di Kota Surabaya. Tempat-tempat semacam Lapangan Kalibokor dan Lapangan Pacarkeling sering dipakai untuk pentas ludruk tobongan. Ini juga diimbangi siaran-siaran acara ludruk di radio-radio juga masih semarak.
Jika sekarang di Surabaya tinggal ludruk Irama Budaya sebagai salah satu contoh kesenian rakyat ludruk yang bertahan manggung di tobong Pulo Wonokromo, pertanyaanya: sampai kapan mereka bertahan? Karena, secara jujur harus diakui: dengan mengandalkan pendapatan dari karcis penonton, sungguh sangat tidak memadai untuk menopang kehidupan para “awak’ ludruk.. Ini sama halnya dengan nasib grup kethoprak Siswobudoyo yang pentas di THR
Dibandingkan dengan ludruk yang ada di pinggiran Mojokerto, misalnya bisa dilihat grup ludruk Karya Budaya, Mojokerto, pimpinan Drs. Eko Susanto, lebih mending karena masih bisa pentas di pinggiran meliputi wilayah Gerbang Kertosusila – Malang – Pasuruan. Menurut pengakuan Supali, salah satu pemainnya, rata-rata satu tahun 150 kali pentas, yang paling ramai biasanya pada bulan Juli, Agustus, September, rata-rata penuh dengan nilai nilai per job antara 6 juta sampai 10 juta. Jadi bila mengharapkan ludruk masih hidup di wilayah Kota Surabaya tentu formatnya harus lain.
Salah satu format disamping penggalian kidungannya, pelestarian ludruk caranya harus mampu menangkap kekinian. Mungkin salah satu contoh pernah dicoba Bawong S. Nitiberi, dengan menggarap “Besutan” dengan lakon “Dodol Gombal” tahun 2002. Sayang, yang di lakukan Bawong itu tidak berlanjut.
Apapun alasannya, ludruk Surabaya juga menjadi salah satu semangat Surabaya, seni khas Surabaya. Lewat Cak Durasim, seni rakyat ini telah dirubah menjadi semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan. Selain dari Cak Durasim, tidak bisa dihindari jika ceritera rakyat semacam kisah perjuangan Sawunggaling, Sogol, Sarip Tambakoso, Branjangkawat, dan lain-lain sangat melekat dengan Surabaya. Tentu semua fihak tak akan membiarkan semangat itu mati sia-sia.
(Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos)
PLUS MINUS PROGRAM ‘JAVA DAY’ DI SURABAYA
Oleh: Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemerhati Budaya.
Seorang siswa di SD Rangkah ketika ditanya: Bagaimana kesan dia ketika harus berbahasa Jawa sehari dalam seminggu di sekolahnya? Jawabnya polos: “Seneng, Pak. Pola-e lucu!” (Senang Pak, soalnya lucu). Kesan lebih “lucu” yang lain bisa digambarkan saat salah seorang guru harus bercucuran keringat dingin ketika mendapat tugas sebagai pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga yang dialami kepala sekolah, dia ikut-ikutan sibuk harus menyiapkan teks pidato upacara bendera berbahasa Jawa, tanya sana tanya sini, ini untuk menghindari salah pengucapan saat pidato. Tentunya untuk menghindari agar tidak menjadi bahan “guyonan” yang tidak lucu. Kenapa bahasa Jawa, yang menjadi bahasa ibu sejal lahir, justru kini menjadi asing dan dihindari?
Ilustrasi di atas merupakan sebagian kecil dari kisah yang terjadi pada pelaksanaan program Java Day di Surabaya. Sejak digulirkannya Program Java Day (sehari berbahasa Jawa) oleh Pemerintah Kodya Surabaya melalui edaran Kepala Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya, Drs. Sahudi, M.Pd, yang dituangkan dalam Surat Dinas No.4-21.2/0123/436.5.6/2008, yang paling lemah adalah dalam hal pelaksanaan di lapangan. Adakah sangsi jika tidak melakukan program itu? Tentunya tidak akan terjadi seperti pelanggaran hukum. Karena yang diharapan dari program ini adalah membangun kesadaran budaya melalui pemakaian bahasa lokal/daerah. Dari program ini siswa diharapkan bisa mengambil nilai-nilai, “unggah-ungguh’ atau tata perilaku serta sikap moral positif yang diambil dari budaya sendiri. Sehingga “kelucuan-kelucuan” ketika menggunakan bahasa lokal merupakan hal positif sebagai konsekuensi terhadap reposisi budaya, belajar kembali dan menggali nilai budaya sendiri. Kita mungkin perlu meniru negara maju seperti Jepang, yang masih mengagungkan nilai-nilai budaya serta hal yang berbau tradisi.
Jauh sebelum ada program semacam ini, Christian Grossweller, yang berasal dari negara Swiss dan menjadi salah satu pemakalah (dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus) dalam Kongres Bahasa Jawa III Yogyakarta (2001), pernah mengatakan bahwa salah satu cara jitu dalam mengembangkan bahasa daerah, yang pertama adalah dari lingkungan keluarga, selanjutnya pada lingkungan pendidikan. Dia mengambil contoh salah satu bahasa etnik di Swiss yang pernah “punah” bisa hidup kembali dengan cara-cara kesadaran budaya seperti ini. Dia menambahkan, terkait dengan pembangunan di basis budaya, tentu tidak seperti membangun gedung yang bisa diprediksi sehari dua hari bisa jadi. Membangun budaya dan menanamkan kesadaran berbahasa seperti menanam sebiji benih pohon yang memerlukan wantu panjang untuk menjadi pohon yang rindang dan berbuah.
Sebuah realita yang menyangkut Program Java Day saat ini, sebagai kota metropolis, di Surabaya mempunyai penduduk dengan berbagai etnis, bukan melulu Jawa. Bahasa Jawa-nya pun juga terdiri bahasa Jawa “kulonan” dan “Surabaya-an”. Berbeda dengan Jawa Tengah atau Yogyakarta yang etnis Jawa dan pengguna bahasa Jawanya lebih besar (homogen). Bahasa “Jawa Surabaya-an” yang konon banyak digunakan di Surabaya juga belum punya patokan baku. Bahasa Surabaya-an merupakan Sub-dialek bahasa Jawa lan lebih dominan sebagai bahasa “tutur” atau “lisan”, bukan bahasa tulis. Maka tidak aneh jika pembelajaran bahasa Jawa di Surabaya masih kebingungan menggunakan format yang bagaimana. Anehnya, walaupun dengan penduduk yang bahasa Jawanya heterogen, tetapi di Surabaya berdiri kokoh dua penerbitan majalah berbahasa Jawa “Jayabaya” yang terbit tahun 1945 dan “Panjebar Semangat” terbit tahun 1933.
Dalam sarasehan bahasa Jawa menindaklanjuti surat edaran Sahudi, yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG), Gugus 031 –032, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari (9 dan 23 Februari 2008) itu, selain banyak guru yang merasa kebingunan bahasa Jawa apa yang digunakan, realita lain yang harus kita fahami yaitu bahasa Jawa dianggap sebagai pelajaran “sains anak kota”. Itulah sebabnya pelajaran bahasa Jawa dianggap lebih sulit dari pelajaran yang lain. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa Jawa yang masih mengajarkan hafalan anak-anak hewan (anak ayam: kuthuk), anak kebo gudel, anak sapi pedhet, anak cecak: sawiyah, dsb), dan juga nama-nama bunga (kembang duren: dlongop, kembang lombok: menik), dsb.
Diakui atau tidak, walaupun program Java Day lebih menekankan “keberanian komunikasi berbahasa Jawa”, tetapi mau tidak mau juga bersentuhan dengan mata pelajaran bahasa Jawa yang diajarkan di kelas. Terkait dengan pelajaran bahasa Jawa, menurut Dosen Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dra. Sri Sulistiani, M.Pd, Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD memang diakui lebih rumit ketimbang kurikulum bahasa Jawa untuk jenjang SMP. Tetapi menurutnya, yang paling penting dalam pembelajaran bahasa Jawa seharusnya lebih mengacu pada life skill, artinya, sejauh mana pembelajaran bahasa Jawa bisa berguna bagi siswa.
Butuh Referensi dan Tata Bahasa Baku
Kurangnya keberanian menggunakan bahasa Jawa ini ada yang beralasan karena takut dikatakan “kasar” dan malu ditertawakan. Ini diakui oleh salah seorang guru dalam diskusi di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah itu, ada salah seorang guru yang mengaku lahir di Surabaya, sejak kecil yang dikenal juga bahasa Surabaya-an, tetapi ketika disuruh menggunakan bahasa Jawa Surabaya-an, dia mengaku tidak “pe-de” (percaya diri). Kenapa?
Lagi-lagi kita butuh referensi dan rujukan untuk memperlancar dan lebih menambah percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Memang, kalau pengin yang lebih “afdol” sebelum digulirkan edaran Java Day seharusnya diadakan dulu kamus Surabaya-an, juga ada buku-buku bacaan bahasa Jawa. Tapi kalaupun toh belum ada sarana pendukung itu, sebenarnya bagi seorang guru semestinya tak akan kehabisan akal. Dalam hal kurikulum bahasa Jawa juga tak akan membebani guru, karena guru ibarat dalang yang harus luwes dalam menterjemahkan kurikulum sesuasi dengan lokalitas Surabaya (sesuai KTSP). Soal kelengkapan sarana pendukung itu bisa di lakukan sambil jalan. Yang lebih realistis sekarang adalah bagaimana para guru dan pelajar di Surabaya menjadi percaya diri untuk berbicara bahasa Jawa dalam Java Day.
Jika butuh referensi, kita bisa mengambil pendukung yang lain. Dalam masyarakat Jawa subkultur Surabaya-an (yang tinggal di wilayah administratif Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Jombang ) dikenal adanya seni pertunjukan ludruk. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pagelaran ludruk inilah yang bisa dipakai untuk referensi. Menurut saya, bahasa ludruk ini bisa menjadi salah satu acuan jenis bahasa Jawa yang bisa digunakan di Surabaya.
Memang, ada beberapa guru tatkala sarasehan Kelompok Guru di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari itu, ada beberapa guru yang mengusulkan supaya tayangan “Pojok Kampung” JTV mengurangi bahasa-bahasa yang “vulgar”, dengan alasan bahasa-bahasa yang langsung dilihat dan didengar dari media TV inilah yang mudah diserap oleh anak-anak pelajar. “Bagaimana bila anak-anak Surabaya lebih mengenali bahasa Surabaya-an yang “vulgar” seperti itu?” begitu usulan salah seorang guru. Lagi-lagi problem di sini tersandung pada nilai rasa “kasar – halus” yang menjadi perdebatan berkepanjangan, apalagi ketika dihadapkan pada kepentingan proses pembelajaran siswa. Begitu juga persoalan kata “vulgar” dan “tidak vulgar” ini saja akan menjadi debat kusir dan tidak ana titik temu karena cara pandang yang berbeda..
Perlu Dukungan Pakar Bahasa Surabaya-an
Untuk yang akan datang, kesuksesan Java Day juga akan berimbas dan berdampak positif pada pelajaran bahasa Jawa di kelas. Tentunya terkait dengan buku dan pedoman tata tulis yang disepakati bersama. Sebagi bahasa “sub-dialek” Surabaya lebih banyak sebagai bahasa “lisan”, penulisannya juga banyak yang masih berdasarkan bahasa “lisan” yang diucapkan. Contoh penulisan yang agak berbeda, misalnya kata “mulih” yang berarti “pulang”: ditulis : mole’, moleh, atau muleh. Kata “putih” ditulis “ pote, puteh, poteh”. Kata “pitik” (ayam) ditulis “petek, pitek...” dan lain-lain. Selain itu memang ada yang rancu antara penggunaan huruf vokal “o” dengan “a”, “th” dengan “t” juga “dha” dengan “d”, dan lain-lain..
Persoalan-persoalan yang rumit seperti kasus di atas, akan mengiringi suksesnya program Java Day ke depan. Tentunya, apabila lebih serius akan memerlukan para pemikir-pemikir bahasa yang bisa mengkongkritkan masalah ejaan bahasa Surabaya-an, kamus Surabaya-an dan piranti-piranti lain yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa di Surabaya. Yang lebih kongkrit dalam waktu dekat, rasanya perlu menggalakkan lomba-lomba terkait dengan bahasa Jawa bagi siswa dan guru di Surabaya. Misalnya lomba menulis dan mendongeng ceritera rakyat Surabaya dengan bahasa Jawa, lomba kidungan, lomba ludruk anak-anak, lomba puisi (geguritan) dan lain-lain. Apalagi tahun ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional sesuai yang diambil sebagai tema Festival Seni Surabaya (FSS). Rasanya saat ini sangat tepat untuk dilakukan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Penyair Sastra Jawa, Pemerhati Budaya.
Seorang siswa di SD Rangkah ketika ditanya: Bagaimana kesan dia ketika harus berbahasa Jawa sehari dalam seminggu di sekolahnya? Jawabnya polos: “Seneng, Pak. Pola-e lucu!” (Senang Pak, soalnya lucu). Kesan lebih “lucu” yang lain bisa digambarkan saat salah seorang guru harus bercucuran keringat dingin ketika mendapat tugas sebagai pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga yang dialami kepala sekolah, dia ikut-ikutan sibuk harus menyiapkan teks pidato upacara bendera berbahasa Jawa, tanya sana tanya sini, ini untuk menghindari salah pengucapan saat pidato. Tentunya untuk menghindari agar tidak menjadi bahan “guyonan” yang tidak lucu. Kenapa bahasa Jawa, yang menjadi bahasa ibu sejal lahir, justru kini menjadi asing dan dihindari?
Ilustrasi di atas merupakan sebagian kecil dari kisah yang terjadi pada pelaksanaan program Java Day di Surabaya. Sejak digulirkannya Program Java Day (sehari berbahasa Jawa) oleh Pemerintah Kodya Surabaya melalui edaran Kepala Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya, Drs. Sahudi, M.Pd, yang dituangkan dalam Surat Dinas No.4-21.2/0123/436.5.6/2008, yang paling lemah adalah dalam hal pelaksanaan di lapangan. Adakah sangsi jika tidak melakukan program itu? Tentunya tidak akan terjadi seperti pelanggaran hukum. Karena yang diharapan dari program ini adalah membangun kesadaran budaya melalui pemakaian bahasa lokal/daerah. Dari program ini siswa diharapkan bisa mengambil nilai-nilai, “unggah-ungguh’ atau tata perilaku serta sikap moral positif yang diambil dari budaya sendiri. Sehingga “kelucuan-kelucuan” ketika menggunakan bahasa lokal merupakan hal positif sebagai konsekuensi terhadap reposisi budaya, belajar kembali dan menggali nilai budaya sendiri. Kita mungkin perlu meniru negara maju seperti Jepang, yang masih mengagungkan nilai-nilai budaya serta hal yang berbau tradisi.
Jauh sebelum ada program semacam ini, Christian Grossweller, yang berasal dari negara Swiss dan menjadi salah satu pemakalah (dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus) dalam Kongres Bahasa Jawa III Yogyakarta (2001), pernah mengatakan bahwa salah satu cara jitu dalam mengembangkan bahasa daerah, yang pertama adalah dari lingkungan keluarga, selanjutnya pada lingkungan pendidikan. Dia mengambil contoh salah satu bahasa etnik di Swiss yang pernah “punah” bisa hidup kembali dengan cara-cara kesadaran budaya seperti ini. Dia menambahkan, terkait dengan pembangunan di basis budaya, tentu tidak seperti membangun gedung yang bisa diprediksi sehari dua hari bisa jadi. Membangun budaya dan menanamkan kesadaran berbahasa seperti menanam sebiji benih pohon yang memerlukan wantu panjang untuk menjadi pohon yang rindang dan berbuah.
Sebuah realita yang menyangkut Program Java Day saat ini, sebagai kota metropolis, di Surabaya mempunyai penduduk dengan berbagai etnis, bukan melulu Jawa. Bahasa Jawa-nya pun juga terdiri bahasa Jawa “kulonan” dan “Surabaya-an”. Berbeda dengan Jawa Tengah atau Yogyakarta yang etnis Jawa dan pengguna bahasa Jawanya lebih besar (homogen). Bahasa “Jawa Surabaya-an” yang konon banyak digunakan di Surabaya juga belum punya patokan baku. Bahasa Surabaya-an merupakan Sub-dialek bahasa Jawa lan lebih dominan sebagai bahasa “tutur” atau “lisan”, bukan bahasa tulis. Maka tidak aneh jika pembelajaran bahasa Jawa di Surabaya masih kebingungan menggunakan format yang bagaimana. Anehnya, walaupun dengan penduduk yang bahasa Jawanya heterogen, tetapi di Surabaya berdiri kokoh dua penerbitan majalah berbahasa Jawa “Jayabaya” yang terbit tahun 1945 dan “Panjebar Semangat” terbit tahun 1933.
Dalam sarasehan bahasa Jawa menindaklanjuti surat edaran Sahudi, yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG), Gugus 031 –032, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari (9 dan 23 Februari 2008) itu, selain banyak guru yang merasa kebingunan bahasa Jawa apa yang digunakan, realita lain yang harus kita fahami yaitu bahasa Jawa dianggap sebagai pelajaran “sains anak kota”. Itulah sebabnya pelajaran bahasa Jawa dianggap lebih sulit dari pelajaran yang lain. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa Jawa yang masih mengajarkan hafalan anak-anak hewan (anak ayam: kuthuk), anak kebo gudel, anak sapi pedhet, anak cecak: sawiyah, dsb), dan juga nama-nama bunga (kembang duren: dlongop, kembang lombok: menik), dsb.
Diakui atau tidak, walaupun program Java Day lebih menekankan “keberanian komunikasi berbahasa Jawa”, tetapi mau tidak mau juga bersentuhan dengan mata pelajaran bahasa Jawa yang diajarkan di kelas. Terkait dengan pelajaran bahasa Jawa, menurut Dosen Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dra. Sri Sulistiani, M.Pd, Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD memang diakui lebih rumit ketimbang kurikulum bahasa Jawa untuk jenjang SMP. Tetapi menurutnya, yang paling penting dalam pembelajaran bahasa Jawa seharusnya lebih mengacu pada life skill, artinya, sejauh mana pembelajaran bahasa Jawa bisa berguna bagi siswa.
Butuh Referensi dan Tata Bahasa Baku
Kurangnya keberanian menggunakan bahasa Jawa ini ada yang beralasan karena takut dikatakan “kasar” dan malu ditertawakan. Ini diakui oleh salah seorang guru dalam diskusi di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah itu, ada salah seorang guru yang mengaku lahir di Surabaya, sejak kecil yang dikenal juga bahasa Surabaya-an, tetapi ketika disuruh menggunakan bahasa Jawa Surabaya-an, dia mengaku tidak “pe-de” (percaya diri). Kenapa?
Lagi-lagi kita butuh referensi dan rujukan untuk memperlancar dan lebih menambah percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Memang, kalau pengin yang lebih “afdol” sebelum digulirkan edaran Java Day seharusnya diadakan dulu kamus Surabaya-an, juga ada buku-buku bacaan bahasa Jawa. Tapi kalaupun toh belum ada sarana pendukung itu, sebenarnya bagi seorang guru semestinya tak akan kehabisan akal. Dalam hal kurikulum bahasa Jawa juga tak akan membebani guru, karena guru ibarat dalang yang harus luwes dalam menterjemahkan kurikulum sesuasi dengan lokalitas Surabaya (sesuai KTSP). Soal kelengkapan sarana pendukung itu bisa di lakukan sambil jalan. Yang lebih realistis sekarang adalah bagaimana para guru dan pelajar di Surabaya menjadi percaya diri untuk berbicara bahasa Jawa dalam Java Day.
Jika butuh referensi, kita bisa mengambil pendukung yang lain. Dalam masyarakat Jawa subkultur Surabaya-an (yang tinggal di wilayah administratif Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Jombang ) dikenal adanya seni pertunjukan ludruk. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pagelaran ludruk inilah yang bisa dipakai untuk referensi. Menurut saya, bahasa ludruk ini bisa menjadi salah satu acuan jenis bahasa Jawa yang bisa digunakan di Surabaya.
Memang, ada beberapa guru tatkala sarasehan Kelompok Guru di gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari itu, ada beberapa guru yang mengusulkan supaya tayangan “Pojok Kampung” JTV mengurangi bahasa-bahasa yang “vulgar”, dengan alasan bahasa-bahasa yang langsung dilihat dan didengar dari media TV inilah yang mudah diserap oleh anak-anak pelajar. “Bagaimana bila anak-anak Surabaya lebih mengenali bahasa Surabaya-an yang “vulgar” seperti itu?” begitu usulan salah seorang guru. Lagi-lagi problem di sini tersandung pada nilai rasa “kasar – halus” yang menjadi perdebatan berkepanjangan, apalagi ketika dihadapkan pada kepentingan proses pembelajaran siswa. Begitu juga persoalan kata “vulgar” dan “tidak vulgar” ini saja akan menjadi debat kusir dan tidak ana titik temu karena cara pandang yang berbeda..
Perlu Dukungan Pakar Bahasa Surabaya-an
Untuk yang akan datang, kesuksesan Java Day juga akan berimbas dan berdampak positif pada pelajaran bahasa Jawa di kelas. Tentunya terkait dengan buku dan pedoman tata tulis yang disepakati bersama. Sebagi bahasa “sub-dialek” Surabaya lebih banyak sebagai bahasa “lisan”, penulisannya juga banyak yang masih berdasarkan bahasa “lisan” yang diucapkan. Contoh penulisan yang agak berbeda, misalnya kata “mulih” yang berarti “pulang”: ditulis : mole’, moleh, atau muleh. Kata “putih” ditulis “ pote, puteh, poteh”. Kata “pitik” (ayam) ditulis “petek, pitek...” dan lain-lain. Selain itu memang ada yang rancu antara penggunaan huruf vokal “o” dengan “a”, “th” dengan “t” juga “dha” dengan “d”, dan lain-lain..
Persoalan-persoalan yang rumit seperti kasus di atas, akan mengiringi suksesnya program Java Day ke depan. Tentunya, apabila lebih serius akan memerlukan para pemikir-pemikir bahasa yang bisa mengkongkritkan masalah ejaan bahasa Surabaya-an, kamus Surabaya-an dan piranti-piranti lain yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa di Surabaya. Yang lebih kongkrit dalam waktu dekat, rasanya perlu menggalakkan lomba-lomba terkait dengan bahasa Jawa bagi siswa dan guru di Surabaya. Misalnya lomba menulis dan mendongeng ceritera rakyat Surabaya dengan bahasa Jawa, lomba kidungan, lomba ludruk anak-anak, lomba puisi (geguritan) dan lain-lain. Apalagi tahun ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional sesuai yang diambil sebagai tema Festival Seni Surabaya (FSS). Rasanya saat ini sangat tepat untuk dilakukan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di “Metropolis” Jawa Pos
Rabu, 21 Januari 2009
SYAIR TRESNANE RABI’AH
Gusti, manawa anggonku ngibadah
mung karana wedi geni neraka
leburen aku ing genine jahanam
Manawa anggonku ngibadah
mung merga ngarep-arep enake swarga
enggal doh-na sing adoh saka sekabehane
Nanging, manawa aku ngibadah
krana sih tresnaku marang PanjenenganMu
Gusti, aja Panjenengan aling-alingi nggonku kepengin
ndeleng Kaendahan-Mu
Tresna utawa katresnan ora mung lumaku antarane manungsa lanang wadon kaya kang umum kanggo para mudha-mudhi, utawa wong bebrayan lanang wadon, antarane wong tuwa marang anak utawa suwalike, lan liya-liyane kaya kang asring diprangguli ing bebrayan. Ing tataran panembah, “tresna” mau lumaku antarane titah lan kang nitahake, manungsa lan Pengerane. Lan “tresna” sing iki mujudake tresna kang pribadi banget. Jalaran kang weruh iku ya ing pribadi kita dhewe.
Gegambaran tresna mau, minangka conto kaya kang rinumpaka ing syair utawa guritan ing dhuwur kasebut. Guritan iku mujudake jarwan bebas saka puisi karyane Rabi’ah Al Adawiyyah (? - 185 Hijrah), sawijining ahli tasawuf wanita kelairan Basrah, Irak. Jeneng asline Ummu ‘l Khayr Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qisiyyah.
Merga dheweke bisa ngresepi lan bisa “nikmati” pait getire panguripan kang nate dilakoni, wiwit nalika didadekake budhak kang uripe kesurang-surang, nganti nuwuhake krenteg kesufianne kanthi tema-tema “katresnan” marang Kang Murbeng Urip iku, dheweke njur bisa ngripta ukara kang endah banget, patut diresepi.. Lumantar syair-syair mau dheweke nyilemi lan nandukake maknane tresna kang luwih jeru. Luwih adoh tebane katimbang pangerten sing mung wantah kaya kang nate kita prangguli.
Ing kene ora kepengin ngonceki ngenani ngelmu tasawuf, nanging nyoba urun nyurasa ukara gegayutan karo rasa “tresna” utawa “katresnan”. Ing pangerti kang luwih nduweni makna religius ora bisa pinisahake klawan pengorbanan lan keiklasan. Katresnan utawa tresna uga ngandhut pangerti “iklas”. Ing babagan manembah kaya syaire Rabiah ing dhuwur mau disurasa: ora merga pamrih kepengin antuk swarga lan wedi neraka. Iki uga wujude pemut, manembah mono kudu kanthi “iklas”, lepas saka sakehing “pamrih kadonyan”, lan tujuane manembah mau amung siji, “krana mung rasa tresna marang Gusti kang Murbeng Gesang”.
Yen tataran gegayuhan lan manembah mono pepindhane wit kang dhuwur. Saya dhuwur pucuking wit uga saya dhuwur kena gempurane angin. Saya dhuwur tataraning panembah saya dhuwur godhane. Kari kuwat apa ora. Yen ing carita wayang, akeh banget kang bisa tinuladha gegayutan karo perkara godha lan tresna. Begawan Wisrawa, sawijining pandhita kang wis dianggep putus saka sakehing kawruh, jebul bisa kepleset merga panggodhane Dewi Sukesi (minangka simbule tresna lan nafsu kadonyan).
Kadidene begawan, kaya ing pangerti wantah wis kena dipesthekake wis manggon ing tataran tahan godha. Ning ing crita iki digambarake Sang Begawan ing kahanan “dilematis”(mbingungake). Sawise kasil mupu sayembara apa kang dipikirake Begawan Wisrawa dadi seje; pilih “sedyane sing sakawit” nggolekake garwa kanggo putrane, apa “kanggo awake dhewe“? Pungkasane Sang Begawan kang wis putus saka sakehing kawruh iku “ora kuwat godha” nalika wanita ayu kang aran Dewi Sukesi nyungkemi padane lan masrahake jiwa ragane.
Lha saumpama cak-cakan mau tumiba ing ing jaman modheren kaya saiki, njur awake dhewe nemoni kedadeyan kaya mangkono, apa ya kuwat karo godha mau? Kamangka godhane luwih akeh, bisa nlusup liwat internet, VCD, lan liya-liyane. Coba dipenggalih!
Nanging, yen pancen nduweni “tresna” kang temen-temen marang Pengerane mesthi bisa meper hawa napsu. Bisa mbedakake endi sing salah endi sing bener. Rabiah, sang penulis syair iku wis mbuktekake kencenge penembahe mung marang Gusti Allah dheweke pasrah sumarah. Surasane syaire uga terus ngumandhang, irip empere kaya kang asring di rungu dadi puji-pujian ing langgar lan masjid sadurunge nindakake shalat jamaah: dhuh pengeran kula sanes ahli suwarga / nanging kula mboten kiyat wonten neraka / mugi pengeran kersa nampi tobat kula / merga Pengeran Dzat kang Agung pangapura, / wedhi kathah umpamane dosa kula / mugi Pengeran nampi tobat dosa kula / umur kula saben dinten dipun suda /kados pundi saya kathah dosa kula........
Q Ki Jaladara (Widodo Basuki)
Naskah iki nate dimuat ing rubrik “Olah Rasa ” Majalah Jayabaya
mung karana wedi geni neraka
leburen aku ing genine jahanam
Manawa anggonku ngibadah
mung merga ngarep-arep enake swarga
enggal doh-na sing adoh saka sekabehane
Nanging, manawa aku ngibadah
krana sih tresnaku marang PanjenenganMu
Gusti, aja Panjenengan aling-alingi nggonku kepengin
ndeleng Kaendahan-Mu
Tresna utawa katresnan ora mung lumaku antarane manungsa lanang wadon kaya kang umum kanggo para mudha-mudhi, utawa wong bebrayan lanang wadon, antarane wong tuwa marang anak utawa suwalike, lan liya-liyane kaya kang asring diprangguli ing bebrayan. Ing tataran panembah, “tresna” mau lumaku antarane titah lan kang nitahake, manungsa lan Pengerane. Lan “tresna” sing iki mujudake tresna kang pribadi banget. Jalaran kang weruh iku ya ing pribadi kita dhewe.
Gegambaran tresna mau, minangka conto kaya kang rinumpaka ing syair utawa guritan ing dhuwur kasebut. Guritan iku mujudake jarwan bebas saka puisi karyane Rabi’ah Al Adawiyyah (? - 185 Hijrah), sawijining ahli tasawuf wanita kelairan Basrah, Irak. Jeneng asline Ummu ‘l Khayr Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qisiyyah.
Merga dheweke bisa ngresepi lan bisa “nikmati” pait getire panguripan kang nate dilakoni, wiwit nalika didadekake budhak kang uripe kesurang-surang, nganti nuwuhake krenteg kesufianne kanthi tema-tema “katresnan” marang Kang Murbeng Urip iku, dheweke njur bisa ngripta ukara kang endah banget, patut diresepi.. Lumantar syair-syair mau dheweke nyilemi lan nandukake maknane tresna kang luwih jeru. Luwih adoh tebane katimbang pangerten sing mung wantah kaya kang nate kita prangguli.
Ing kene ora kepengin ngonceki ngenani ngelmu tasawuf, nanging nyoba urun nyurasa ukara gegayutan karo rasa “tresna” utawa “katresnan”. Ing pangerti kang luwih nduweni makna religius ora bisa pinisahake klawan pengorbanan lan keiklasan. Katresnan utawa tresna uga ngandhut pangerti “iklas”. Ing babagan manembah kaya syaire Rabiah ing dhuwur mau disurasa: ora merga pamrih kepengin antuk swarga lan wedi neraka. Iki uga wujude pemut, manembah mono kudu kanthi “iklas”, lepas saka sakehing “pamrih kadonyan”, lan tujuane manembah mau amung siji, “krana mung rasa tresna marang Gusti kang Murbeng Gesang”.
Yen tataran gegayuhan lan manembah mono pepindhane wit kang dhuwur. Saya dhuwur pucuking wit uga saya dhuwur kena gempurane angin. Saya dhuwur tataraning panembah saya dhuwur godhane. Kari kuwat apa ora. Yen ing carita wayang, akeh banget kang bisa tinuladha gegayutan karo perkara godha lan tresna. Begawan Wisrawa, sawijining pandhita kang wis dianggep putus saka sakehing kawruh, jebul bisa kepleset merga panggodhane Dewi Sukesi (minangka simbule tresna lan nafsu kadonyan).
Kadidene begawan, kaya ing pangerti wantah wis kena dipesthekake wis manggon ing tataran tahan godha. Ning ing crita iki digambarake Sang Begawan ing kahanan “dilematis”(mbingungake). Sawise kasil mupu sayembara apa kang dipikirake Begawan Wisrawa dadi seje; pilih “sedyane sing sakawit” nggolekake garwa kanggo putrane, apa “kanggo awake dhewe“? Pungkasane Sang Begawan kang wis putus saka sakehing kawruh iku “ora kuwat godha” nalika wanita ayu kang aran Dewi Sukesi nyungkemi padane lan masrahake jiwa ragane.
Lha saumpama cak-cakan mau tumiba ing ing jaman modheren kaya saiki, njur awake dhewe nemoni kedadeyan kaya mangkono, apa ya kuwat karo godha mau? Kamangka godhane luwih akeh, bisa nlusup liwat internet, VCD, lan liya-liyane. Coba dipenggalih!
Nanging, yen pancen nduweni “tresna” kang temen-temen marang Pengerane mesthi bisa meper hawa napsu. Bisa mbedakake endi sing salah endi sing bener. Rabiah, sang penulis syair iku wis mbuktekake kencenge penembahe mung marang Gusti Allah dheweke pasrah sumarah. Surasane syaire uga terus ngumandhang, irip empere kaya kang asring di rungu dadi puji-pujian ing langgar lan masjid sadurunge nindakake shalat jamaah: dhuh pengeran kula sanes ahli suwarga / nanging kula mboten kiyat wonten neraka / mugi pengeran kersa nampi tobat kula / merga Pengeran Dzat kang Agung pangapura, / wedhi kathah umpamane dosa kula / mugi Pengeran nampi tobat dosa kula / umur kula saben dinten dipun suda /kados pundi saya kathah dosa kula........
Q Ki Jaladara (Widodo Basuki)
Naskah iki nate dimuat ing rubrik “Olah Rasa ” Majalah Jayabaya
biodata widodo basuki
Lair ing Trenggalek, 18 Juli 1967, saliyane dikenal kadidene penggurit (penyair) sarjana pendidikan seni rupa iki makarya wartawan/redaktur majalah Jaya Baya wiwit 1993 nganti saiki. Aktif ing kegiatan Bengkel Muda Surabaya (BMS), nate dipercaya dadi Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Surabaya (DKS) periode 1998-2003.
Taun 1999 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) maca kumpulan guritane: Layang Saka Tlatah Wetan (1999). Taun 2001, pemakalah makili Jawa Timur ing Kongres Bahasa Jawa (KBJ) III Yogyakarta lan KBJ IV Semarang (2006), uga tau mlebu Tim Penterjemah: Serat Babad Madura.
Karya ing antologi pribadi antara liya: Gurit Panantang (1993), Layang Saka Tlatah Wetan (1999), Kitir Tengah Wengi (2001), lan sawetara kumpulan fotocopyan lan naskah drama. Buku karyane: Layang Saka Paran (1999) diterbitake Media Gambar, buku cerita anak-anak , Menak Sopal dan Buaya Putih (penerbit PT Citra Jaya 1997), Kumpulan Geguritan Medhitasi Alang-Alang (2004).
Karyane ing antologi bebarengan: Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992), Pisungsung (Forum Kajian Kebudayaan Surabaya, 1995), Drona Gugat (1995), Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996) Tes… (Taman Budaya Jawa Timur, 1997), Luka Waktu (Taman Budaya Jawa Timur, 1998) Wulan Sedhuwuring Geni (Yayasan Obor, Jakarta, 1999), Liong, Tembang Prapatan (Taman Budaya Yogyakarta, 1999), Gerimis Lembayung (Sanggar Seni Petrokimia Gresik, 2001), Kabar Saka Bendulmrisi ( PPSJS, 2001), Bandha Warisan, Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS, 2001), Bandha Pusaka, antologi Crita Cekak,(SSJY-LKBS, 2001) lan Tanpa Mripat (Sanggar Pecanthingan, 2004), Ibu (Bengkel Muda Surabaya, 2006). Saliyane iku uga tulisan crita cekak (cerita pendek), artikel, esay lan liya-liyane dimuat ing majalah Jayabaya Panjebar Semangat, Surabaya Post, Surabaya News, Jawa Pos, lan sawetara buletin.
Nate antuk penghargaan: 1) Kumpulan guritan “Layang Saka Paran” antuk hadhiah “Sastra Rancage” taun 2000, 2) Peghargaan Seniman Jawa Timur 2004, 3) “Guritan Pari Sawuli” Juara I Naskah Guritan, Depdikbud Jawa Timur, 1996. 4) “Cak Dul lan Maimanah “, Harapan II lomba Crita Cekak SSJY, 1998. 5) “Supinah” katut 10 crita cekak pilihan, Taman Budaya Yogyakarta, 1999. 6) “Njaga Banyune Sendhang" Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional kang diadani Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta (LKBS) 2002. 7) “Kudhi Bujel" Juara Harapan I Naskah Crita Cekak, SSJY-LKBS, 2002. Lan tulisan jurnalistike judhul "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi - Deppen Jawa Timur, 1993. Taun 2008 antuk juara I Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur.
Manggon ing Sukolegok, RT 13/ RW 05, Desa Suko, Kec. Sukodono, Kab. Sidoarjo. Omah-omah karo Dra. Sri Sulistiani MPd patutan putra loro: Abhimata Zuhra Pramudita lan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika.
Taun 1999 diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) maca kumpulan guritane: Layang Saka Tlatah Wetan (1999). Taun 2001, pemakalah makili Jawa Timur ing Kongres Bahasa Jawa (KBJ) III Yogyakarta lan KBJ IV Semarang (2006), uga tau mlebu Tim Penterjemah: Serat Babad Madura.
Karya ing antologi pribadi antara liya: Gurit Panantang (1993), Layang Saka Tlatah Wetan (1999), Kitir Tengah Wengi (2001), lan sawetara kumpulan fotocopyan lan naskah drama. Buku karyane: Layang Saka Paran (1999) diterbitake Media Gambar, buku cerita anak-anak , Menak Sopal dan Buaya Putih (penerbit PT Citra Jaya 1997), Kumpulan Geguritan Medhitasi Alang-Alang (2004).
Karyane ing antologi bebarengan: Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992), Pisungsung (Forum Kajian Kebudayaan Surabaya, 1995), Drona Gugat (1995), Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996) Tes… (Taman Budaya Jawa Timur, 1997), Luka Waktu (Taman Budaya Jawa Timur, 1998) Wulan Sedhuwuring Geni (Yayasan Obor, Jakarta, 1999), Liong, Tembang Prapatan (Taman Budaya Yogyakarta, 1999), Gerimis Lembayung (Sanggar Seni Petrokimia Gresik, 2001), Kabar Saka Bendulmrisi ( PPSJS, 2001), Bandha Warisan, Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS, 2001), Bandha Pusaka, antologi Crita Cekak,(SSJY-LKBS, 2001) lan Tanpa Mripat (Sanggar Pecanthingan, 2004), Ibu (Bengkel Muda Surabaya, 2006). Saliyane iku uga tulisan crita cekak (cerita pendek), artikel, esay lan liya-liyane dimuat ing majalah Jayabaya Panjebar Semangat, Surabaya Post, Surabaya News, Jawa Pos, lan sawetara buletin.
Nate antuk penghargaan: 1) Kumpulan guritan “Layang Saka Paran” antuk hadhiah “Sastra Rancage” taun 2000, 2) Peghargaan Seniman Jawa Timur 2004, 3) “Guritan Pari Sawuli” Juara I Naskah Guritan, Depdikbud Jawa Timur, 1996. 4) “Cak Dul lan Maimanah “, Harapan II lomba Crita Cekak SSJY, 1998. 5) “Supinah” katut 10 crita cekak pilihan, Taman Budaya Yogyakarta, 1999. 6) “Njaga Banyune Sendhang" Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional kang diadani Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta (LKBS) 2002. 7) “Kudhi Bujel" Juara Harapan I Naskah Crita Cekak, SSJY-LKBS, 2002. Lan tulisan jurnalistike judhul "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi - Deppen Jawa Timur, 1993. Taun 2008 antuk juara I Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur.
Manggon ing Sukolegok, RT 13/ RW 05, Desa Suko, Kec. Sukodono, Kab. Sidoarjo. Omah-omah karo Dra. Sri Sulistiani MPd patutan putra loro: Abhimata Zuhra Pramudita lan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika.
FENOMENA PENERBITAN BUKU SASTRA JAWA
FENOMENA PENERBITAN BUKU SASTRA JAWA
Mengaca Dari “Antologi Sajak-Sajak Jawi” sampai “Mantra Katresnan”
saben munggah saonjotan
napas sasuwek gumanti angka
saben angka tumiba
layap-luyup godhong kumleyang
tundhone bali dadi
pitakon ing ndhisik mula:
apa?
Puncaking Arjuna, 2003
(kapethik saka “Medhitasi Alang-Alang”)
Dalam sebuah perjalanan dari Denpasar –Ubud (saat penerimaan hadiah Rancage) tahun 1999, pelopor penulis geguritan, ST. Iesmaniasita (Alm), mengaku merasa punya hutang pada teman-teman sastra Jawa yang pada waktu itu dimintai geguritan untuk “Antologi Sajak-Sajak Jawi” yang akhirnya benar-benar bisa diterbitkan dalam bentuk sederhanan tanpa sepengetahuan Bu Iesmaniasita tahun 1975. Menurut pengakuannya, dalam suratnya pada teman-teman pada waktu itu akan dikirimkan honorariumnya jika sudah diterbitkan. Buku itu memang telah disetujui Gunung Agung untuk diterbitkan dan sudah di setujui H.B Jassin. Ternyata setelah lama sekali tak ada kabar beritanya, naskah itu diambil Trim Sutejo, kemudian diberikan N. Sakdani. Setelah lam sekali tak tahu rimbanya tiba-tiba belakangan diketahui telah diterbitkan dalam bentuk sederhana atas pembiayaan Humardani (Alm).
Ilustrasi di atas barangkali hanya sebagai sebuah gambaran betapa penerbitan sastra Jawa sejak dulu sampai sekarang menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pengarang-pengarang sastra yang sampai akhir hayatnya tak punya antologi, termasuk Mas Poer Adhi Prawoto (alm) yang pernah dijuluki “Raja penyair sastra Jawa” tak punya buku antologi pribadi yang cukup memadai sampai akhir hayatnya, padahal tulisan-tulisan kritiknya tentang sastra Jawa dalam bahasa Indonesia cukup banyak diterbitkan. Demikian pula Mas Nursahid P (Alm), dia menerbitkan Antologi “Mantra Katresnan” yang banyak salah ketiknya itu atas prakarsa dan dukungan teman-teman.
Dalam soal buku juga, barangkali pengarang cerkak dari Bojonegoro, Jajus Pete, yang setelah dapat hadiah Rancage jarang nulis cerkak lagi, sampai sekarang belum mempunyai buku kumpulan cerkak “Kreteg Emas Jurang Gupit” kalau tidak didukung oleh teman-teman majalah “Tempo” dan Yayasan Pinang Sirih. Buku Pak Esmiet “Nalika Langite Obah”, dan “Timbreng” yang pernah mendapat hadiah “Rancage” barangkali tak mungkin bisa terbit tanpa kerjasama antara Pak Suripan (Alm) dan penerbitan Joyoboyo.
Sebuah catatan berharga yang patut diakui dan harus diteladani dari pengarang-pengarang senior generasi Pak Esmiet (alm), Bu Iesmaniasita, Tamsir As (Alm), dan Suparto Brata, adalah semangat mereka dalam meperjuangkan sastra Jawa. Saya tahu betul betapa "“gething” dan “sengit”-nya Pak Esmiet pada Pak Suparto Brata. Betapa berbedanya cara pandang mereka dalam hal pengembangan sastra Jawa. Tetapi keduanya tetap solid di dalam menjaga staminanya untuk berkarya. Tidak sekedar “ngomong doang”, keduanya tetap jago dalam karya-karyanya. Mereka juga telah berupaya keras untuk eksis dan mengubah pandangan pengarang-pengarang sastra Jawa. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kebiasaan yang ada dari beberapa pengarang masih berkutat ke soal itu-itu saja, yaitu: setelah selesai mengarang dan dimuat di majalah, seolah kerja sudah selesai.
Mengaca dari pengalaman-pengalaman pengarang-pengarang terdahulu yang kesulitan menerbitkan buku-buku karyanya, akhirnya saya memutuskan:
Pertama, sebagai pengarang saya harus menerbitkan buku, walaupun dengan usaha dan cara sendiri. Ini bukan tanpa resiko. Kesulitan modal, kesulitan mencari penerbit, kesulitan menjual, barangkali menjadi resiko sebagai sumbangsih untuk pengembangan sastra Jawa. Saya katakan “sumbangsih”, karena sebenarnya dalam membuat buku ini, tujuan semula adalah sebagai dokumentasi pribadi, syukur alhamdulillah bila bisa ikut meramaikan perbukuan sastra Jawa. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa dokumentasi karya-karya bagi pengarang sastra Jawa, rata-rata amburadul. Lewat buku, selain berfungsi sebagai dokumentasi karya, kita bisa mengajak dialog dengan komunitas di luar sastra Jawa, baik di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua, mencoba dengan menggunakan cara sendiri untuk memperkuat apresiasi dengan memperluas kantong-kantong sastra Jawa, mendekatkan sastra Jawa ke sekolah-sekolah. Dari pengalaman yang saya jumpai, kita salah apabila mengatakan anak muda sekarang tak peduli dengan bahasa dan sastra Jawa.
Tentang pengembangan sastra Jawa ke depan, rasanya saya masih percaya pepatah lama tak akan berhenti “ndhedher winih budi jawi”, kita lebih baik memperkuat akar tempat kita berpijak daripada bisa meraih bintang dilangit tapi kehilangan akar. Pengembangan bahasa dan sastra Jawa bukan hanya pada pundak para sastrawan Jawa, pendidik, para pambiwara, pemerintah dan lain-lainya, tetapi semua tanpa terkecuali tetap berpulang kepada masyarakat Jawa sendiri.
Widodo Basuki
Surabaya, 2006
(Tulisan ini sebagai pengantar diskusi seribu hari “Mengenang Pengarang Esmiet” di Banyuwangi tahun 2006)
Mengaca Dari “Antologi Sajak-Sajak Jawi” sampai “Mantra Katresnan”
saben munggah saonjotan
napas sasuwek gumanti angka
saben angka tumiba
layap-luyup godhong kumleyang
tundhone bali dadi
pitakon ing ndhisik mula:
apa?
Puncaking Arjuna, 2003
(kapethik saka “Medhitasi Alang-Alang”)
Dalam sebuah perjalanan dari Denpasar –Ubud (saat penerimaan hadiah Rancage) tahun 1999, pelopor penulis geguritan, ST. Iesmaniasita (Alm), mengaku merasa punya hutang pada teman-teman sastra Jawa yang pada waktu itu dimintai geguritan untuk “Antologi Sajak-Sajak Jawi” yang akhirnya benar-benar bisa diterbitkan dalam bentuk sederhanan tanpa sepengetahuan Bu Iesmaniasita tahun 1975. Menurut pengakuannya, dalam suratnya pada teman-teman pada waktu itu akan dikirimkan honorariumnya jika sudah diterbitkan. Buku itu memang telah disetujui Gunung Agung untuk diterbitkan dan sudah di setujui H.B Jassin. Ternyata setelah lama sekali tak ada kabar beritanya, naskah itu diambil Trim Sutejo, kemudian diberikan N. Sakdani. Setelah lam sekali tak tahu rimbanya tiba-tiba belakangan diketahui telah diterbitkan dalam bentuk sederhana atas pembiayaan Humardani (Alm).
Ilustrasi di atas barangkali hanya sebagai sebuah gambaran betapa penerbitan sastra Jawa sejak dulu sampai sekarang menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pengarang-pengarang sastra yang sampai akhir hayatnya tak punya antologi, termasuk Mas Poer Adhi Prawoto (alm) yang pernah dijuluki “Raja penyair sastra Jawa” tak punya buku antologi pribadi yang cukup memadai sampai akhir hayatnya, padahal tulisan-tulisan kritiknya tentang sastra Jawa dalam bahasa Indonesia cukup banyak diterbitkan. Demikian pula Mas Nursahid P (Alm), dia menerbitkan Antologi “Mantra Katresnan” yang banyak salah ketiknya itu atas prakarsa dan dukungan teman-teman.
Dalam soal buku juga, barangkali pengarang cerkak dari Bojonegoro, Jajus Pete, yang setelah dapat hadiah Rancage jarang nulis cerkak lagi, sampai sekarang belum mempunyai buku kumpulan cerkak “Kreteg Emas Jurang Gupit” kalau tidak didukung oleh teman-teman majalah “Tempo” dan Yayasan Pinang Sirih. Buku Pak Esmiet “Nalika Langite Obah”, dan “Timbreng” yang pernah mendapat hadiah “Rancage” barangkali tak mungkin bisa terbit tanpa kerjasama antara Pak Suripan (Alm) dan penerbitan Joyoboyo.
Sebuah catatan berharga yang patut diakui dan harus diteladani dari pengarang-pengarang senior generasi Pak Esmiet (alm), Bu Iesmaniasita, Tamsir As (Alm), dan Suparto Brata, adalah semangat mereka dalam meperjuangkan sastra Jawa. Saya tahu betul betapa "“gething” dan “sengit”-nya Pak Esmiet pada Pak Suparto Brata. Betapa berbedanya cara pandang mereka dalam hal pengembangan sastra Jawa. Tetapi keduanya tetap solid di dalam menjaga staminanya untuk berkarya. Tidak sekedar “ngomong doang”, keduanya tetap jago dalam karya-karyanya. Mereka juga telah berupaya keras untuk eksis dan mengubah pandangan pengarang-pengarang sastra Jawa. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kebiasaan yang ada dari beberapa pengarang masih berkutat ke soal itu-itu saja, yaitu: setelah selesai mengarang dan dimuat di majalah, seolah kerja sudah selesai.
Mengaca dari pengalaman-pengalaman pengarang-pengarang terdahulu yang kesulitan menerbitkan buku-buku karyanya, akhirnya saya memutuskan:
Pertama, sebagai pengarang saya harus menerbitkan buku, walaupun dengan usaha dan cara sendiri. Ini bukan tanpa resiko. Kesulitan modal, kesulitan mencari penerbit, kesulitan menjual, barangkali menjadi resiko sebagai sumbangsih untuk pengembangan sastra Jawa. Saya katakan “sumbangsih”, karena sebenarnya dalam membuat buku ini, tujuan semula adalah sebagai dokumentasi pribadi, syukur alhamdulillah bila bisa ikut meramaikan perbukuan sastra Jawa. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa dokumentasi karya-karya bagi pengarang sastra Jawa, rata-rata amburadul. Lewat buku, selain berfungsi sebagai dokumentasi karya, kita bisa mengajak dialog dengan komunitas di luar sastra Jawa, baik di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua, mencoba dengan menggunakan cara sendiri untuk memperkuat apresiasi dengan memperluas kantong-kantong sastra Jawa, mendekatkan sastra Jawa ke sekolah-sekolah. Dari pengalaman yang saya jumpai, kita salah apabila mengatakan anak muda sekarang tak peduli dengan bahasa dan sastra Jawa.
Tentang pengembangan sastra Jawa ke depan, rasanya saya masih percaya pepatah lama tak akan berhenti “ndhedher winih budi jawi”, kita lebih baik memperkuat akar tempat kita berpijak daripada bisa meraih bintang dilangit tapi kehilangan akar. Pengembangan bahasa dan sastra Jawa bukan hanya pada pundak para sastrawan Jawa, pendidik, para pambiwara, pemerintah dan lain-lainya, tetapi semua tanpa terkecuali tetap berpulang kepada masyarakat Jawa sendiri.
Widodo Basuki
Surabaya, 2006
(Tulisan ini sebagai pengantar diskusi seribu hari “Mengenang Pengarang Esmiet” di Banyuwangi tahun 2006)
Langganan:
Postingan (Atom)